Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.
Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.
Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.
Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah.
"Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.
Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Arif menggelengkan kepala, tatapannya penuh penyesalan. "Kau harus mengerti, Lila. Ketika kita berada di dunia ini, kita sering kali terikat pada kenangan, pada tempat yang kita anggap aman. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Rumah itu bukan tempat yang aman lagi. Sesuatu yang lebih gelap telah menguasainya."Lila menatap keduanya, seolah mencari petunjuk dalam kata-kata mereka. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa meninggalkan Jatinegara, dan aku tidak bisa membiarkan apa yang terjadi padanya."Dimas menarik napas dalam, menatap Lila dengan penuh keprihatinan. "Lila, kau tidak bisa bertahan di sana lebih lama lagi. Sesuatu yang buruk sudah terjadi, dan kau mungkin tidak bisa menyelamatkan Jatinegara jika kau tetap tinggal. Jika kau ingin melindunginya, kau harus pergi. Mungkin itu satu-satunya cara."Lila terdiam, kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam pikirannya. Ia ingin melawan, namun sesuatu dalam dirinya meresapi kebenaran yang disampaikan oleh
Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa tinggal di rumah itu berarti terus bertarung dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak bisa ia hadapi sendirian.Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang rumah itu. Dan seperti yang dikatakan Arif dan Dimas dalam mimpinya, jika ia bertahan, maka kegelapan itu akan semakin mendalam, merenggut segalanya, termasuk Jatinegara.Lila menggenggam tangan Jatinegara dengan erat, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus melakukannya. Aku harus pergi,” bisiknya, seolah menguatkan dirinya sendiri.Dengan hati yang berat, Lila berdiri dan keluar dari ruangan itu. Ustadz Harman masih duduk di tempatnya, melantunkan doa dalam diam, seperti biasa. Begitu melihat Lila keluar, ia segera berdiri dan menatapnya dengan mata penuh perhatian."Lila, bagaimana keadaanmu?" tanya Ustadz Harman lembut.Lila menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ustadz... saya harus pergi. Saya tidak bi
Lila masih bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dirinya dan Jatinegara kembali ke rumah mereka yang sekarang terasa begitu asing.Segala kemewahan yang pernah mereka miliki kini tampak seperti kutukan yang mengancam mereka dari bayang-bayang masa lalu. Ia menatap rumah besar yang dulu dibangun oleh Arif dengan hasil pesugihan, kini terasa lebih seperti penjara daripada tempat perlindungan."Bu, kita mau tinggal di sini lagi?" tanya Jatinegara, anaknya yang masih berusia delapan tahun, memandang rumah itu dengan tatapan ragu.Lila menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak, Nak. Kita akan pergi dari sini."Lila sadar, meskipun Arif telah tiada, ikatan mereka dengan pesugihan itu belum sepenuhnya terputus. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan kenangan dan kegelapan yang bisa menyeret mereka kembali.Ustadz Harman, yang membantu mereka kembali ke dunia nyata, datang menghampiri. "Bu Lila, keputusan Anda benar. Meninggalkan tempat ini adalah satu-satunya cara untuk be
Lila berdiri membeku. Sosok pria muda di hadapannya terlihat kurus dan lusuh, wajahnya penuh kelelahan, seolah telah melewati perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Mata itu mata yang penuh rahasia menatapnya tajam, seakan mencari kepastian dalam kehadirannya.“Dimas?” Lila mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.Dimas mengangguk pelan. “Aku tahu kau akan mencariku suatu hari nanti.”Ustadz Harman menatap pemuda itu dengan penuh kewaspadaan. “Kau menghilang bertahun-tahun, tapi sekarang muncul di hadapan kami. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dimas menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sesaat sebelum kembali menatap Lila. “Aku berusaha menghentikan Arif, tapi dia tidak mau mendengar. Aku mencoba memperingatkannya agar tidak masuk ke hutan itu, tapi dia terlalu buta dengan ambisinya.”Lila mengepalkan tangan. Ingatan tentang Arif yang terjerumus dalam pesugihan kembali berputar di benaknya. “Jadi... kau sudah tahu semuanya sejak awal?”Dimas mengangguk. “Ya. Aku tahu lebih
“Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu
Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me
Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging
Udara malam terasa lebih berat.Lila masih memeluk Jatinegara erat, menangis dalam diam.Anaknya selamat.Dimas berdiri di sampingnya, menatap tanah kosong tempat rumah pria tua itu berdiri beberapa menit yang lalu.Tidak ada apa-apa di sana.Hanya tanah kosong.Seolah-olah rumah itu tidak pernah ada sebelumnya.Ustadz Harman menghela napas panjang, lalu menatap mereka dengan mata yang masih dipenuhi kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang."Dimas mengangguk cepat. "Ya, aku juga tidak ingin berada di tempat ini lebih lama."Mereka semua berjalan cepat menuju mobil yang mereka parkir di luar desa.Namun, saat mereka melewati gerbang Desa Pagerwesi, sesuatu terasa aneh.Lila berhenti.Dimas menoleh. "Kenapa?"Lila menggigit bibirnya.Dia tidak yakin, tapi…Saat mereka pertama kali datang ke desa ini, suasananya terasa berat, penuh bisikan, dan seperti dihuni oleh sesuatu yan
Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t
Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."
Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des
Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.
Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.
Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.
Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah