Gibran menoleh, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan pengenalan. Ia tersenyum, namun senyum itu terasa seperti senyum seorang yang tidak lagi berada di dunia yang sama dengan Lila.“Lila, aku sudah menunggumu,” kata Gibran dengan suara yang tidak familiar, begitu dalam dan kosong. “Bunyu sudah memanggilku. Aku datang untuk membantunya. Aku sudah menjadi bagian dari mereka.”Lila terkejut. “Tidak, Gibran, jangan biarkan dirimu terpengaruh! Itu bukan dirimu!”Namun, Gibran mulai bergerak menuju Lila dengan langkah pelan. Matanya yang kosong menatap Lila, dan tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia menyerang Lila, memegang pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang tak terlepas.“Lila… Ini akhir dari semuanya,” ucap Gibran dengan suara yang bukan miliknya, terdengar seperti bisikan roh-roh yang menguasainya.Lila berusaha melepaskan diri, namun tubuh Gibran seolah terisi oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Ia merasakan tubuhnya semakin lemah, dan bayanga
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Arif menggelengkan kepala, tatapannya penuh penyesalan. "Kau harus mengerti, Lila. Ketika kita berada di dunia ini, kita sering kali terikat pada kenangan, pada tempat yang kita anggap aman. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Rumah itu bukan tempat yang aman lagi. Sesuatu yang lebih gelap telah menguasainya."Lila menatap keduanya, seolah mencari petunjuk dalam kata-kata mereka. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa meninggalkan Jatinegara, dan aku tidak bisa membiarkan apa yang terjadi padanya."Dimas menarik napas dalam, menatap Lila dengan penuh keprihatinan. "Lila, kau tidak bisa bertahan di sana lebih lama lagi. Sesuatu yang buruk sudah terjadi, dan kau mungkin tidak bisa menyelamatkan Jatinegara jika kau tetap tinggal. Jika kau ingin melindunginya, kau harus pergi. Mungkin itu satu-satunya cara."Lila terdiam, kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam pikirannya. Ia ingin melawan, namun sesuatu dalam dirinya meresapi kebenaran yang disampaikan oleh
Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa tinggal di rumah itu berarti terus bertarung dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak bisa ia hadapi sendirian.Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang rumah itu. Dan seperti yang dikatakan Arif dan Dimas dalam mimpinya, jika ia bertahan, maka kegelapan itu akan semakin mendalam, merenggut segalanya, termasuk Jatinegara.Lila menggenggam tangan Jatinegara dengan erat, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus melakukannya. Aku harus pergi,” bisiknya, seolah menguatkan dirinya sendiri.Dengan hati yang berat, Lila berdiri dan keluar dari ruangan itu. Ustadz Harman masih duduk di tempatnya, melantunkan doa dalam diam, seperti biasa. Begitu melihat Lila keluar, ia segera berdiri dan menatapnya dengan mata penuh perhatian."Lila, bagaimana keadaanmu?" tanya Ustadz Harman lembut.Lila menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ustadz... saya harus pergi. Saya tidak bi
Lila masih bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dirinya dan Jatinegara kembali ke rumah mereka yang sekarang terasa begitu asing.Segala kemewahan yang pernah mereka miliki kini tampak seperti kutukan yang mengancam mereka dari bayang-bayang masa lalu. Ia menatap rumah besar yang dulu dibangun oleh Arif dengan hasil pesugihan, kini terasa lebih seperti penjara daripada tempat perlindungan."Bu, kita mau tinggal di sini lagi?" tanya Jatinegara, anaknya yang masih berusia delapan tahun, memandang rumah itu dengan tatapan ragu.Lila menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak, Nak. Kita akan pergi dari sini."Lila sadar, meskipun Arif telah tiada, ikatan mereka dengan pesugihan itu belum sepenuhnya terputus. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan kenangan dan kegelapan yang bisa menyeret mereka kembali.Ustadz Harman, yang membantu mereka kembali ke dunia nyata, datang menghampiri. "Bu Lila, keputusan Anda benar. Meninggalkan tempat ini adalah satu-satunya cara untuk be
Udara malam terasa lebih berat.Lila masih memeluk Jatinegara erat, menangis dalam diam.Anaknya selamat.Dimas berdiri di sampingnya, menatap tanah kosong tempat rumah pria tua itu berdiri beberapa menit yang lalu.Tidak ada apa-apa di sana.Hanya tanah kosong.Seolah-olah rumah itu tidak pernah ada sebelumnya.Ustadz Harman menghela napas panjang, lalu menatap mereka dengan mata yang masih dipenuhi kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang."Dimas mengangguk cepat. "Ya, aku juga tidak ingin berada di tempat ini lebih lama."Mereka semua berjalan cepat menuju mobil yang mereka parkir di luar desa.Namun, saat mereka melewati gerbang Desa Pagerwesi, sesuatu terasa aneh.Lila berhenti.Dimas menoleh. "Kenapa?"Lila menggigit bibirnya.Dia tidak yakin, tapi…Saat mereka pertama kali datang ke desa ini, suasananya terasa berat, penuh bisikan, dan seperti dihuni oleh sesuatu yan
Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t
Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."
Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des
Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.
Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.
Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.
Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah