Namun, saat ia mencoba mendekat, kekuatan gaib yang tidak ia mengerti menarik tubuhnya masuk ke dalam lingkaran ritual. Lila merasa tubuhnya menjadi ringan, seperti melayang, dan bayangan-bayangan gelap mulai melingkari dirinya.Lila menatap Arif dengan mata yang dipenuhi air mata. “Apa yang kau lakukan, Arif? Kenapa aku juga terlibat?” tanyanya dengan suara bergetar.Arif menoleh ke arahnya, untuk pertama kalinya menunjukkan ekspresi terkejut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, bayangan gelap itu semakin erat mengikat Lila, membuatnya berteriak kesakitan.“Lila, aku... aku tidak menginginkannya terjadi!” teriak Arif.Tetapi semuanya terlambat. Ritual itu telah mencapai titik klimaksnya, dan kekuatan gelap yang dipanggil oleh Arif kini menuntut lebih dari yang ia tawarkan.Kilatan cahaya merah menyilaukan memenuhi ruangan, disertai dengan suara jeritan yang tidak manusiawi. Saat semuanya berakhir, hanya tersisa keheningan yang menakutkan.Lila jatuh terkulai di lantai, sementara Arif b
Namun, saat ia mencoba mendekat, kekuatan gaib yang tidak ia mengerti menarik tubuhnya masuk ke dalam lingkaran ritual. Lila merasa tubuhnya menjadi ringan, seperti melayang, dan bayangan-bayangan gelap mulai melingkari dirinya.Lila menatap Arif dengan mata yang dipenuhi air mata. “Apa yang kau lakukan, Arif? Kenapa aku juga terlibat?” tanyanya dengan suara bergetar.Arif menoleh ke arahnya, untuk pertama kalinya menunjukkan ekspresi terkejut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, bayangan gelap itu semakin erat mengikat Lila, membuatnya berteriak kesakitan.“Lila, aku... aku tidak menginginkannya terjadi!” teriak Arif.Tetapi semuanya terlambat. Ritual itu telah mencapai titik klimaksnya, dan kekuatan gelap yang dipanggil oleh Arif kini menuntut lebih dari yang ia tawarkan.Kilatan cahaya merah menyilaukan memenuhi ruangan, disertai dengan suara jeritan yang tidak manusiawi. Saat semuanya berakhir, hanya tersisa keheningan yang menakutkan.Lila jatuh terkulai di lantai, sementara Arif b
Pusaran energi itu semakin kuat, dan dalam sekejap, tubuh Arif menghilang bersama roh-roh tersebut. Cahaya lingkaran ritual padam, meninggalkan ruangan dalam kegelapan total.Lila merangkak menuju tempat di mana Arif terakhir kali berdiri, tangannya menyentuh lantai dingin yang kosong. Air matanya mengalir deras saat ia menyadari bahwa Arif telah pergi, terperangkap dalam dunia gaib untuk selamanya.Namun, sebelum ia bisa memproses semuanya, sebuah suara menggelegar terdengar dari kegelapan. “Ini belum berakhir. Kalian masih bagian dari perjanjian.”Lila menoleh dengan mata penuh ketakutan, menyadari bahwa kutukan itu belum sepenuhnya selesai.Rumah Mahoni yang besar kini sunyi, seperti diselimuti aura mencekam yang tak terlihat. Lila duduk di lantai, tubuhnya gemetar di tengah sisa-sisa ritual yang baru saja menghancurkan keluarganya. Lingkaran di lantai telah pudar, hanya meninggalkan bekas samar, tetapi udara di sekitarnya masih terasa berat dan dingin.Jatinegara, yang sejak tadi
Malam itu, suasana terasa begitu mencekam. Udara di sekitar rumah Mahoni terasa berat, penuh dengan bisikan-bisikan gaib yang tidak bisa ditangkap oleh telinga manusia biasa. Lila berdiri di ambang pintu, tubuhnya bergetar. Di kejauhan, ia melihat kerumunan warga desa dengan obor dan senjata, mendekat perlahan, tetapi pasti.Di belakangnya, Jatinegara, anak laki-lakinya, meringkuk di sudut ruangan dengan wajah pucat. Bocah itu memeluk lututnya, menangis tanpa suara. Lila berjongkok di hadapannya, mencoba menenangkan."Jatinegara, dengarkan Ibu." Suara Lila bergetar, tapi penuh ketegasan. "Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap tenang. Ibu tidak akan membiarkan mereka menyakitimu.""Iya, Bu..." Jatinegara memandang ibunya dengan mata yang basah.Lila menarik napas dalam-dalam, menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia menggenggam bahu putranya dengan erat, mencoba menyalurkan keberanian yang nyaris hilang.Ketukan keras tiba-tiba terdengar di pintu, membuat keduanya terlonjak. Lila men
”Mereka sudah sampai,” gumam Lila ketakutan. Sedangkan Mbah Mijan seketika menghilang bersama dengan suara warga yang mendekat.Suara kayu pintu yang didobrak bergema di dalam rumah Mahoni. Warga desa menyerbu masuk dengan amarah yang meluap, membawa obor, golok, dan kayu yang mereka ayunkan ke segala arah. Suasana berubah menjadi kekacauan dalam hitungan detik. Perabotan di ruang tamu hancur berantakan, dan simbol-simbol ritual yang ada di rumah itu menjadi sasaran pertama.“Ini bukti! Mereka melakukan pesugihan!” teriak salah satu warga sambil menunjuk lingkaran ritual di tengah ruangan.“Akhiri keluarga ini! Mereka telah menghancurkan hidup kita!” seru yang lain, membakar amarah massa lebih jauh.Lila berdiri mematung, memeluk Jatinegara yang kini menangis ketakutan di pelukannya. Mbah Mijan entah bagaimana menghilang di tengah kekacauan itu, meninggalkan Lila dan Jatinegara menghadapi amukan massa seorang diri.“Dengarkan aku!” Lila berteriak, mencoba menjangkau akal sehat warga. “
