Malam itu, suasana terasa begitu mencekam. Udara di sekitar rumah Mahoni terasa berat, penuh dengan bisikan-bisikan gaib yang tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia biasa. Lila berdiri di ambang pintu, tubuhnya bergetar. Di kejauhan, ia melihat kerumunan warga desa dengan obor dan senjata, mendekat perlahan, tetapi pasti.Di belakangnya, Jatinegara, anak laki-lakinya, meringkuk di sudut ruangan dengan wajah pucat. Bocah itu memeluk lututnya, menangis tanpa suara. Lila berjongkok di hadapannya, mencoba menenangkan."Jatinegara, dengarkan Ibu." Suara Lila bergetar, tapi penuh ketegasan. "Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap tenang. Ibu tidak akan membiarkan mereka menyakitimu.""Iya, Bu..." Jatinegara memandang ibunya dengan mata yang basah.Lila menarik napas dalam-dalam, menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia menggenggam bahu putranya dengan erat, mencoba menyalurkan keberanian yang nyaris hilang.Ketukan keras tiba-tiba terdengar di pintu, membuat keduanya terlonjak. Lila men
”Mereka sudah sampai,” gumam Lila ketakutan. Sedangkan Mbah Mijan seketika menghilang bersama dengan suara warga yang mendekat.Suara kayu pintu yang didobrak bergema di dalam rumah Mahoni. Warga desa menyerbu masuk dengan amarah yang meluap, membawa obor, golok, dan kayu yang mereka ayunkan ke segala arah. Suasana berubah menjadi kekacauan dalam hitungan detik. Perabotan di ruang tamu hancur berantakan, dan simbol-simbol ritual yang ada di rumah itu menjadi sasaran pertama.“Ini bukti! Mereka melakukan pesugihan!” teriak salah satu warga sambil menunjuk lingkaran ritual di tengah ruangan.“Akhiri keluarga ini! Mereka telah menghancurkan hidup kita!” seru yang lain, membakar amarah massa lebih jauh.Lila berdiri mematung, memeluk Jatinegara yang kini menangis ketakutan di pelukannya. Mbah Mijan entah bagaimana menghilang di tengah kekacauan itu, meninggalkan Lila dan Jatinegara menghadapi amukan massa seorang diri.“Dengarkan aku!” Lila berteriak, mencoba menjangkau akal sehat warga. “
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Portal GaibDi rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu
Gibran menoleh, tetapi ekspresinya tidak menunjukkan pengenalan. Ia tersenyum, namun senyum itu terasa seperti senyum seorang yang tidak lagi berada di dunia yang sama dengan Lila.“Lila, aku sudah menunggumu,” kata Gibran dengan suara yang tidak familiar, begitu dalam dan kosong. “Bunyu sudah memanggilku. Aku datang untuk membantunya. Aku sudah menjadi bagian dari mereka.”Lila terkejut. “Tidak, Gibran, jangan biarkan dirimu terpengaruh! Itu bukan dirimu!”Namun, Gibran mulai bergerak menuju Lila dengan langkah pelan. Matanya yang kosong menatap Lila, dan tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia menyerang Lila, memegang pergelangan tangannya dengan cengkeraman yang tak terlepas.“Lila… Ini akhir dari semuanya,” ucap Gibran dengan suara yang bukan miliknya, terdengar seperti bisikan roh-roh yang menguasainya.Lila berusaha melepaskan diri, namun tubuh Gibran seolah terisi oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Ia merasakan tubuhnya semakin lemah, dan bayanga
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Sosok itu tersenyum tipis. "Lila..."Suara itu terdengar seperti suara Arif, tetapi ada sesuatu yang aneh. Seakan ada gema di dalamnya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh.Lila merasakan lututnya melemas. "Ini tidak mungkin..."Ustadz Harman langsung berdiri di depan Lila dan Jatinegara, menghadang mereka. "Itu bukan Arif! Jangan dengarkan dia!"Dimas meraih bahu Lila dan berbisik cepat, "Jangan terpengaruh! Kita harus segera pergi!"Namun, sosok Arif itu mulai melangkah maju. Langkahnya lambat, tetapi suara derap kakinya menggema di seluruh lorong."Lila... kau tidak bisa pergi begitu saja..."Suara itu terdengar lebih dalam, lebih berat, lebih mengancam.Lila menelan ludah. Ia tahu bahwa ini bukan Arif. Ini adalah sesuatu yang lain—sesuatu yang menggunakan wujud Arif untuk memanipulasi dirinya.Dimas menarik tangan Lila dengan kuat. "Lari!"Mereka langsung berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok itu di belakang.Lorong ini tampaknya tidak berujung, tetapi mereka tid
Mereka sampai di tepi jurang yang curam. Di bawah mereka, jurang itu dipenuhi kabut pekat yang menyembunyikan apa yang ada di dasarnya.Lila menoleh ke belakang. Sosok bayangan itu kini semakin dekat. Mata hitamnya bersinar dalam kegelapan, senyumnya menyeringai lebar, memperlihatkan gigi-gigi tajam yang tidak seharusnya dimiliki manusia."Kita harus lompat!" seru Dimas.Lila membelalakkan mata. "Kau gila? Kita bisa mati!""Dibandingkan dengan mereka? Kita tidak punya pilihan!" Dimas sudah bersiap melompat.Ustadz Harman menutup mata sejenak, lalu berkata, "Lila, percaya saja. Tuhan akan melindungi kita."Lila menggenggam tangan Jatinegara lebih erat, lalu menatap anaknya. "Jati, kau percaya pada Ibu?"Jatinegara mengangguk, meskipun wajahnya penuh ketakutan."Kalau begitu, tutup matamu, dan jangan lepaskan tangan Ibu."Tanpa ragu lagi, mereka semua melompat.Angin berembus kencang di sekitar mereka saat tubuh mereka jatuh ke dalam jurang. Lila memeluk Jatinegara erat, memastikan anak
Lila menggelengkan kepala, air mata menggenang di matanya. “Arif sudah mati. Kau bukan dia.”Sosok itu tersenyum tipis. “Kalau begitu… aku akan membawa kalian bersamaku.”Angin bertiup semakin kencang. Suara gemuruh terdengar dari tanah, seolah sesuatu sedang berusaha keluar dari dalamnya.Ustadz Harman berteriak, “Lanjutkan ritualnya! Jangan berhenti!”Dimas segera menyiramkan minyak fambo ke dalam api yang semakin besar. Lila, meskipun masih gemetar, mulai membaca mantra yang tertulis di kertas lusuh dari Mbah Niah.Bayangan Arif menjerit kesakitan. Ia mundur perlahan, tetapi masih berusaha melawan.“Kita hampir selesai!” teriak Dimas.Lila terus membaca mantra dengan suara semakin lantang, hingga tiba-tiba…Semuanya menjadi hening.Bayangan Arif menghilang dalam pusaran asap hitam. Udara yang tadi berat kini menjadi lebih ringan.Lila terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas. Jatinegara menangis dalam pelukannya, sementara Ustadz Harman menutup matanya dalam doa.Dimas menghela napas panj
Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat, meninggalkan rumah yang kini terasa lebih seperti neraka daripada tempat tinggal.Lila menoleh ke belakang, melihat rumah besar itu semakin menjauh di balik kegelapan malam.Namun, meskipun mereka sudah keluar dari sana, perasaan tidak nyaman masih melekat dalam hatinya.Jatinegara duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar ketakutan. Lila merangkul anaknya erat, mencoba memberikan rasa aman. Ustadz Harman yang duduk di depan tetap fokus mengemudikan mobil, sementara Dimas sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.“Kita berhasil keluar,” gumam Lila, lebih kepada dirinya sendiri.Dimas mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat tegang. “Tapi itu belum selesai. Mereka tahu kita sudah mengambil barang-barang itu.”Lila menelan ludah. Kata-kata Dimas menging
Braak! Sebuah rak di sudut ruangan roboh sendiri tanpa sebab. Debunya berhamburan ke udara, menciptakan kabut tipis yang menyelimuti ruangan. Jatinegara menjerit ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Ustadz Harman, tubuhnya gemetar hebat.Lila merasa tengkuknya meremang. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan bau anyir tiba-tiba menyeruak dari entah di mana. Bau yang begitu menusuk, seperti daging busuk yang telah lama membusuk di tempat yang lembap dan gelap. Ia tahu mereka tidak sendiri.“Ambil semua dan keluar sekarang!” Dimas mendesak dengan suara tegang.Dengan tangan gemetar, Lila buru-buru memasukkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang sudah ia siapkan. Jari-jarinya nyaris tidak bisa bekerja dengan baik, seakan ada kekuatan yang mencoba menghambatnya.Setiap hela napas terasa berat, seolah udara di ruangan itu semakin menipis. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di ruangan itu begitu dingin hingga menusuk tulang.Begitu semuanya aman, me
“Kau ingin mengatakan bahwa... aku bisa menghancurkannya?” suara Lila nyaris berbisik.Dimas mengangguk. “Ya. Dan aku akan membantumu.”Mata Lila terbelalak. Ia tidak pernah berpikir untuk kembali berurusan dengan Kandang Bubrah. Baginya, bisa keluar dari sana saja sudah merupakan keajaiban. Tapi kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa jika pesugihan itu tidak dihancurkan, maka kutukan ini akan terus berlanjut.Ustadz Harman, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Tapi bagaimana caranya?”Dimas menghela napas. “Ada ritual tertentu yang harus dilakukan. Tapi ini berbahaya. Jika kita gagal, kita bisa terjebak selamanya.”Lila mengepalkan tangannya. Ia menatap Jatinegara, yang balas menatapnya dengan mata penuh ketakutan.Ia tahu ini gila. Tapi jika ia tidak bertindak, pesugihan itu akan terus menelan lebih banyak korban.Lila menarik napas dalam. “Baiklah. Aku akan melakukannya.”Dimas menatapnya penuh penghormatan. “Kalau begitu, kita harus segera bersiap. Karena mereka sudah tahu
Lila berdiri membeku. Sosok pria muda di hadapannya terlihat kurus dan lusuh, wajahnya penuh kelelahan, seolah telah melewati perjalanan panjang yang tak berkesudahan. Mata itu mata yang penuh rahasia menatapnya tajam, seakan mencari kepastian dalam kehadirannya.“Dimas?” Lila mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.Dimas mengangguk pelan. “Aku tahu kau akan mencariku suatu hari nanti.”Ustadz Harman menatap pemuda itu dengan penuh kewaspadaan. “Kau menghilang bertahun-tahun, tapi sekarang muncul di hadapan kami. Apa yang sebenarnya terjadi?”Dimas menghela napas panjang. Dia menundukkan kepala sesaat sebelum kembali menatap Lila. “Aku berusaha menghentikan Arif, tapi dia tidak mau mendengar. Aku mencoba memperingatkannya agar tidak masuk ke hutan itu, tapi dia terlalu buta dengan ambisinya.”Lila mengepalkan tangan. Ingatan tentang Arif yang terjerumus dalam pesugihan kembali berputar di benaknya. “Jadi... kau sudah tahu semuanya sejak awal?”Dimas mengangguk. “Ya. Aku tahu lebih
Lila masih bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya saat dirinya dan Jatinegara kembali ke rumah mereka yang sekarang terasa begitu asing.Segala kemewahan yang pernah mereka miliki kini tampak seperti kutukan yang mengancam mereka dari bayang-bayang masa lalu. Ia menatap rumah besar yang dulu dibangun oleh Arif dengan hasil pesugihan, kini terasa lebih seperti penjara daripada tempat perlindungan."Bu, kita mau tinggal di sini lagi?" tanya Jatinegara, anaknya yang masih berusia delapan tahun, memandang rumah itu dengan tatapan ragu.Lila menggenggam tangan anaknya erat. "Tidak, Nak. Kita akan pergi dari sini."Lila sadar, meskipun Arif telah tiada, ikatan mereka dengan pesugihan itu belum sepenuhnya terputus. Setiap sudut rumah ini seolah menyimpan kenangan dan kegelapan yang bisa menyeret mereka kembali.Ustadz Harman, yang membantu mereka kembali ke dunia nyata, datang menghampiri. "Bu Lila, keputusan Anda benar. Meninggalkan tempat ini adalah satu-satunya cara untuk be
Namun, di saat yang sama, ia juga tahu bahwa tinggal di rumah itu berarti terus bertarung dengan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak bisa ia hadapi sendirian.Sebuah kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yang telah bersembunyi dalam bayang-bayang rumah itu. Dan seperti yang dikatakan Arif dan Dimas dalam mimpinya, jika ia bertahan, maka kegelapan itu akan semakin mendalam, merenggut segalanya, termasuk Jatinegara.Lila menggenggam tangan Jatinegara dengan erat, mencoba menenangkan dirinya. “Aku harus melakukannya. Aku harus pergi,” bisiknya, seolah menguatkan dirinya sendiri.Dengan hati yang berat, Lila berdiri dan keluar dari ruangan itu. Ustadz Harman masih duduk di tempatnya, melantunkan doa dalam diam, seperti biasa. Begitu melihat Lila keluar, ia segera berdiri dan menatapnya dengan mata penuh perhatian."Lila, bagaimana keadaanmu?" tanya Ustadz Harman lembut.Lila menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ustadz... saya harus pergi. Saya tidak bi