Daniel berusaha tetap tenang meskipun hatinya tidak karuan bentuknya. Rasa cemas terus bergelayut sejak tiba-tiba melihat Delotta jatuh pingsan di salah satu gerai di mal. Dia terpaksa meminta wanita yang bersamanya untuk pulang sendiri, sementara dirinya dan Tya langsung melarikan Delotta ke rumah sakit terdekat. Saat ini Delotta masih ada di ruang tindakan. Beberapa kali Daniel menghela napas panjang. Rasa bersalahnya menyergap seketika melihat kondisi gadis yang masih sangat dia cintai itu. "Otta sakit apa, Ty?" tanya Daniel membuka suara. Tya di sebelahnya menoleh malas. Rasa kesalnya bercokol pada pria matang itu. "Otta nggak apa-apa. Gara-gara ketemu Om tuh, dia jadi begitu," sahutnya ketus. Beberapa saat lalu dia baru saja menghubungi Dave, memberi tahu keadaan Delotta. "Ya, aku banyak salah sama dia." "Bagus deh kalau Om sadar. Sumpah ya, Om. Kalau ini bukan rumah sakit dan kalau nggak ingat Om usianya jauh lebih tua, Om udah aku maki-maki. Gatel banget nih mulut." Dani
Delotta melengos ketika Dave melihatnya. Saat ini dirinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ada rasa bersalah yang menyusup di hatinya kepada lelaki itu. Tapi siapa yang menginginkan semua ini? Pertunangan dan pernikahan itu tidak pernah Delotta inginkan. "Ta?" Suara Dave bergetar memanggil. Delotta bisa merasakan lelaki itu menarik sebuah kursi dan duduk di sisi bed-nya. Ada desah napas kencang yang terdengar lelah. "Gimana keadaan kamu?" tanya Dave pelan. Sebenarnya pertanyaan itu berlaku juga untuk dirinya sendiri. Gimana keadaan Dave? Jelas hancur dan kecewa. "Baik," sahut Delotta masih memalingkan muka. Kembali Dave menghela napas panjang. Tangannya lantas terjulur dan meraih tangan Delotta, tapi gadis itu secara refleks menariknya. "Kamu bisa pulang, Dave," ucap Delotta lagi. Tatapannya terasa jauh. Dia tidak ingin melihat wajah Dave lalu disalahkan. Tidak mau."Aku belum bisa pergi sebelum Om Ricko dan Tante Luna datang." Papa. Delotta memejamkan mata. Dia berharap
Sandra terperanjat dan melangkah cepat keluar dari balik meja melihat Ricko melintas dan langsung mendobrak pintu ruang kerja Daniel. "Pak Ricko, tunggu, Pak!" seru sekretaris itu mengejar langkah Ricko. "Pak Daniel sedang ada tamu." Tidak peduli seruan sekretaris itu, Ricko merangsek dan memaksa masuk. Daniel sedang berjabat tangan dengan tamunya ketika Ricko menyelinap masuk. Dia dan tamunya menoleh seketika saat mendengar kegaduhan itu. Ada tatap terkejut di mata birunya melihat kedatangan Ricko. Namun, lantaran tamu itu masih ada di hadapannya sebisa mungkin Daniel bersikap tenang. Beruntung pertemuan itu telah berakhir. Dia mengantar tamunya keluar dan meminta Sandra lanjut mengantar sampai lobi. Baru kemudian menghadapi Ricko yang wajahnya tampak merah padam. "Bisa bisanya kamu masih berbisnis dengan tenang seperti ini?" desis Ricko dengan tatapan menghujam. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya menonjol. Lalu satu pukulan dengan cepat melayang mengenai tepat ke waj
Ina terkejut ketika membuka pintu dan langsung menemukan sosok Daniel tersenyum padanya. Refleks dia menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Pak Ricko ada di rumah, Pak," ujar asisten rumah tangga itu. "Aku tau, Ina." Masih dengan senyum lelaki bermata biru itu menyelinap masuk. Mengabaikan wajah cemas Ina. "Kamu nggak akan dimarahi hanya karena membuka pintu, Ina. Jadi santai saja."Ina hanya meringis dan mengikuti langkah Daniel memasuki ruang tengah. Bukan hanya Ina, Luna yang pertama melihat Daniel masuk pun terkejut. Dia langsung menoleh kepada suaminya yang belum menyadari kedatangan lelaki itu. "Selamat malam," sapa Daniel, membuat Ricko yang tengah sibuk dengan tabletnya mengangkat wajah. Alis tebal Ricko kontan menukik tajam. "Beraninya kamu datang ke rumahku," desis Ricko. Rahangnya mengetat, hingga bibirnya membentuk garis lurus dan rapat. "Aku datang menjemput Otta. Kami akan makan malam." Serta-merta Ricko berdiri dengan emosi yang menggelegak. "Mimpi kamu! Kamu p
"Aku akan menikahi Delotta secepatnya." Daniel dengan lantang memberi pengumuman itu di depan seluruh keluarganya yang sengaja dia kumpulkan. Wajah tegang langsung menghiasi orang-orang yang ada di sana. Khususnya Margaretha dan Regio—ayah Dave. Dave sendiri sudah memasang wajah keras sejak kedatangan Daniel ke rumah orang tuanya. Dia sudah tahu tujuan pamannya itu. Apalagi kalau bukan untuk menghancurkan semua rencananya? "Bagaimana bisa?!" Margaretha yang pertama bereaksi. Dua tangannya meremas lengan sofa yang dia duduki. Daniel melirik Dave, Marlin yang menunduk, dan juga Regio yang memasang wajah tidak habis mengerti. "Delotta hamil anakku." Pupil mata Margaretha membesar seketika begitu pun Regio. Marlin bahkan sampai mengangkat wajah. Sementara Prisca dengan santai memakan cemilan sambil menonton pertunjukan itu. "Kamu!" Margaretha mengacungkan tongkatnya. Dadanya naik turun menahan emosi yang siap tumpah. "Kapan kamu tobat menjadi bajingan, Anak Jagland?!" Mata tuanya be
Dua sahabat seusia itu saling tatap dalam jarak beberapa meter. Rahang keduanya sama-sama mengetat. Alis salah satu dari mereka menukik, sementara yang lain terangkat. Keduanya berdiri di dekat kolam renang di teras lantai dua yang memanjang. Daniel Jagland dan Ricko Armisen. Teman satu angkatan yang dulu terkenal akrab itu saling berhadapan. Ada api yang berkobar dari mata Ricko, sangat kontras dengan iris setenang lautan milik Daniel. Yang membuat Ricko serasa ingin mencekik temannya itu hanya ada satu alasan. Yaitu keinginan Daniel yang bersikeras menikahi Delotta. "Meskipun Otta gagal menikah dengan Dave, bukan berarti kamu bisa menikahi dia," ucap Ricko tak terbantahkan. Sorot matanya tajam menghujam. Daniel berdecak bosan. "Mau sampai kapan kamu bersikap egois begini? Apa peringatanku kemarin belum cukup?""Apa orang-orang sepertimu memang sering menjatuhkan lawan dengan cara licik begitu?" "Kamu tahu pasti aku tidak pernah menganggapmu sebagai lawan. Aku berniat mengeratka
Daniel tersenyum lebar ketika melihat Delotta dari kamera CCTV tengah memasuki halaman rumahnya. Dia yang memang sedang menunggu gadis itu segera keluar dari kamar dengan cepat. Dia tidak ingin membiarkan kekasihnya itu berjalan sampai kamar yang jaraknya lumayan jauh dari teras. Delotta langsung menghambur ke pelukan Daniel ketika sosok pria bermata biru itu muncul di ruang tenang. "Baby, jangan lari-lari. Bahaya," ucap Daniel ketika menangkap tubuh Delotta. "Kadang aku lupa kalau lagi hamil," sahut gadis itu tersenyum lebar. "Temanmu nggak marah kan?" "Mana mungkin marah kalau sogokan kartu ajaib?" Delotta memutar bola mata yang lantas disambut tawa pria 47 tahun itu. Dengan pelan Daniel mengangkat tubuh Delotta, memangkunya di kedua lengan, lantas membawa ke arah menuju kamarnya. "Mau ke mana?" tanya Delotta dengan mata mengerjap. "Melepas rindu." "Di kamar?" "Di mana lagi tempat yang cocok selain kamar?" Delotta tertawa sampai semburat merah di wajahnya berpendar. "Om D
"Maafkan aku, Dave. Mungkin kamu memang nggak berjodoh jadi menantuku." Dave menunduk di depan pria yang nyaris menjadi papa mertuanya itu. Dia kecewa karena Ricko memilih menyerah dengan keputusan awal yang sudah lelaki itu ambil. "Papamu juga akhirnya membatalkan pernikahan itu setelah tahu Delotta hamil. Aku tidak menyalahkan. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya," lanjut Ricko lantas menepuk pundak Dave. "Kamu masih muda. Masa depanmu jelas. Tampan dan pasti banyak gadis yang ngejar-ngejar kamu. Kamu berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dari putriku." Dave memejamkan mata sembari menarik napas. Dia tidak suka keputusan ini, tapi juga tidak bisa melakukan apa pun. "Izinkan aku menemui Otta, Om." Ricko mengangguk-angguk. Tidak tega melihat raut kecewa di wajah anak muda itu. "Delotta ada di dapur bersama Luna." Setelah minta izin, Dave beranjak berdiri dan melangkah menuju dapur. Tidak seperti hari biasanya saat bertandang ke rumah ini, kali ini l