“Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu
Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me
Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging
Lila menggelengkan kepala, air mata menggenang di matanya. “Arif sudah mati. Kau bukan dia.”Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan membawa kalian bersamaku.”Angin bertiup semakin kencang. Suara gemuruh terdengar dari tanah, seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalamnya.Ustadz Harman berteriak, “Lanjutkan ritualnya! Jangan berhenti!”Dimas segera menyiramkan minyak fambo ke dalam api yang semakin besar. Lila, meskipun masih gemetar, mulai membaca mantra yang tertulis di kertas lusuh dari Mbah Niah.Bayangan Arif menjerit kesakitan. Ia mundur perlahan, tetapi masih berusaha melawan.“Kita hampir selesai!” teriak Dimas.Lila terus membaca mantra dengan suara semakin lantang, hingga tiba-tiba…Semuanya menjadi hening.Bayangan Arif menghilang dalam pusaran asap hitam. Udara yang tadi berat kini menjadi lebih ringan.Lila terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Jatinegara menangis dalam pelukannya, sementara Ustadz Harman menutup matanya dalam doa.Dimas menghela napas panj
Mereka sampai di tepi jurang yang curam. Di bawah mereka, jurang itu dipenuhi kabut pekat yang menyembunyikan apa yang ada di dasarnya.Lila menoleh ke belakang. Sosok bayangan itu kini semakin dekat. Mata hitamnya bersinar dalam kegelapan, senyumnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak seharusnya dimiliki manusia."Kita harus lompat!" seru Dimas.Lila membelalakkan mata. "Kau gila? Kita bisa mati!""Dibandingkan dengan mereka? Kita tidak punya pilihan!" Dimas sudah bersiap melompat.Ustadz Harman menutup mata sejenak, lalu berkata, "Lila, percaya saja. Tuhan akan melindungi kita."Lila menggenggam tangan Jatinegara lebih erat, lalu menatap anaknya. "Jati, kau percaya pada Ibu?"Jatinegara mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketakutan."Kalau begitu, tutup matamu, dan jangan lepaskan tangan Ibu."Tanpa ragu lagi, mereka semua melompat.Angin berembus kencang di sekitar mereka saat tubuh mereka jatuh ke dalam jurang. Lila memeluk Jatinegara erat, memastikan anak
Sosok itu tersenyum tipis. "Lila..."Suara itu terdengar seperti suara Arif, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seakan ada gema di dalamnya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh.Lila merasakan lututnya melemas. "Ini tidak mungkin..."Ustadz Harman langsung berdiri di depan Lila dan Jatinegara, menghadang mereka. "Itu bukan Arif! Jangan dengarkan dia!"Dimas meraih bahu Lila dan berbisik cepat, "Jangan terpengaruh! Kita harus segera pergi!"Namun, sosok Arif itu mulai melangkah maju. Langkahnya lambat, tetapi suara derap kakinya menggema di seluruh lorong."Lila... kau tidak bisa pergi begitu saja..."Suara itu terdengar lebih dalam, lebih berat, lebih mengancam.Lila menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan Arif. Ini adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang menggunakan wujud Arif untuk memanipulasi dirinya.Dimas menarik tangan Lila dengan kuat. "Lari!"Mereka langsung berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok itu di belakang.Lorong ini tampaknya tidak berujung, tetapi mereka tid
Ustadz Harman menutup kitab kecilnya dan menoleh ke arah Lila. “Kita memang telah keluar dari lorong itu, tapi aku masih merasakan sesuatu yang aneh.”Lila mengerutkan kening. “Maksud Ustadz?”Ustadz Harman menghela napas, tatapannya penuh kekhawatiran. “Biasanya, setelah doa pemutusan, tempat yang terikat dengan dunia gaib akan kehilangan cengkeramannya. Namun, entah kenapa aku masih bisa merasakan kehadiran mereka.”Dimas mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya. Mereka belum benar-benar melepaskan kita.”Lila merinding mendengar kata-kata itu. Ia menoleh ke arah Jatinegara, memastikan anaknya baik-baik saja.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Dimas berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus mencari jalan keluar dari hutan ini dan kembali ke desa. Jika kita masih terikat dengan pesugihan Kandang Bubrah, kita harus mencari cara lain untuk benar-benar mengakhirinya.”Ustadz Harman setuju. “Kita harus cepat. Aku khawatir semakin lama kita di sini, semakin besar risiko mereka mena
Angin dingin bertiup semakin kencang, membuat dedaunan di hutan berbisik seperti suara-suara samar yang sulit dipahami. Lila menggenggam tangan Jatinegara erat, matanya menatap ke sekeliling dengan waspada.Dimas berdiri tegap di depan batu besar dengan simbol aneh yang mereka temukan. Senter di tangannya mulai redup, seolah cahaya dari dunia nyata tidak bisa bertahan lama di tempat ini.Ustadz Harman masih berdoa dengan khusyuk, suaranya terdengar tenang meskipun udara di sekitar mereka semakin berat.Lalu, dari dalam kegelapan, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.Lila menahan napas. “Apa itu?”Dimas meraih sebilah pisau kecil yang selalu ia bawa, siap menghadapi apa pun yang muncul.Siluet sosok tinggi muncul dari dalam bayangan pepohonan. Langkahnya lambat, tetapi setiap gerakannya terasa menekan. Cahaya senter yang redup hanya cukup untuk menampilkan bentuk samar tubuhnya.Lila merasa tenggorokannya mengering. Itu bukan manusia biasa.Sosok itu semakin dekat. Wajah
Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh
Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu
"Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan
Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek
Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem
Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka
Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah
“Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung
Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu