Tubuh ibu Arif tergeletak di lantai, tak bergerak.
Dimas masih memegang keris erat di tangannya, matanya tajam menatap tubuh wanita tua itu, bersiap jika sesuatu terjadi lagi.
Lila berlutut, mengguncang bahu wanita itu. "Bu Wati? Bu?"
Tidak ada jawaban.
Ustadz Harman meletakkan dua jarinya di leher wanita itu, mencoba merasakan denyut nadi.
Beberapa detik berlalu.
Lalu, dia menarik napas dalam.
"Dia sudah pergi."
Lila merasakan tubuhnya melemas.
Dia tidak pernah benar-benar menyukai ibu Arif. Tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa wanita itu akan mati seperti ini.
Dimas mengepalkan tangannya. "Apa ini berarti pesugihan akan berhenti?"
Ustadz Harman menggeleng pelan. "Tidak. Justru sekarang mereka akan lebih agresif."
Lila menatapnya panik. "Apa maksud Ustadz?"
Ustadz Harman menatap tubuh ibu Arif dengan ekspresi muram.
"Tadi dia bilang bahwa dia yang menahan pesugihan itu selama ini
Mobil melaju kencang di jalanan sepi menuju Kandang Bubrah.Tidak ada yang berbicara.Hanya suara deru mesin dan napas mereka yang berat.Lila duduk di kursi belakang, memeluk Jatinegara erat, seolah-olah jika dia melepaskannya, anak itu akan menghilang.Jatinegara tidak menangis.Tidak bicara.Dia hanya duduk diam, menatap ke luar jendela dengan mata kosong.Seolah-olah dia sudah tahu apa yang menunggunya di sana.Dimas menekan pedal gas lebih dalam. "Kita hampir sampai."Ustadz Harman terus membaca doa dengan suara rendah.Angin di luar semakin kencang.Langit tidak lagi berwarna hitam biasa—tetapi merah gelap, seperti api yang terpendam di balik awan tebal.Semakin dekat mereka ke lokasi, udara semakin terasa berat, seolah-olah tempat itu tahu bahwa mereka akan datang.Dan ketika akhirnya mereka tiba—Lila merasakan darahnya berhenti mengalir.***Kandang Bubrah masih a
CETAK!Dimas menusukkan kerisnya ke dada Arif.Darah tidak mengalir.Sebaliknya, tubuh Arif mulai retak, seperti kaca yang pecah.Lila menahan napas, tubuhnya membeku.Jatinegara menutup matanya erat, melingkarkan tangannya di leher ibunya, gemetar ketakutan.Tapi Arif—atau sesuatu yang telah mengambil tubuhnya—hanya tersenyum lebih lebar."Kalian benar-benar berpikir… ini akan menghentikanku?"Dimas mencoba menarik kerisnya kembali, tetapi tangan Arif mencengkeram pergelangannya.Dimas tersentak.Genggaman itu dingin… seperti tangan mayat yang sudah lama membusuk.Mata Arif menatapnya dalam-dalam."Ini… baru saja dimulai."Lalu—BAM!Dimas terpental ke belakang, tubuhnya menghantam tanah keras.Lila menjerit, "DIMAS!"Tapi sebelum dia bisa bergerak, sesuatu yang mengerikan terjadi.Jasad Arif mulai ban
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
"Lila…"Suara itu terdengar dekat sekali, seperti ada yang berbisik tepat di belakangnya.Sejenak, tubuh Lila tidak bisa bergerak.Napasnya tercekat di tenggorokan.Jantungnya berdetak begitu keras, seolah bisa terdengar di seisi ruangan.Dimas berdiri di depannya, menggenggam keris erat-erat, matanya liar mencari sumber suara.Ustadz Harman terus membaca doa, meskipun suaranya kini terdengar lebih tegang.Di dalam kegelapan itu…Ada sesuatu yang bergerak.Langkah kaki itu tidak lagi samar-samar.Kini lebih nyata, lebih dekat—dan suara napas berat menyusul di belakangnya.Sesuatu berdiri di sana.Lila bisa merasakannya.Tetapi dia tidak berani menoleh.Jatinegara terdiam, tetapi senyumnya masih ada.Seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.Lalu, dia berbisik—"Ayah… kenapa kau masih d
Malam kembali turun dengan perlahan.Angin bertiup lebih dingin, menyelusup melalui celah-celah rumah kayu Ustadz Harman. Tirai jendela bergetar pelan, menimbulkan suara berdesir yang terdengar seperti bisikan samar.Di ruang tamu, Lila duduk dengan punggung tegak, tangannya erat menggenggam jemari Jatinegara yang mungil.Dimas berdiri di sudut ruangan, memeriksa keris yang telah menjadi pelindung mereka sejak peristiwa di Kandang Bubrah.Di seberang meja, Ustadz Harman merapikan beberapa peralatan yang akan mereka gunakan untuk ritual malam ini.Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Jatinegara yang tampak paling tenang.Anak itu duduk di samping ibunya, kakinya bergoyang pelan, sesekali menatap ke arah jendela.Seolah-olah dia tahu bahwa seseorang sedang menunggunya di luar sana.Lila menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Ustadz Harman. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?"Ustadz Harman menatapnya denga
