Portal GaibDi rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu
Gibran menoleh, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan pengenalan. Ia tersenyum, namun senyum itu terasa seperti senyum seorang yang tidak lagi berada di dunia yang sama dengan Lila.“Lila, aku sudah menunggumu,” kata Gibran dengan suara yang tidak familiar, begitu dalam dan kosong. “Bunyu sudah memanggilku. Aku datang untuk membantunya. Aku sudah menjadi bagian dari mereka.”Lila terkejut. “Tidak, Gibran, jangan biarkan dirimu terpengaruh! Itu bukan dirimu!”Namun, Gibran mulai bergerak menuju Lila dengan langkah pelan. Matanya yang kosong menatap Lila, dan tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia menyerang Lila, memegang pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang tak terlepas.“Lila… Ini akhir dari semuanya,” ucap Gibran dengan suara yang bukan miliknya, terdengar seperti bisikan roh-roh yang menguasainya.Lila berusaha melepaskan diri, namun tubuh Gibran seolah terisi oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Ia merasakan tubuhnya semakin lemah, dan bayanga
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Arif menggelengkan kepala, tatapannya penuh penyesalan. "Kau harus mengerti, Lila. Ketika kita berada di dunia ini, kita sering kali terikat pada kenangan, pada tempat yang kita anggap aman. Namun, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Rumah itu bukan tempat yang aman lagi. Sesuatu yang lebih gelap telah menguasainya."Lila menatap keduanya, seolah mencari petunjuk dalam kata-kata mereka. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa meninggalkan Jatinegara, dan aku tidak bisa membiarkan apa yang terjadi padanya."Dimas menarik napas dalam, menatap Lila dengan penuh keprihatinan. "Lila, kau tidak bisa bertahan di sana lebih lama lagi. Sesuatu yang buruk sudah terjadi, dan kau mungkin tidak bisa menyelamatkan Jatinegara jika kau tetap tinggal. Jika kau ingin melindunginya, kau harus pergi. Mungkin itu satu-satunya cara."Lila terdiam, kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam pikirannya. Ia ingin melawan, namun sesuatu dalam dirinya meresapi kebenaran yang disampaikan oleh
Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa tinggal di rumah itu berarti terus bertarung dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak bisa ia hadapi sendirian.Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang rumah itu. Dan seperti yang dikatakan Arif dan Dimas dalam mimpinya, jika ia bertahan, maka kegelapan itu akan semakin mendalam, merenggut segalanya, termasuk Jatinegara.Lila menggenggam tangan Jatinegara dengan erat, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus melakukannya. Aku harus pergi,” bisiknya, seolah menguatkan dirinya sendiri.Dengan hati yang berat, Lila berdiri dan keluar dari ruangan itu. Ustadz Harman masih duduk di tempatnya, melantunkan doa dalam diam, seperti biasa. Begitu melihat Lila keluar, ia segera berdiri dan menatapnya dengan mata penuh perhatian."Lila, bagaimana keadaanmu?" tanya Ustadz Harman lembut.Lila menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ustadz... saya harus pergi. Saya tidak bi
Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu
"Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan
Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek
Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem
Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka
Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah
“Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung
Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu
Dalam perjalanan pulang, malam sudah mulai turun. Jalan desa yang gelap dilalui dengan perasaan campur aduk. Tapi mereka tahu, ini bukan hanya soal pengusiran. Ini soal menutup celah yang selama ini dibiarkan terbuka oleh luka-luka lama.Dan saat mereka sampai di rumah......pintu depan terbuka sedikit.Mereka saling tatap. Tidak ada yang merasa membukanya.Saat melangkah masuk, mereka langsung mencium aroma asing.Bunga melati.Dan di lantai ruang tamu, tersebar koin-koin logam. Bukan hanya satu. Tapi puluhan.Berderet. Mengarah ke kamar Jatinegara.Dan di dinding, tergambar satu kalimat:"Kami sudah menunggu."Dalam keheningan itu, sebuah suara kecil terdengar dari dalam kamar.Ketukan. Pelan.Satu...Dua...Tiga...Seolah memanggil mereka... untuk membuka pintu mimpi yang belum selesai.Hujan kembali turun malam itu. Lebih deras dari malam-malam sebelumnya, seolah langi