Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 150. Kembali ke Dunia Nyata

Share

150. Kembali ke Dunia Nyata

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-01 23:22:41

Lila masih bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dirinya dan Jatinegara kembali ke rumah mereka yang sekarang terasa begitu asing.

Segala kemewahan yang pernah mereka miliki kini tampak seperti kutukan yang mengancam mereka dari bayang-bayang masa lalu. Ia menatap rumah besar yang dulu dibangun oleh Arif dengan hasil pesugihan, kini terasa lebih seperti penjara daripada tempat perlindungan.

"Bu, kita mau tinggal di sini lagi?" tanya Jatinegara, anaknya yang masih berusia delapan tahun, memandang rumah itu dengan tatapan ragu.

Lila menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak, Nak. Kita akan pergi dari sini."

Lila sadar, meskipun Arif telah tiada, ikatan mereka dengan pesugihan itu belum sepenuhnya terputus. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan kenangan dan kegelapan yang bisa menyeret mereka kembali.

Ustadz Harman, yang membantu mereka kembali ke dunia nyata, datang menghampiri. "Bu Lila, keputusan Anda benar. Meninggalkan tempat ini adalah satu-satunya cara untuk be
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah   151.  Rahasia yang Terkubur

    Lila berdiri membeku. Sosok pria muda di hadapannya terlihat kurus dan lusuh, wajahnya penuh kelelahan, seolah telah melewati perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Mata itu mata yang penuh rahasia menatapnya tajam, seakan mencari kepastian dalam kehadirannya.“Dimas?” Lila mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.Dimas mengangguk pelan. “Aku tahu kau akan mencariku suatu hari nanti.”Ustadz Harman menatap pemuda itu dengan penuh kewaspadaan. “Kau menghilang bertahun-tahun, tapi sekarang muncul di hadapan kami. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dimas menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sesaat sebelum kembali menatap Lila. “Aku berusaha menghentikan Arif, tapi dia tidak mau mendengar. Aku mencoba memperingatkannya agar tidak masuk ke hutan itu, tapi dia terlalu buta dengan ambisinya.”Lila mengepalkan tangan. Ingatan tentang Arif yang terjerumus dalam pesugihan kembali berputar di benaknya. “Jadi... kau sudah tahu semuanya sejak awal?”Dimas mengangguk. “Ya. Aku tahu lebih

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   152. Pintu yang Tak Boleh Dibuka    

    “Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   153. Siluetnya samar

    Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Pesugihan Kandang Bubrah   154. Bayangan yang Mengintai

    Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Pesugihan Kandang Bubrah   155. Bayangan di Balik Cahaya

    Lila menggelengkan kepala, air mata menggenang di matanya. “Arif sudah mati. Kau bukan dia.”Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan membawa kalian bersamaku.”Angin bertiup semakin kencang. Suara gemuruh terdengar dari tanah, seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalamnya.Ustadz Harman berteriak, “Lanjutkan ritualnya! Jangan berhenti!”Dimas segera menyiramkan minyak fambo ke dalam api yang semakin besar. Lila, meskipun masih gemetar, mulai membaca mantra yang tertulis di kertas lusuh dari Mbah Niah.Bayangan Arif menjerit kesakitan. Ia mundur perlahan, tetapi masih berusaha melawan.“Kita hampir selesai!” teriak Dimas.Lila terus membaca mantra dengan suara semakin lantang, hingga tiba-tiba…Semuanya menjadi hening.Bayangan Arif menghilang dalam pusaran asap hitam. Udara yang tadi berat kini menjadi lebih ringan.Lila terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Jatinegara menangis dalam pelukannya, sementara Ustadz Harman menutup matanya dalam doa.Dimas menghela napas panj

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • Pesugihan Kandang Bubrah   156. Jatuh ke Dalam Kegelapan  

    Mereka sampai di tepi jurang yang curam. Di bawah mereka, jurang itu dipenuhi kabut pekat yang menyembunyikan apa yang ada di dasarnya.Lila menoleh ke belakang. Sosok bayangan itu kini semakin dekat. Mata hitamnya bersinar dalam kegelapan, senyumnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak seharusnya dimiliki manusia."Kita harus lompat!" seru Dimas.Lila membelalakkan mata. "Kau gila? Kita bisa mati!""Dibandingkan dengan mereka? Kita tidak punya pilihan!" Dimas sudah bersiap melompat.Ustadz Harman menutup mata sejenak, lalu berkata, "Lila, percaya saja. Tuhan akan melindungi kita."Lila menggenggam tangan Jatinegara lebih erat, lalu menatap anaknya. "Jati, kau percaya pada Ibu?"Jatinegara mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketakutan."Kalau begitu, tutup matamu, dan jangan lepaskan tangan Ibu."Tanpa ragu lagi, mereka semua melompat.Angin berembus kencang di sekitar mereka saat tubuh mereka jatuh ke dalam jurang. Lila memeluk Jatinegara erat, memastikan anak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • Pesugihan Kandang Bubrah    157. Lorong Tak berujung

    Sosok itu tersenyum tipis. "Lila..."Suara itu terdengar seperti suara Arif, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seakan ada gema di dalamnya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh.Lila merasakan lututnya melemas. "Ini tidak mungkin..."Ustadz Harman langsung berdiri di depan Lila dan Jatinegara, menghadang mereka. "Itu bukan Arif! Jangan dengarkan dia!"Dimas meraih bahu Lila dan berbisik cepat, "Jangan terpengaruh! Kita harus segera pergi!"Namun, sosok Arif itu mulai melangkah maju. Langkahnya lambat, tetapi suara derap kakinya menggema di seluruh lorong."Lila... kau tidak bisa pergi begitu saja..."Suara itu terdengar lebih dalam, lebih berat, lebih mengancam.Lila menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan Arif. Ini adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang menggunakan wujud Arif untuk memanipulasi dirinya.Dimas menarik tangan Lila dengan kuat. "Lari!"Mereka langsung berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok itu di belakang.Lorong ini tampaknya tidak berujung, tetapi mereka tid

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Pesugihan Kandang Bubrah    1. Membuat Malu

    “Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah    157. Lorong Tak berujung

    Sosok itu tersenyum tipis. "Lila..."Suara itu terdengar seperti suara Arif, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seakan ada gema di dalamnya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh.Lila merasakan lututnya melemas. "Ini tidak mungkin..."Ustadz Harman langsung berdiri di depan Lila dan Jatinegara, menghadang mereka. "Itu bukan Arif! Jangan dengarkan dia!"Dimas meraih bahu Lila dan berbisik cepat, "Jangan terpengaruh! Kita harus segera pergi!"Namun, sosok Arif itu mulai melangkah maju. Langkahnya lambat, tetapi suara derap kakinya menggema di seluruh lorong."Lila... kau tidak bisa pergi begitu saja..."Suara itu terdengar lebih dalam, lebih berat, lebih mengancam.Lila menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan Arif. Ini adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang menggunakan wujud Arif untuk memanipulasi dirinya.Dimas menarik tangan Lila dengan kuat. "Lari!"Mereka langsung berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok itu di belakang.Lorong ini tampaknya tidak berujung, tetapi mereka tid

  • Pesugihan Kandang Bubrah   156. Jatuh ke Dalam Kegelapan  

    Mereka sampai di tepi jurang yang curam. Di bawah mereka, jurang itu dipenuhi kabut pekat yang menyembunyikan apa yang ada di dasarnya.Lila menoleh ke belakang. Sosok bayangan itu kini semakin dekat. Mata hitamnya bersinar dalam kegelapan, senyumnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak seharusnya dimiliki manusia."Kita harus lompat!" seru Dimas.Lila membelalakkan mata. "Kau gila? Kita bisa mati!""Dibandingkan dengan mereka? Kita tidak punya pilihan!" Dimas sudah bersiap melompat.Ustadz Harman menutup mata sejenak, lalu berkata, "Lila, percaya saja. Tuhan akan melindungi kita."Lila menggenggam tangan Jatinegara lebih erat, lalu menatap anaknya. "Jati, kau percaya pada Ibu?"Jatinegara mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketakutan."Kalau begitu, tutup matamu, dan jangan lepaskan tangan Ibu."Tanpa ragu lagi, mereka semua melompat.Angin berembus kencang di sekitar mereka saat tubuh mereka jatuh ke dalam jurang. Lila memeluk Jatinegara erat, memastikan anak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   155. Bayangan di Balik Cahaya

    Lila menggelengkan kepala, air mata menggenang di matanya. “Arif sudah mati. Kau bukan dia.”Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan membawa kalian bersamaku.”Angin bertiup semakin kencang. Suara gemuruh terdengar dari tanah, seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalamnya.Ustadz Harman berteriak, “Lanjutkan ritualnya! Jangan berhenti!”Dimas segera menyiramkan minyak fambo ke dalam api yang semakin besar. Lila, meskipun masih gemetar, mulai membaca mantra yang tertulis di kertas lusuh dari Mbah Niah.Bayangan Arif menjerit kesakitan. Ia mundur perlahan, tetapi masih berusaha melawan.“Kita hampir selesai!” teriak Dimas.Lila terus membaca mantra dengan suara semakin lantang, hingga tiba-tiba…Semuanya menjadi hening.Bayangan Arif menghilang dalam pusaran asap hitam. Udara yang tadi berat kini menjadi lebih ringan.Lila terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Jatinegara menangis dalam pelukannya, sementara Ustadz Harman menutup matanya dalam doa.Dimas menghela napas panj

  • Pesugihan Kandang Bubrah   154. Bayangan yang Mengintai

    Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging

  • Pesugihan Kandang Bubrah   153. Siluetnya samar

    Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me

  • Pesugihan Kandang Bubrah   152. Pintu yang Tak Boleh Dibuka    

    “Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   151.  Rahasia yang Terkubur

    Lila berdiri membeku. Sosok pria muda di hadapannya terlihat kurus dan lusuh, wajahnya penuh kelelahan, seolah telah melewati perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Mata itu mata yang penuh rahasia menatapnya tajam, seakan mencari kepastian dalam kehadirannya.“Dimas?” Lila mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.Dimas mengangguk pelan. “Aku tahu kau akan mencariku suatu hari nanti.”Ustadz Harman menatap pemuda itu dengan penuh kewaspadaan. “Kau menghilang bertahun-tahun, tapi sekarang muncul di hadapan kami. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dimas menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sesaat sebelum kembali menatap Lila. “Aku berusaha menghentikan Arif, tapi dia tidak mau mendengar. Aku mencoba memperingatkannya agar tidak masuk ke hutan itu, tapi dia terlalu buta dengan ambisinya.”Lila mengepalkan tangan. Ingatan tentang Arif yang terjerumus dalam pesugihan kembali berputar di benaknya. “Jadi... kau sudah tahu semuanya sejak awal?”Dimas mengangguk. “Ya. Aku tahu lebih

  • Pesugihan Kandang Bubrah    150. Kembali ke Dunia Nyata

    Lila masih bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dirinya dan Jatinegara kembali ke rumah mereka yang sekarang terasa begitu asing.Segala kemewahan yang pernah mereka miliki kini tampak seperti kutukan yang mengancam mereka dari bayang-bayang masa lalu. Ia menatap rumah besar yang dulu dibangun oleh Arif dengan hasil pesugihan, kini terasa lebih seperti penjara daripada tempat perlindungan."Bu, kita mau tinggal di sini lagi?" tanya Jatinegara, anaknya yang masih berusia delapan tahun, memandang rumah itu dengan tatapan ragu.Lila menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak, Nak. Kita akan pergi dari sini."Lila sadar, meskipun Arif telah tiada, ikatan mereka dengan pesugihan itu belum sepenuhnya terputus. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan kenangan dan kegelapan yang bisa menyeret mereka kembali.Ustadz Harman, yang membantu mereka kembali ke dunia nyata, datang menghampiri. "Bu Lila, keputusan Anda benar. Meninggalkan tempat ini adalah satu-satunya cara untuk be

  • Pesugihan Kandang Bubrah   149. Mengikuti Pesan Arif dan Dimas di Dalam Mimpi

    Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa tinggal di rumah itu berarti terus bertarung dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak bisa ia hadapi sendirian.Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang rumah itu. Dan seperti yang dikatakan Arif dan Dimas dalam mimpinya, jika ia bertahan, maka kegelapan itu akan semakin mendalam, merenggut segalanya, termasuk Jatinegara.Lila menggenggam tangan Jatinegara dengan erat, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus melakukannya. Aku harus pergi,” bisiknya, seolah menguatkan dirinya sendiri.Dengan hati yang berat, Lila berdiri dan keluar dari ruangan itu. Ustadz Harman masih duduk di tempatnya, melantunkan doa dalam diam, seperti biasa. Begitu melihat Lila keluar, ia segera berdiri dan menatapnya dengan mata penuh perhatian."Lila, bagaimana keadaanmu?" tanya Ustadz Harman lembut.Lila menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ustadz... saya harus pergi. Saya tidak bi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status