แชร์

158 Jejak yang Menghilang

ผู้เขียน: Ndraa Archer
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-08 22:45:53

Ustadz Harman menutup kitab kecilnya dan menoleh ke arah Lila. “Kita memang telah keluar dari lorong itu, tapi aku masih merasakan sesuatu yang aneh.”

Lila mengerutkan kening. “Maksud Ustadz?”

Ustadz Harman menghela napas, tatapannya penuh kekhawatiran. “Biasanya, setelah doa pemutusan, tempat yang terikat dengan dunia gaib akan kehilangan cengkeramannya. Namun, entah kenapa aku masih bisa merasakan kehadiran mereka.”

Dimas mengangguk pelan. “Aku juga merasakannya. Mereka belum benar-benar melepaskan kita.”

Lila merinding mendengar kata-kata itu. Ia menoleh ke arah Jatinegara, memastikan anaknya baik-baik saja.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Dimas berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus mencari jalan keluar dari hutan ini dan kembali ke desa. Jika kita masih terikat dengan pesugihan Kandang Bubrah, kita harus mencari cara lain untuk benar-benar mengakhirinya.”

Ustadz Harman setuju. “Kita harus cepat. Aku khawatir semakin lama kita di sini, semakin besar risiko mereka mena
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Pesugihan Kandang Bubrah   159. Gerbang yang Terbuka

    Angin dingin bertiup semakin kencang, membuat dedaunan di hutan berbisik seperti suara-suara samar yang sulit dipahami. Lila menggenggam tangan Jatinegara erat, matanya menatap ke sekeliling dengan waspada.Dimas berdiri tegap di depan batu besar dengan simbol aneh yang mereka temukan. Senter di tangannya mulai redup, seolah cahaya dari dunia nyata tidak bisa bertahan lama di tempat ini.Ustadz Harman masih berdoa dengan khusyuk, suaranya terdengar tenang meskipun udara di sekitar mereka semakin berat.Lalu, dari dalam kegelapan, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.Lila menahan napas. “Apa itu?”Dimas meraih sebilah pisau kecil yang selalu ia bawa, siap menghadapi apa pun yang muncul.Siluet sosok tinggi muncul dari dalam bayangan pepohonan. Langkahnya lambat, tetapi setiap gerakannya terasa menekan. Cahaya senter yang redup hanya cukup untuk menampilkan bentuk samar tubuhnya.Lila merasa tenggorokannya mengering. Itu bukan manusia biasa.Sosok itu semakin dekat. Wajah

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-09
  • Pesugihan Kandang Bubrah   160. Bayangan di Balik Ketenangan  

    Dan dalam sekejap mereka tidak lagi berada di hutan. Lila membuka matanya perlahan. Ia melihat rumah kecil mereka di kejauhan. Tanah yang kering, suara ayam berkokok, dan udara pagi yang lebih hangat dari sebelumnya.”Mereka benar-benar telah keluar.” Suara dari sekitar Lila.Jatinegara menatap sekeliling dengan bingung, lalu memeluk ibunya erat. “Ibu… kita pulang…”Lila menangis. Ia memeluk anaknya erat.Dimas menghela napas panjang. “Kita berhasil…”Namun, sebelum mereka bisa benar-benar tenang, suara lirih terdengar di belakang mereka.“Kalian sudah kembali… tapi ingatlah… tidak semua pintu yang tertutup akan tetap terkunci selamanya.” Lila menoleh.Tidak ada siapa-siapa.Mereka mungkin telah keluar. Tapi pesugihan Kandang Bubrah belum benar-benar hilang.Matahari pagi menyinari tanah yang masih basah oleh embun. Lila berdiri di depan rumah kecilnya, menatap ke kejauhan dengan pikiran yang masih dipenuhi kegelisahan.Mereka telah kembali. Tidak ada lagi suara bisikan dari hutan, ti

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-10
  • Pesugihan Kandang Bubrah   161. Jeritan di Balik Pintu

    Angin dingin langsung masuk ke dalam rumah, membuat lampu redup bergoyang-goyang.Di ambang pintu, berdiri sesosok pria dengan pakaian yang sudah sobek dan tubuh yang tampak pucat.”Arif. Atau sesuatu yang menyerupai Arif,” gumam Lira, lebih berbisik.Matanya kosong, wajahnya pucat seperti mayat, tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. “Lila…”Lila membekap mulutnya sendiri, menahan jeritan yang hampir keluar.Dimas berdiri di depannya, melindunginya dari sosok itu. “Kau bukan Arif.”Sosok itu menoleh perlahan ke arah Dimas, lalu tersenyum lebih lebar. “Apa kau yakin?”Suara itu dalam, tetapi terdengar lebih bergema dari suara manusia biasa.Ustadz Harman mulai membaca doa dengan suara lantang, mencoba melawan kehadiran makhluk itu.Namun, sosok Arif tidak bergerak. Ia tetap berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah Lila.“Kau mengembalikan koin itu…” suaranya terdengar lirih. “Tapi kau lupa satu hal.”Lila menelan ludah. “Apa?”Sosok Arif itu menyeringai. “Kau… masih mema

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-11
  • Pesugihan Kandang Bubrah   162. Kabut Pekat Menggantung di Udara

    Jatinegara berusaha menyembunyikan wajahnya di dada ibunya, menangis keras.Ustadz Harman membaca doa semakin cepat, tapi bayangan itu hanya diam, menatap mereka dengan tatapan kosong.Lalu, bibirnya bergerak. Tapi suara yang keluar bukanlah suara dari satu orang. Itu suara dari banyak orang—berlapis-lapis, bercampur menjadi satu, mengalun dalam bisikan yang menyesakkan dada.“Kalian pikir bisa pergi?”“Kami sudah ada di sini sejak lama.”“Dan kalian… adalah bagian dari kami.”Lila menggigit bibirnya sendiri, tubuhnya gemetar. Ia ingin menutup matanya, ingin mempercayai bahwa ini hanyalah mimpi buruk, tapi ini nyata.Dimas menarik Lila ke belakang, lalu berbisik cepat. “Kita harus keluar dari sini.”“Tapi bagaimana?” bisik Lila panik.Bayangan itu mulai bergerak maju. Langkahnya lambat, tapi setiap gerakannya terasa seperti mengguncang rumah ini dari dalam.Ustadz Harman berteriak, “Keluar! Sekarang!”Dimas langsung menarik Lila dan Jatinegara, memaksa mereka berlari ke pintu belakang

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-12
  • Pesugihan Kandang Bubrah   163. Liontin Kecil

    Dalam sekejap, makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Ia melompat mendekat, menerobos barisan pekerja yang tetap bekerja tanpa reaksi. Tangan besarnya hampir menyentuh Lila saat ia dengan cepat merunduk dan berlari sekuat tenaga menuju hutan yang lebih dalam.Dedaunan tajam mencambuk wajah dan lengannya, tetapi ia tidak peduli. Ia harus pergi dari sini, sebelum ia menjadi mangsa berikutnya.Di belakangnya, suara langkah makhluk itu semakin dekat. Napas beratnya menggetarkan udara, suaranya seperti raungan ribuan roh yang tersiksa. Lila menoleh ke belakang dan melihat makhluk itu melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara yang tidak alami.Matanya bersinar merah pekat dalam kegelapan, seperti bara api yang menyala di dalam tubuh hitamnya.Makhluk itu terlalu cepat. Ia tidak mungkin bisa lari selamanya. Tiba-tiba, ingatannya menangkap sesuatu.”Liontin.” Tangannya meraba lehernya, mencari benda kecil yang diberikan Ustadz Harman sebelum mereka memulai per

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah    164. Perjalanan yang Belum Usai

    Suara berat itu membuat Lila menoleh cepat. Ustadz Harman berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keprihatinan. Di belakangnya, Jatinegara duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti orang yang baru saja melihat hantu.“Kau sudah sadar?” tanya Ustadz Harman, mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.Lila mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa yang terjadi? Aku… aku ada di hutan. Lalu tiba-tiba aku—”“Kau pingsan,” potong Ustadz Harman dengan suara lembut. “Tadi kau berlari keluar rumah dalam keadaan linglung, seolah ada sesuatu yang menarikmu ke tempat lain. Kami mencoba menghentikanmu, tetapi kau terus berteriak… menyebut nama Arif.”Mata Lila melebar. ”Arif… aku melihatnya!”Jatinegara yang sedari tadi diam kini bersuara, suaranya serak. “Ibu, kau yakin? Maksud Jati, kita tahu Ayah Arif sudah…”“Tidak!” potong Lila cepat. “Aku melihatnya! Dia tidak sepenuhn

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   165. Bayangan di Kegelapan

    Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah   166.  Isyarat Sang Penjaga

    Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-02-16

บทล่าสุด

  • Pesugihan Kandang Bubrah   212. Pertarungan di Antara Bayangan

    Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t

  • Pesugihan Kandang Bubrah   211. Leluhur yang Mengutuk Darahnya Sendiri

    Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."

  • Pesugihan Kandang Bubrah   210. Jejak yang Terkubur  

    Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des

  • Pesugihan Kandang Bubrah   209. Bayangan yang Masih Mengintai

    Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   208. Luka yang Tak Terlihat

    Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."

  • Pesugihan Kandang Bubrah   207. Pilihan Terakhir

    Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   206.  Kandang Jiwa yang Terkurung

    Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   205. Pintu ke Neraka  

    Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status