Mata Delotta masih memicing. Tubuhnya menggeliat ringan seakan masih berat untuk sekedar bergerak. Namun perutnya yang melilit kelaparan membuatnya terpaksa terjaga. Pagi tadi Daniel membiarkan gadis itu tidur, sementara dirinya berangkat ke kantor untuk menghadiri beberapa meeting dan berjanji akan pulang cepat. Delotta meraba perut sambil berusaha bangkit. Kepalanya sedikit berat, lalu rasa nyeri tepat berkumpul di tengah dahi. Untuk beberapa lama dia bergeming sambil menunggu rasa sakit itu hilang. Kelopak matanya sedikit demi sedikit terbuka. Dan kembali menyipit, saat dari arah jendela kamar yang tirainya menjuntai, cahaya matahari mengintip. Delotta beringsut. Menggeser kaki dan menurunkannya ke lantai. Bukan hanya kepala yang sakit, badannya mendadak terasa pegal. Efek insomnia membuat raga mudanya mendadak jompo. Dia menyeret kaki menuju jendela. Tangannya menggapai tirai dan menyingkapnya. "Udah siang. Pantes aja aku kelaparan." Sebelum memutuskan keluar kamar, dia beranj
Delotta sedang memakai anting ketika Daniel masuk kamar. Dari pantulan cermin dia bisa melihat lelaki itu menutup pintu lalu pelan-pelan mendekatinya yang masih duduk di hadapan cermin. Senyum simpul gadis itu tersungging melihat begitu tampan Daniel dalam balutan outfit semi formal. Blazer navy yang kancingnya terbuka melapisi kemeja di dalamnya. Chinos pants yang senada dengan warna outfit Delotta membungkus kakinya yang panjang. He looks handsome and younger than his age."Are you ready, Baby?" Daniel berdiri di belakang Delotta, membungkuk, dua tangannya bertumpu pada sandaran kursi, lalu mengecup puncak kepala Delotta. Gadis itu mengangguk dengan mata berbinar seraya terus menatap Daniel dari pantulan cermin. "Ada sesuatu yang bisa kubantu?" Delotta kembali mengangguk lalu mengambil sebuah liontin dari kotak perhiasan. Bukan hanya pakaian yang Delotta temukan. Aksesoris seperti clutch dan perhiasan juga ada ternyata. "Bisa pasangkan ini, Om?" Delotta menunjukkan kalung denga
Daniel memaksa tersenyum meski wajahnya masih terlihat kaku. Dia jelas tidak menginginkan situasi ini. Tidak mengharapkan makan malamnya bersama Delotta terganggu. "Hai, Rachel. Perkenalkan dia Delotta. Dan Otta, dia Rachel." Daniel memperkenalkan keduanya. Demi kesopanan, Delotta pun berdiri lalu mengulurkan tangan seraya menyebut namanya. Namun uluran tangan itu hanya dibalas lirikan sinis. Wanita bernama Rachel itu sama sekali tidak menyambutnya. Detik itu juga Delotta merasa menyesal sudah berbuat sopan. Dia mengangkat bahu memperlihatkan wajah santai, lantas kembali duduk. "Apa kamu nggak punya waktu buat sekedar mengangkat panggilanku?" Rachel lebih tertarik mencecar Daniel daripada berkenalan dengan Delotta. "Ya, aku sibuk." Rachel mendengus. Jawaban yang Daniel beri sama sekali tidak membuatnya puas. "Kalau begitu, keberatan tidak kalau aku gabung bersama dengan kalian sampai temanku datang?" "Tentu saja aku keberatan. Aku sengaja memesan tempat ini agar bisa berdua de
Tangan itu menyisip saat berhasil melonggarkan ikatan rok yang Delotta kenakan. Gelenyar aneh itu makin menyerang, saat suara Daniel di dekat telinganya kembali berbisik."Rileks, Baby." Dia menarik Delotta agar makin merapat. Delotta refleks melebarkan kaki, memberi akses lebih mudah ketika jari jemari pria itu berhasil menyusup ke balik celana dalamnya. Sekuat tenaga dia berusaha menahan erangan. Sentuhan Daniel membuat tubuhnya menggelinjang. Erangan pria itu dari balik punggungnya makin memacu adrenalin. "Om," rintih Delotta, seraya meremas lengan pria itu. Dua lengan kokoh itu benar-benar mengurungnya. Tidak membiarkan bergeser barang satu senti. Hanya dengan permainan jari di sekitar area sensitifnya mampu membuat Delotta belingsatan. Pinggulnya bergerak naik, menginginkan sesuatu lebih. Namun, dia tahu Daniel tidak akan pernah memberi apa yang dia ingin."Jangan ditahan," bisik Daniel lagi. Sebelah tangannya masih meremas dua payudara Delotta berganti. Sesekali memainkan pun
Daniel menggeleng sambil mengusap lembut kepala Delotta. Gadis itu tengah merengek padanya minta tetap pulang ke apartemennya. Namun dengan tegas pria itu menolak. "Kamu harus pulang dan berbaikan dengan papa kamu. Juga harus belajar menerima kehadiran Luna. Dia adik kesayangan mama kamu, apa kamu nggak menyayangi seseorang yang mama kamu sayang?" Delotta tidak menjawab. Dia hanya mengerutkan bibir menggerakannya ke segala arah tanpa ingin merespons ucapan pria itu. "Kamu selalu mengatakan bahwa kamu sudah dewasa, jadi bersikaplah selayaknya orang dewasa yang sebenarnya." Bibir Delotta berhenti bergerak mendengar itu. Kepalanya menoleh ke samping seraya mendongak. Wajahnya sedikit tidak terima dengan pernyataan itu. "Aku paham itu, Om. Tapi emang aku nggak boleh mengekspresikan rasa kecewa? Aku juga manusia biasa yang punya perasaan." "Of course, nggak ada yang melarang kamu melakukan itu. Tapi, jangan lama-lama. Karena itu hanya akan memunculkan masalah baru." Daniel mencolek h
"Om Ricko mau nikah lagi?!" Kelopak mata Tya saling menjauh. Bulu mata lentiknya sampai saling melambai seperti mau pisah selamanya. Dan Delotta khawatir bola matanya akan lepas jika kelopak mata itu tetap dibiarkan terbuka. "Kaget kan lo? Gue aja nggak nyangka. Gue pikir papa nggak ada kepikiran bakal nikah lagi," ujar Delotta seraya mengaduk frappuccino dingin yang dia pesan. "Gue emang kaget, tapi gue juga nggak nyangka papa lo nggak bakal nikah lagi. By the way, papa lo masih muda untuk ukuran pria yang sudah memiliki anak gadis dewasa kayak lo. He's hot daddy you know.""Tetep aja dia kelihatan tua, sepadan sama umurnya. Beda banget sama Om Daniel."Tya berdecak. Lalu menatap Delotta dengan pandangan malas. "Jangan samain kayak dia dong. Om Daniel nggak pusing ngurusin anak semanja kamu, nggak kayak bokap lo." Delotta mendelik. "Gue nggak manja ya.""Kadang-kadang, dan gue yakin punya pacar dewasa kayak Om Daniel bikin level manja lo naik dua kali lipat.""Nggak, ya. Hubunga
Tidak sampai 20 menit Daniel benar-benar datang. Bukan dengan Mercy atau mobil listrik kesayangannya, tapi moge. Iya, moge motor gede yang kalau mengendaranyai seperti orang selonjoran. Rahang Delotta sampai nyaris lepas saat tahu pria di balik kendaraan mahal itu ternyata Daniel. Awalnya dia mengerutkan dahi heran ketika sebuah moge berhenti tepat di depan halte tempatnya duduk. Dan matanya sukses mencelang saat melihat pria di atas moge itu melambaikan tangan padanya. Sampai-sampai Delotta tengok kiri-kanan barangkali pria itu melambai ke orang lain. Helm, kacamata hitam dan kostum yang pria itu kenakan membuat Delotta tidak bisa langsung mengenali. Karena itu saat ternyata pria tersebut Daniel, dagunya jatuh menyentuh tanah. (Forget it, terlalu lebay)"Om?!" Mulut Delotta terbuka lebar-lebar sambil mendekati pria itu. Dia memperhatikan moge mentereng yang Daniel tunggangi dengan matanya dari depan sampai belakang. "Mulutnya tutup dulu, nanti ada lalat masuk," ujar Daniel sambil
Ibu suri, Nyoya besar, Ibu bos, bunda mulia, dan masih banyak sebutan yang disematkan anak-anak Jagland untuk ibunya. Cantik, tegas, dominan, dan suka mengatur. Meski usianya saat ini sudah masuk pertengahan 70, Margaretha masih terlihat bugar dan siap menjelajah rumah anak-anaknya. Daniel menggigit bibir bingung. Pekerjaan tak membuatnya berhenti memikirkan sang ibu yang kata Prisca akan datang siang ini. Prisca bahkan sudah ada di rumah Marlin, kakak pertama Jagland bersaudara. Dia bilang akan menjemput bersama kakaknya itu ke bandara. Daniel menyahut tanpa menoleh ketika pintu ruangan diketuk. Sandra masuk seraya tersenyum. Membawa setumpuk dokumen yang memerlukan tanda tangan Daniel. "Saya sudah menyiapkan untuk meeting hari ini, Pak. Sudah reservasi tempat juga. Pak Daniel bisa memeriksa ini sebentar sebelum kita berangkat," ucap Sandra lalu meletakkan dokumen itu ke meja. Pintu ruangan diketuk lagi. Namun Daniel bergeming dan lebih memilih menarik dokumen yang barusan Sandra