แชร์

151.  Rahasia yang Terkubur

ผู้เขียน: Ndraa Archer
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-02 23:06:14

Lila berdiri membeku. Sosok pria muda di hadapannya terlihat kurus dan lusuh, wajahnya penuh kelelahan, seolah telah melewati perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Mata itu mata yang penuh rahasia menatapnya tajam, seakan mencari kepastian dalam kehadirannya.

“Dimas?” Lila mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.

Dimas mengangguk pelan. “Aku tahu kau akan mencariku suatu hari nanti.”

Ustadz Harman menatap pemuda itu dengan penuh kewaspadaan. “Kau menghilang bertahun-tahun, tapi sekarang muncul di hadapan kami. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dimas menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sesaat sebelum kembali menatap Lila. “Aku berusaha menghentikan Arif, tapi dia tidak mau mendengar. Aku mencoba memperingatkannya agar tidak masuk ke hutan itu, tapi dia terlalu buta dengan ambisinya.”

Lila mengepalkan tangan. Ingatan tentang Arif yang terjerumus dalam pesugihan kembali berputar di benaknya. “Jadi... kau sudah tahu semuanya sejak awal?”

Dimas mengangguk. “Ya. Aku tahu lebih
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Pesugihan Kandang Bubrah   152. Pintu yang Tak Boleh Dibuka    

    “Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   153. Siluetnya samar

    Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-03
  • Pesugihan Kandang Bubrah   154. Bayangan yang Mengintai

    Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-04
  • Pesugihan Kandang Bubrah   155. Bayangan di Balik Cahaya

    Lila menggelengkan kepala, air mata menggenang di matanya. “Arif sudah mati. Kau bukan dia.”Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan membawa kalian bersamaku.”Angin bertiup semakin kencang. Suara gemuruh terdengar dari tanah, seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalamnya.Ustadz Harman berteriak, “Lanjutkan ritualnya! Jangan berhenti!”Dimas segera menyiramkan minyak fambo ke dalam api yang semakin besar. Lila, meskipun masih gemetar, mulai membaca mantra yang tertulis di kertas lusuh dari Mbah Niah.Bayangan Arif menjerit kesakitan. Ia mundur perlahan, tetapi masih berusaha melawan.“Kita hampir selesai!” teriak Dimas.Lila terus membaca mantra dengan suara semakin lantang, hingga tiba-tiba…Semuanya menjadi hening.Bayangan Arif menghilang dalam pusaran asap hitam. Udara yang tadi berat kini menjadi lebih ringan.Lila terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Jatinegara menangis dalam pelukannya, sementara Ustadz Harman menutup matanya dalam doa.Dimas menghela napas panj

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-05
  • Pesugihan Kandang Bubrah   156. Jatuh ke Dalam Kegelapan  

    Mereka sampai di tepi jurang yang curam. Di bawah mereka, jurang itu dipenuhi kabut pekat yang menyembunyikan apa yang ada di dasarnya.Lila menoleh ke belakang. Sosok bayangan itu kini semakin dekat. Mata hitamnya bersinar dalam kegelapan, senyumnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak seharusnya dimiliki manusia."Kita harus lompat!" seru Dimas.Lila membelalakkan mata. "Kau gila? Kita bisa mati!""Dibandingkan dengan mereka? Kita tidak punya pilihan!" Dimas sudah bersiap melompat.Ustadz Harman menutup mata sejenak, lalu berkata, "Lila, percaya saja. Tuhan akan melindungi kita."Lila menggenggam tangan Jatinegara lebih erat, lalu menatap anaknya. "Jati, kau percaya pada Ibu?"Jatinegara mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketakutan."Kalau begitu, tutup matamu, dan jangan lepaskan tangan Ibu."Tanpa ragu lagi, mereka semua melompat.Angin berembus kencang di sekitar mereka saat tubuh mereka jatuh ke dalam jurang. Lila memeluk Jatinegara erat, memastikan anak

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-06
  • Pesugihan Kandang Bubrah    157. Lorong Tak berujung

    Sosok itu tersenyum tipis. "Lila..."Suara itu terdengar seperti suara Arif, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seakan ada gema di dalamnya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh.Lila merasakan lututnya melemas. "Ini tidak mungkin..."Ustadz Harman langsung berdiri di depan Lila dan Jatinegara, menghadang mereka. "Itu bukan Arif! Jangan dengarkan dia!"Dimas meraih bahu Lila dan berbisik cepat, "Jangan terpengaruh! Kita harus segera pergi!"Namun, sosok Arif itu mulai melangkah maju. Langkahnya lambat, tetapi suara derap kakinya menggema di seluruh lorong."Lila... kau tidak bisa pergi begitu saja..."Suara itu terdengar lebih dalam, lebih berat, lebih mengancam.Lila menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan Arif. Ini adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang menggunakan wujud Arif untuk memanipulasi dirinya.Dimas menarik tangan Lila dengan kuat. "Lari!"Mereka langsung berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok itu di belakang.Lorong ini tampaknya tidak berujung, tetapi mereka tid

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-07
  • Pesugihan Kandang Bubrah   158 Jejak yang Menghilang

    Ustadz Harman menutup kitab kecilnya dan menoleh ke arah Lila. “Kita memang telah keluar dari lorong itu, tapi aku masih merasakan sesuatu yang aneh.”Lila mengerutkan kening. “Maksud Ustadz?”Ustadz Harman menghela napas, tatapannya penuh kekhawatiran. “Biasanya, setelah doa pemutusan, tempat yang terikat dengan dunia gaib akan kehilangan cengkeramannya. Namun, entah kenapa aku masih bisa merasakan kehadiran mereka.”Dimas mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya. Mereka belum benar-benar melepaskan kita.”Lila merinding mendengar kata-kata itu. Ia menoleh ke arah Jatinegara, memastikan anaknya baik-baik saja.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Dimas berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus mencari jalan keluar dari hutan ini dan kembali ke desa. Jika kita masih terikat dengan pesugihan Kandang Bubrah, kita harus mencari cara lain untuk benar-benar mengakhirinya.”Ustadz Harman setuju. “Kita harus cepat. Aku khawatir semakin lama kita di sini, semakin besar risiko mereka mena

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   159. Gerbang yang Terbuka

    Angin dingin bertiup semakin kencang, membuat dedaunan di hutan berbisik seperti suara-suara samar yang sulit dipahami. Lila menggenggam tangan Jatinegara erat, matanya menatap ke sekeliling dengan waspada.Dimas berdiri tegap di depan batu besar dengan simbol aneh yang mereka temukan. Senter di tangannya mulai redup, seolah cahaya dari dunia nyata tidak bisa bertahan lama di tempat ini.Ustadz Harman masih berdoa dengan khusyuk, suaranya terdengar tenang meskipun udara di sekitar mereka semakin berat.Lalu, dari dalam kegelapan, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.Lila menahan napas. “Apa itu?”Dimas meraih sebilah pisau kecil yang selalu ia bawa, siap menghadapi apa pun yang muncul.Siluet sosok tinggi muncul dari dalam bayangan pepohonan. Langkahnya lambat, tetapi setiap gerakannya terasa menekan. Cahaya senter yang redup hanya cukup untuk menampilkan bentuk samar tubuhnya.Lila merasa tenggorokannya mengering. Itu bukan manusia biasa.Sosok itu semakin dekat. Wajah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-09

บทล่าสุด

  • Pesugihan Kandang Bubrah   212. Pertarungan di Antara Bayangan

    Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t

  • Pesugihan Kandang Bubrah   211. Leluhur yang Mengutuk Darahnya Sendiri

    Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."

  • Pesugihan Kandang Bubrah   210. Jejak yang Terkubur  

    Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des

  • Pesugihan Kandang Bubrah   209. Bayangan yang Masih Mengintai

    Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   208. Luka yang Tak Terlihat

    Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."

  • Pesugihan Kandang Bubrah   207. Pilihan Terakhir

    Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   206.  Kandang Jiwa yang Terkurung

    Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   205. Pintu ke Neraka  

    Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status