Fajar menyingsing perlahan, membawa warna jingga keemasan yang mulai menyelimuti langit.Di rumah Ustadz Harman, aroma embun pagi bercampur dengan harumnya tanah basah setelah hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, mengisi keheningan yang terasa lebih damai dari sebelumnya.Di dalam rumah, Lila duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke luar.Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada Arif.Mereka telah memastikan pintu yang terbuka akhirnya tertutup.Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, rumah ini terasa tenang.Tetapi…Kenapa hatinya masih terasa berat?Di sampingnya, Jatinegara sedang tertidur di atas pangkuannya. Napasnya pelan, tubuhnya kecil dan hangat, wajahnya tenang—seolah-olah tidak pernah mengalami semua kengerian yang terjadi sebelumnya.Namun, Lila tahu semuanya telah meninggalkan jejak dala
Pagi datang dengan cahaya abu-abu yang enggan menyinari penuh. Kabut masih menempel di dedaunan dan kaca jendela, seolah malam belum benar-benar berakhir.Lila berdiri di dapur sambil memandangi air mendidih dalam panci. Tangannya menggenggam gagang panci, tapi pikirannya tidak berada di sana. Malam tadi masih berputar di kepalanya—kursi yang tidak bergeser, lampu teras yang padam sendiri, dan suara retakan dari bingkai foto Arif yang berubah.Suasana rumah tetap hening. Terlalu hening untuk ukuran pagi hari. Bahkan suara burung pun enggan berkicau. Biasanya, pagi-pagi seperti ini terdengar kicauan dari burung-burung pipit yang bersarang di bawah genting. Tapi hari ini, bahkan angin pun tampak enggan menyentuh daun jendela."Bu... tadi malam aku mimpi lagi," ucap Jatinegara dari balik pintu dapur.Lila menoleh. Anaknya sudah rapi, duduk di kursi sambil menggambar lagi. Kali ini, kertasnya penuh dengan warna abu-abu dan hitam. Tidak ada bentuk manusi
"Jatinegara! Jangan lari-lari di dalam rumah!" tegur Lila dari arah dapur sambil membawa piring kotor.Anak itu tidak menjawab, hanya tertawa kecil dan berlari menuju ruang tengah, lalu berhenti tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman. Ia menempelkan wajahnya ke kaca, matanya fokus ke satu titik di luar sana.Hari itu, langit Desa Misahan tampak mendung. Angin lembut mengayun ranting-ranting pohon tua di halaman depan. Suasana rumah tenang, terlalu tenang, seperti tengah menyembunyikan bisikan rahasia yang enggan keluar dari celah dinding.Lila meletakkan piring ke dalam ember air sabun, lalu menyeka tangannya dengan kain lap. Ia berjalan perlahan menuju anaknya yang masih berdiri menatap ke luar."Kamu lihat apa, Jati?" tanyanya sambil ikut menoleh ke luar jendela.Jatinegara menunjuk ke arah pohon besar. Di bawahnya, ada kursi kayu reyot yang tampak tua dan ditinggalkan. Kursi itu sebenarnya tidak pernah ada di halaman rumah mereka. Lila tahu betul setiap sudut tempat
Langit biru yang muncul tadi pagi perlahan mulai tertutup awan kembali. Tapi kali ini tidak gelap, hanya mendung yang menggantung ringan—seperti kabut tipis yang ragu turun sebagai hujan.Di dalam rumah, Jatinegara duduk di bawah jendela ruang tengah. Pensil warnanya tidak bergerak hari ini, hanya tergeletak di sebelah buku gambar yang masih kosong.Sudah dua hari sejak mereka mengunjungi makam Arif. Tidak ada suara ketukan. Tidak ada bayangan yang berdiri di halaman. Tidak ada apa-apa selain angin yang datang dan pergi tanpa arah.Lila mengamati anaknya dari meja makan. Ia sedang melipat pakaian, tapi pikirannya tidak di sana.“Kamu nggak gambar lagi?” tanyanya pelan, memecah keheningan.Jatinegara menggeleng. “Nggak ada yang mau digambar, Bu. Semua sudah pulang.”Lila tersenyum tipis, walau hatinya belum sepenuhnya percaya. Ia tahu, kadang anak-anak bisa lebih jujur dari orang dewasa… tapi juga lebih pa
Langit siang itu masih tertutup mendung. Hujan sempat reda sebentar, namun tanah di sepanjang jalan menuju pemakaman masih basah, becek, dan licin.Mobil Dimas melaju pelan, ban belakang sesekali selip melewati jalanan tanah yang menurun. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara penghapus kaca depan yang bergerak ritmis mengikuti tetes hujan yang turun tak beraturan.Lila duduk di kursi penumpang depan, kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuan. Napasnya berat, sesekali mengembus perlahan seakan ingin menenangkan dirinya sendiri.Di kursi belakang, Jatinegara tertidur dengan kepala bersandar di jendela. Di tangannya masih tergenggam kertas gambar terakhir yang tadi pagi ia selesaikan.Gambar itu... adalah rumah mereka. Dan sosok Arif berdiri di teras, menatap ke arah pagar. Di balik pagar, sosok tinggi hitam berdiri diam. Tak ada wajah. Hanya gelap.Lila melirik ke kaca spion, menatap bayangan Jatinegara. Ada sesuatu dalam tidur anak i
Langit malam tampak kelabu, seolah belum selesai menangis sejak senja tadi. Hujan gerimis turun tipis, nyaris tak terdengar, hanya terasa saat tetesnya membasahi kaca jendela.Lila duduk di dekat tungku dapur yang menyala kecil. Api tak terlalu besar, hanya cukup untuk mengusir dingin yang sejak sore merayap ke seluruh sudut rumah.Sesekali, ia meniup permukaan cangkir tehnya yang mengepulkan aroma melati. Tapi tegukan itu tak pernah sampai ke bibirnya.Pikirannya masih berada di tempat yang lain—pada gambar-gambar Jatinegara, pada suara yang tak terdengar namun terus menggema dalam batinnya.Dia menatap ke arah lorong rumah, memastikan bahwa Jatinegara masih tidur di kamarnya. Anak itu terlihat tenang, tapi Lila tahu, ketenangan itu hanya selapis di permukaan.“Hari ini tak ada ketukan,” gumamnya, seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Namun, ketukan bukan satu-satunya bentuk kehadiran. Kadang, diam pun bisa menjadi tanda.***Dimas duduk di ruang tamu dengan rokok yang mati di ta
Pagi belum sepenuhnya datang. Matahari masih tertutup awan kelabu, menyisakan sinar samar yang membuat rumah terasa seperti terperangkap dalam bayangan.Jatinegara duduk di ruang tengah sambil memeluk lututnya. Pensil warna berserakan di sekitarnya, sementara selembar kertas tergeletak di pangkuannya. Matanya menatap lekat gambar yang baru saja ia selesaikan, seperti sedang mendengarkan suara yang hanya dia bisa dengar.Gambarnya terlihat biasa saja—sebuah rumah dengan halaman dan pohon besar di sampingnya. Tapi di sudut halaman, ada sosok hitam tinggi berdiri tanpa wajah.“Aku sudah bilang jangan digambar lagi,” bisik Jatinegara lirih, seperti sedang bicara pada kertas itu.Tapi pensil warna cokelat di tangannya bergerak sendiri. Garis-garis baru mulai terbentuk, membentuk bayangan panjang yang menyambung dari kaki sosok itu hingga ke pintu rumah.Langkah kaki terdengar dari dapur. Lila datang dengan wajah lelah, matanya sembab karena kurang tidur. Ia duduk di kursi dekat anaknya dan
Suara detik jam terdengar pelan, tapi cukup untuk mengisi keheningan yang menggantung di seluruh rumah. Lila duduk di ujung tempat tidur sambil mengusap pelan punggung Jatinegara yang sedang tidur. Wajah anak itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang untuk malam yang baru saja menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Pikirannya kembali pada suara ketukan yang ia dengar malam tadi.Tiga ketukan pelan namun terasa seperti gendang di telinganya.“Mungkin itu hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan merayap dari dadanya ke tengkuk.Namun aroma udara pagi ini berbeda. Lebih lembap, dan ada bau samar seperti kayu basah bercampur asap yang entah dari mana datangnya.Dia berdiri perlahan, berjalan ke arah ruang tamu yang masih remang. Di jendela, sinar matahari mencoba masuk, tapi awan gelap terlalu malas untuk pergi.Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Ia menatap gagangnya yang masih tertutup rapat. Tapi perasaan itu… masih ada.Seper
Suara detik jam dinding terdengar lebih keras malam ini. Lila membuka matanya perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatannya. Lampu kamar sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tak kunjung lelap.Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, jari-jarinya menggenggam selimut yang menutupi tubuh Jatinegara di sebelahnya. Anak itu tidur tenang, dadanya naik turun perlahan. Seharusnya Lila ikut merasa tenang. Namun hatinya tetap gelisah.“Mungkin karena masih terbawa suasana dari rumah Ustadz Harman,” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.Tapi ada sesuatu malam ini yang berbeda. Udara kamar lebih dingin dari biasanya. Tirai jendela sedikit berkibar meskipun semua jendela tertutup rapat. Suara jangkrik dari luar pun terdengar lebih pelan, seperti sedang menahan napas.Lalu suara itu datang.Tok. Tok. Tok.Lila sontak menahan napas.Tiga ketukan, pelan tapi cukup kuat untuk membuat hatinya berdegup keras. Ia menoleh ke arah jendela, seakan suara itu berasal dari sana
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.