Bola mata Daniel bergerak ketika mendengar suara pintu dibuka dari luar. Tidak lama pria yang kemarin matanya dicolok Delotta muncul. Dave tersenyum seraya mendekat. Kemeja abunya terlihat licin dan sangat pas di badannya, disambung pantalon hitam yang tak kalah licin, lengkap dengan pantofel hitam yang membungkus kakinya. "Selamat siang, Pak," sapanya formal sambil sedikit menganggukan kepala. "Siang, Dave. Silakan duduk." Sejujurnya, Daniel masih tidak menyangka bahwa Dave ternyata mantan kekasih Delotta. Terlebih lagi sikap Delotta yang sepertinya sangat tidak menyukai lelaki itu. Kenapa harus ada kebetulan seperti ini? "Terima kasih." Dave menarik kursi dan duduk berhadapan dengan bos sekaligus pamannya itu. Hanya meja kerja Daniel yang menghalangi jarak keduanya. "Apa mata kamu sudah membaik?" tanya Daniel menutup dokumen dan fokus memperhatikan keponakannya itu.Dave mengangguk. "Aku sudah baik, Om." Dia kembali bicara santai. "Terlalu berlebihan nggak sih kalau Delotta sa
Gerah. Itu yang Delotta rasakan ketika Ricko tiba-tiba membawa Luna pulang ke rumah. Pulang di sini maksudnya adalah tinggal bersama, bukan sekedar main seperti biasanya. Sempat terjadi perdebatan kecil antara dirinya dengan Ricko, tapi seolah itu hal biasa Luna sama sekali tidak merasa bersalah atau merasa tak enak sudah menyebabkan ayah dan anak itu bertengkar. Setidaknya itu yang Delotta lihat dan pikirkan. Entah pukul berapa Delotta terjaga dan keluar dari kamarnya. Saat menyeret langkah hendak menuruni tangga sayup-sayup suara sebuah percakapan tertangkap telinganya. Tepatnya berasal dari kamar Luna. Dia mendekat dengan hati-hati ke depan pintu kamar wanita itu. "Aku bisa cari kost lagi." Itu suara Luna. "Nggak perlu, Lun. Paling benar kamu di sini. We're a family." Delotta merapatkan bibir saat mendengar suara papanya. Dia tidak tahu tepatnya ini pukul berapa, yang jelas sudah sangat larut, tapi ngapain mereka berdua di kamar selarut ini?"Tapi Otta pasti nggak nyaman. Dia m
Mata Delotta masih memicing. Tubuhnya menggeliat ringan seakan masih berat untuk sekedar bergerak. Namun perutnya yang melilit kelaparan membuatnya terpaksa terjaga. Pagi tadi Daniel membiarkan gadis itu tidur, sementara dirinya berangkat ke kantor untuk menghadiri beberapa meeting dan berjanji akan pulang cepat. Delotta meraba perut sambil berusaha bangkit. Kepalanya sedikit berat, lalu rasa nyeri tepat berkumpul di tengah dahi. Untuk beberapa lama dia bergeming sambil menunggu rasa sakit itu hilang. Kelopak matanya sedikit demi sedikit terbuka. Dan kembali menyipit, saat dari arah jendela kamar yang tirainya menjuntai, cahaya matahari mengintip. Delotta beringsut. Menggeser kaki dan menurunkannya ke lantai. Bukan hanya kepala yang sakit, badannya mendadak terasa pegal. Efek insomnia membuat raga mudanya mendadak jompo. Dia menyeret kaki menuju jendela. Tangannya menggapai tirai dan menyingkapnya. "Udah siang. Pantes aja aku kelaparan." Sebelum memutuskan keluar kamar, dia beranj
Delotta sedang memakai anting ketika Daniel masuk kamar. Dari pantulan cermin dia bisa melihat lelaki itu menutup pintu lalu pelan-pelan mendekatinya yang masih duduk di hadapan cermin. Senyum simpul gadis itu tersungging melihat begitu tampan Daniel dalam balutan outfit semi formal. Blazer navy yang kancingnya terbuka melapisi kemeja di dalamnya. Chinos pants yang senada dengan warna outfit Delotta membungkus kakinya yang panjang. He looks handsome and younger than his age."Are you ready, Baby?" Daniel berdiri di belakang Delotta, membungkuk, dua tangannya bertumpu pada sandaran kursi, lalu mengecup puncak kepala Delotta. Gadis itu mengangguk dengan mata berbinar seraya terus menatap Daniel dari pantulan cermin. "Ada sesuatu yang bisa kubantu?" Delotta kembali mengangguk lalu mengambil sebuah liontin dari kotak perhiasan. Bukan hanya pakaian yang Delotta temukan. Aksesoris seperti clutch dan perhiasan juga ada ternyata. "Bisa pasangkan ini, Om?" Delotta menunjukkan kalung denga
Daniel memaksa tersenyum meski wajahnya masih terlihat kaku. Dia jelas tidak menginginkan situasi ini. Tidak mengharapkan makan malamnya bersama Delotta terganggu. "Hai, Rachel. Perkenalkan dia Delotta. Dan Otta, dia Rachel." Daniel memperkenalkan keduanya. Demi kesopanan, Delotta pun berdiri lalu mengulurkan tangan seraya menyebut namanya. Namun uluran tangan itu hanya dibalas lirikan sinis. Wanita bernama Rachel itu sama sekali tidak menyambutnya. Detik itu juga Delotta merasa menyesal sudah berbuat sopan. Dia mengangkat bahu memperlihatkan wajah santai, lantas kembali duduk. "Apa kamu nggak punya waktu buat sekedar mengangkat panggilanku?" Rachel lebih tertarik mencecar Daniel daripada berkenalan dengan Delotta. "Ya, aku sibuk." Rachel mendengus. Jawaban yang Daniel beri sama sekali tidak membuatnya puas. "Kalau begitu, keberatan tidak kalau aku gabung bersama dengan kalian sampai temanku datang?" "Tentu saja aku keberatan. Aku sengaja memesan tempat ini agar bisa berdua de
Tangan itu menyisip saat berhasil melonggarkan ikatan rok yang Delotta kenakan. Gelenyar aneh itu makin menyerang, saat suara Daniel di dekat telinganya kembali berbisik."Rileks, Baby." Dia menarik Delotta agar makin merapat. Delotta refleks melebarkan kaki, memberi akses lebih mudah ketika jari jemari pria itu berhasil menyusup ke balik celana dalamnya. Sekuat tenaga dia berusaha menahan erangan. Sentuhan Daniel membuat tubuhnya menggelinjang. Erangan pria itu dari balik punggungnya makin memacu adrenalin. "Om," rintih Delotta, seraya meremas lengan pria itu. Dua lengan kokoh itu benar-benar mengurungnya. Tidak membiarkan bergeser barang satu senti. Hanya dengan permainan jari di sekitar area sensitifnya mampu membuat Delotta belingsatan. Pinggulnya bergerak naik, menginginkan sesuatu lebih. Namun, dia tahu Daniel tidak akan pernah memberi apa yang dia ingin."Jangan ditahan," bisik Daniel lagi. Sebelah tangannya masih meremas dua payudara Delotta berganti. Sesekali memainkan pun
Daniel menggeleng sambil mengusap lembut kepala Delotta. Gadis itu tengah merengek padanya minta tetap pulang ke apartemennya. Namun dengan tegas pria itu menolak. "Kamu harus pulang dan berbaikan dengan papa kamu. Juga harus belajar menerima kehadiran Luna. Dia adik kesayangan mama kamu, apa kamu nggak menyayangi seseorang yang mama kamu sayang?" Delotta tidak menjawab. Dia hanya mengerutkan bibir menggerakannya ke segala arah tanpa ingin merespons ucapan pria itu. "Kamu selalu mengatakan bahwa kamu sudah dewasa, jadi bersikaplah selayaknya orang dewasa yang sebenarnya." Bibir Delotta berhenti bergerak mendengar itu. Kepalanya menoleh ke samping seraya mendongak. Wajahnya sedikit tidak terima dengan pernyataan itu. "Aku paham itu, Om. Tapi emang aku nggak boleh mengekspresikan rasa kecewa? Aku juga manusia biasa yang punya perasaan." "Of course, nggak ada yang melarang kamu melakukan itu. Tapi, jangan lama-lama. Karena itu hanya akan memunculkan masalah baru." Daniel mencolek h
"Om Ricko mau nikah lagi?!" Kelopak mata Tya saling menjauh. Bulu mata lentiknya sampai saling melambai seperti mau pisah selamanya. Dan Delotta khawatir bola matanya akan lepas jika kelopak mata itu tetap dibiarkan terbuka. "Kaget kan lo? Gue aja nggak nyangka. Gue pikir papa nggak ada kepikiran bakal nikah lagi," ujar Delotta seraya mengaduk frappuccino dingin yang dia pesan. "Gue emang kaget, tapi gue juga nggak nyangka papa lo nggak bakal nikah lagi. By the way, papa lo masih muda untuk ukuran pria yang sudah memiliki anak gadis dewasa kayak lo. He's hot daddy you know.""Tetep aja dia kelihatan tua, sepadan sama umurnya. Beda banget sama Om Daniel."Tya berdecak. Lalu menatap Delotta dengan pandangan malas. "Jangan samain kayak dia dong. Om Daniel nggak pusing ngurusin anak semanja kamu, nggak kayak bokap lo." Delotta mendelik. "Gue nggak manja ya.""Kadang-kadang, dan gue yakin punya pacar dewasa kayak Om Daniel bikin level manja lo naik dua kali lipat.""Nggak, ya. Hubunga