Hanya ada kafe kecil yang dekat dengan perumahan ini. Ricko memutuskan membawa mereka semua ke kafe itu. Dia tidak menduga kemunculan Delotta yang tiba-tiba. Tidak ada persiapan apa pun dan bukan dengan cara seperti ini yang lelaki itu harapkan.Sesungguhnya Ricko sudah menyiapkan waktu yang tepat. Tapi jika sudah terlanjur begini, tidak ada yang bisa dia lakukan lagi selain menjelaskan semuanya. Di hadapannya, Delotta masih menatap dengan pandangan menghunus. Tatapan yang menuntut penjelasan. Empat cangkir teh dan beberapa kudapan yang Ricko pesan sedikit terabaikan. "Otta...." Suara berat Ricko terdengar. "Sebelumnya papa minta maaf karena tidak langsung memberitahu semuanya sama kamu." Ada helaan napas yang terdengar berat di ujung kalimat. Ricko mendadak ragu ketika melihat wajah putrinya yang mengeras. "Mas, biar aku saja yang menjelaskan," sela wanita di sebelah Ricko, membuat Delotta serta-merta mendelik ke arahnya. Ricko menggeleng. "Itu tugasku."Delotta memutar bola mata
Delotta berdiri seraya bersedekap tangan. Bersandar pada bingkai sliding door yang terbuka. Tatapnya menerawang entah memandang apa. Seolah di depan sana ada pemandangan luar biasa yang menarik perhatian. Daniel yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil menemukan gadis itu. Tengah melamun di pintu balkon unit apartemennya. Tiga puluh menit lalu saat mereka sampai unit, Delotta beranjak mandi terlebih dulu. Dia memilih kaus milik Daniel yang kebesaran di badannya. Hingga tubuhnya seperti tenggelam. Daniel yang sudah mengenakan kaus santai dan celana pendek mendekat. Dia menunduk, dan bibirnya mencium tengkuk Delotta sekilas, sebelum berdiri di sisi gadis itu. "Sudah merasa nyaman?" tanya Daniel dengan tangan yang masih mengusap-usap rambut.Tanpa melepas pandang dari gelapnya malam ibukota, Delotta mengangguk. "Sedikit lebih baik." Desah napas Delotta terdengar berat. "Kita pernah mendiskusikan ini sebelumnya. Aku nggak bermaksud
Suara tawa seorang perempuan terdengar ketika kaki Delotta menginjak ruang tamu rumahnya. Langkahnya melambat, sedikit memiringkan kepala untuk mendengar lebih seksama. Selain tawa perempuan, dia juga mendengar suara Ricko. Baik, sekarang Delotta tahu siapa yang ada di dalam. Delluna. Bahkan papanya sudah berani membawa wanita itu ke rumah. Delotta menarik napas panjang sebelum kembali melangkah memasuki ruang keluarga. Matanya melihat mereka sekilas berdiri di dekat pintu teras samping sambil memegang gelas minum. Tawa lebar Luna perlahan memudar ketika lebih dulu menyadari kemunculan Delotta. Ricko yang berdiri di hadapannya kontan memutar kepala dan tatapnya langsung bersirobok dengan mata putrinya. "Otta? Kamu pulang?" Ricko bergerak hendak menghampiri putrinya itu. Namun dengan cepat, Delotta berjalan menuju tangga. Dia tidak mau mendengar apa pun saat ini. Perasaannya sudah membaik ketika dia memutuskan pulang, tapi begitu melihat dua orang itu mood-nya kembali memburuk.
Bola mata Daniel bergerak ketika mendengar suara pintu dibuka dari luar. Tidak lama pria yang kemarin matanya dicolok Delotta muncul. Dave tersenyum seraya mendekat. Kemeja abunya terlihat licin dan sangat pas di badannya, disambung pantalon hitam yang tak kalah licin, lengkap dengan pantofel hitam yang membungkus kakinya. "Selamat siang, Pak," sapanya formal sambil sedikit menganggukan kepala. "Siang, Dave. Silakan duduk." Sejujurnya, Daniel masih tidak menyangka bahwa Dave ternyata mantan kekasih Delotta. Terlebih lagi sikap Delotta yang sepertinya sangat tidak menyukai lelaki itu. Kenapa harus ada kebetulan seperti ini? "Terima kasih." Dave menarik kursi dan duduk berhadapan dengan bos sekaligus pamannya itu. Hanya meja kerja Daniel yang menghalangi jarak keduanya. "Apa mata kamu sudah membaik?" tanya Daniel menutup dokumen dan fokus memperhatikan keponakannya itu.Dave mengangguk. "Aku sudah baik, Om." Dia kembali bicara santai. "Terlalu berlebihan nggak sih kalau Delotta sa
Gerah. Itu yang Delotta rasakan ketika Ricko tiba-tiba membawa Luna pulang ke rumah. Pulang di sini maksudnya adalah tinggal bersama, bukan sekedar main seperti biasanya. Sempat terjadi perdebatan kecil antara dirinya dengan Ricko, tapi seolah itu hal biasa Luna sama sekali tidak merasa bersalah atau merasa tak enak sudah menyebabkan ayah dan anak itu bertengkar. Setidaknya itu yang Delotta lihat dan pikirkan. Entah pukul berapa Delotta terjaga dan keluar dari kamarnya. Saat menyeret langkah hendak menuruni tangga sayup-sayup suara sebuah percakapan tertangkap telinganya. Tepatnya berasal dari kamar Luna. Dia mendekat dengan hati-hati ke depan pintu kamar wanita itu. "Aku bisa cari kost lagi." Itu suara Luna. "Nggak perlu, Lun. Paling benar kamu di sini. We're a family." Delotta merapatkan bibir saat mendengar suara papanya. Dia tidak tahu tepatnya ini pukul berapa, yang jelas sudah sangat larut, tapi ngapain mereka berdua di kamar selarut ini?"Tapi Otta pasti nggak nyaman. Dia m
Mata Delotta masih memicing. Tubuhnya menggeliat ringan seakan masih berat untuk sekedar bergerak. Namun perutnya yang melilit kelaparan membuatnya terpaksa terjaga. Pagi tadi Daniel membiarkan gadis itu tidur, sementara dirinya berangkat ke kantor untuk menghadiri beberapa meeting dan berjanji akan pulang cepat. Delotta meraba perut sambil berusaha bangkit. Kepalanya sedikit berat, lalu rasa nyeri tepat berkumpul di tengah dahi. Untuk beberapa lama dia bergeming sambil menunggu rasa sakit itu hilang. Kelopak matanya sedikit demi sedikit terbuka. Dan kembali menyipit, saat dari arah jendela kamar yang tirainya menjuntai, cahaya matahari mengintip. Delotta beringsut. Menggeser kaki dan menurunkannya ke lantai. Bukan hanya kepala yang sakit, badannya mendadak terasa pegal. Efek insomnia membuat raga mudanya mendadak jompo. Dia menyeret kaki menuju jendela. Tangannya menggapai tirai dan menyingkapnya. "Udah siang. Pantes aja aku kelaparan." Sebelum memutuskan keluar kamar, dia beranj
Delotta sedang memakai anting ketika Daniel masuk kamar. Dari pantulan cermin dia bisa melihat lelaki itu menutup pintu lalu pelan-pelan mendekatinya yang masih duduk di hadapan cermin. Senyum simpul gadis itu tersungging melihat begitu tampan Daniel dalam balutan outfit semi formal. Blazer navy yang kancingnya terbuka melapisi kemeja di dalamnya. Chinos pants yang senada dengan warna outfit Delotta membungkus kakinya yang panjang. He looks handsome and younger than his age."Are you ready, Baby?" Daniel berdiri di belakang Delotta, membungkuk, dua tangannya bertumpu pada sandaran kursi, lalu mengecup puncak kepala Delotta. Gadis itu mengangguk dengan mata berbinar seraya terus menatap Daniel dari pantulan cermin. "Ada sesuatu yang bisa kubantu?" Delotta kembali mengangguk lalu mengambil sebuah liontin dari kotak perhiasan. Bukan hanya pakaian yang Delotta temukan. Aksesoris seperti clutch dan perhiasan juga ada ternyata. "Bisa pasangkan ini, Om?" Delotta menunjukkan kalung denga
Daniel memaksa tersenyum meski wajahnya masih terlihat kaku. Dia jelas tidak menginginkan situasi ini. Tidak mengharapkan makan malamnya bersama Delotta terganggu. "Hai, Rachel. Perkenalkan dia Delotta. Dan Otta, dia Rachel." Daniel memperkenalkan keduanya. Demi kesopanan, Delotta pun berdiri lalu mengulurkan tangan seraya menyebut namanya. Namun uluran tangan itu hanya dibalas lirikan sinis. Wanita bernama Rachel itu sama sekali tidak menyambutnya. Detik itu juga Delotta merasa menyesal sudah berbuat sopan. Dia mengangkat bahu memperlihatkan wajah santai, lantas kembali duduk. "Apa kamu nggak punya waktu buat sekedar mengangkat panggilanku?" Rachel lebih tertarik mencecar Daniel daripada berkenalan dengan Delotta. "Ya, aku sibuk." Rachel mendengus. Jawaban yang Daniel beri sama sekali tidak membuatnya puas. "Kalau begitu, keberatan tidak kalau aku gabung bersama dengan kalian sampai temanku datang?" "Tentu saja aku keberatan. Aku sengaja memesan tempat ini agar bisa berdua de