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Portal GaibDi rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu
Udara malam terasa lebih berat.Lila masih memeluk Jatinegara erat, menangis dalam diam.Anaknya selamat.Dimas berdiri di sampingnya, menatap tanah kosong tempat rumah pria tua itu berdiri beberapa menit yang lalu.Tidak ada apa-apa di sana.Hanya tanah kosong.Seolah-olah rumah itu tidak pernah ada sebelumnya.Ustadz Harman menghela napas panjang, lalu menatap mereka dengan mata yang masih dipenuhi kewaspadaan. "Kita harus pergi sekarang."Dimas mengangguk cepat. "Ya, aku juga tidak ingin berada di tempat ini lebih lama."Mereka semua berjalan cepat menuju mobil yang mereka parkir di luar desa.Namun, saat mereka melewati gerbang Desa Pagerwesi, sesuatu terasa aneh.Lila berhenti.Dimas menoleh. "Kenapa?"Lila menggigit bibirnya.Dia tidak yakin, tapi…Saat mereka pertama kali datang ke desa ini, suasananya terasa berat, penuh bisikan, dan seperti dihuni oleh sesuatu yan
Angin kencang berputar di dalam ruangan.Tangan-tangan hitam yang keluar dari lantai semakin liar, semakin banyak.Dari sudut ruangan, makhluk-makhluk tanpa wajah mulai merangkak keluar, tubuh mereka berwarna abu-abu, mata kosong, dan mulut mereka bergerak seolah-olah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dipahami.Lila memeluk Jatinegara erat.Ustadz Harman berusaha membaca doa, tetapi suara bisikan di ruangan ini lebih keras daripada doanya.Dimas mencabut keris kecil yang masih tertancap di lantai, matanya penuh kewaspadaan. "Kita harus keluar dari sini!"Tapi pria tua itu tersenyum, tubuhnya semakin berubah, kulitnya semakin gelap, seolah-olah bayangan sedang menyatu dengan dirinya."Kalian tidak bisa pergi," bisiknya.Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dia mengangkat Lila dan Dimas tanpa menyentuh mereka.Lila menjerit saat tubuhnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.Dimas juga terdorong keras, t
Pria tua itu duduk diam di tengah ruangan. Matanya hitam pekat senyumnya lebar.Dan ketika ia berbicara, suaranya nyaris seperti suara Arif."Pesugihan ini dimulai dariku… dan kalian tidak akan bisa mengakhirinya."Lila menelan ludah.Jatinegara menggenggam tangannya erat, tubuhnya gemetar.Dimas melangkah maju, ekspresinya waspada. "Siapa kau?"Pria tua itu tersenyum lebih lebar. "Kalian sudah tahu jawabannya."Ustadz Harman mengerutkan kening. "Kau bagian dari keluarga Arif?"Pria itu tertawa kecil. "Bukan bagian."Dia menatap Jatinegara dengan tatapan yang sulit dijelaskan."Aku adalah awal dari semuanya."Lila merasakan bulu kuduknya meremang.Pria itu bukan sekadar anggota keluarga Arif.Dia adalah orang yang pertama kali membuka jalan bagi pesugihan ini.Lila mencoba mengatur napasnya. "Jika kau yang memulainya, kau pasti tahu bagaimana cara mengakhirinya."
Pagi itu, Lila duduk diam di kursi kayu di teras rumah Ustadz Harman.Kopi di tangannya sudah dingin. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali menyesapnya.Pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jatinegara semalam."Ayah bilang… aku akan bertemu mereka semua… sebentar lagi."Siapa yang dia maksud?Lila mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kegelisahan. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Jika pesugihan ini belum sepenuhnya hilang, maka mereka harus menghancurkannya sampai ke akar.Tak lama kemudian, Dimas dan Ustadz Harman keluar dari dalam rumah, wajah mereka sama seriusnya."Kita harus mulai menelusuri asal mula perjanjian ini," kata Ustadz Harman. "Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."Dimas menyandarkan tubuhnya di dinding. "Apa kita sudah punya petunjuk?"Ustadz Harman mengangguk. "Aku ingat sesuatu. Dulu, Arif pernah bercerita bahwa keluarganya berasal dari sebuah des
Sudah tiga hari sejak mereka meninggalkan Kandang Bubrah.Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berakhir. Bahwa Arif telah pergi dan pesugihan itu sudah hancur.Tapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh menyusup ke dalam dirinya.Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.Seolah ada mata yang terus menatap dari dalam kegelapan.***Malam itu, Lila berdiri di depan cermin di kamar tamunya di rumah Ustadz Harman.Matanya menatap pantulan dirinya sendiri, mencari sesuatu yang tidak beres.Entah sejak kapan, ia merasa… berbeda.Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini belum benar-benar selesai.Di atas ranjang, Jatinegara sudah tertidur pulas, wajahnya terlihat damai.Tetapi Lila tahu.Anaknya telah berubah. Bukan perubahan yang bisa dilihat orang biasa.
Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."
Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.
Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.
Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah