Sandra terperanjat dan melangkah cepat keluar dari balik meja melihat Ricko melintas dan langsung mendobrak pintu ruang kerja Daniel. "Pak Ricko, tunggu, Pak!" seru sekretaris itu mengejar langkah Ricko. "Pak Daniel sedang ada tamu." Tidak peduli seruan sekretaris itu, Ricko merangsek dan memaksa masuk. Daniel sedang berjabat tangan dengan tamunya ketika Ricko menyelinap masuk. Dia dan tamunya menoleh seketika saat mendengar kegaduhan itu. Ada tatap terkejut di mata birunya melihat kedatangan Ricko. Namun, lantaran tamu itu masih ada di hadapannya sebisa mungkin Daniel bersikap tenang. Beruntung pertemuan itu telah berakhir. Dia mengantar tamunya keluar dan meminta Sandra lanjut mengantar sampai lobi. Baru kemudian menghadapi Ricko yang wajahnya tampak merah padam. "Bisa bisanya kamu masih berbisnis dengan tenang seperti ini?" desis Ricko dengan tatapan menghujam. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya menonjol. Lalu satu pukulan dengan cepat melayang mengenai tepat ke waj
Ina terkejut ketika membuka pintu dan langsung menemukan sosok Daniel tersenyum padanya. Refleks dia menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Pak Ricko ada di rumah, Pak," ujar asisten rumah tangga itu. "Aku tau, Ina." Masih dengan senyum lelaki bermata biru itu menyelinap masuk. Mengabaikan wajah cemas Ina. "Kamu nggak akan dimarahi hanya karena membuka pintu, Ina. Jadi santai saja."Ina hanya meringis dan mengikuti langkah Daniel memasuki ruang tengah. Bukan hanya Ina, Luna yang pertama melihat Daniel masuk pun terkejut. Dia langsung menoleh kepada suaminya yang belum menyadari kedatangan lelaki itu. "Selamat malam," sapa Daniel, membuat Ricko yang tengah sibuk dengan tabletnya mengangkat wajah. Alis tebal Ricko kontan menukik tajam. "Beraninya kamu datang ke rumahku," desis Ricko. Rahangnya mengetat, hingga bibirnya membentuk garis lurus dan rapat. "Aku datang menjemput Otta. Kami akan makan malam." Serta-merta Ricko berdiri dengan emosi yang menggelegak. "Mimpi kamu! Kamu p
"Aku akan menikahi Delotta secepatnya." Daniel dengan lantang memberi pengumuman itu di depan seluruh keluarganya yang sengaja dia kumpulkan. Wajah tegang langsung menghiasi orang-orang yang ada di sana. Khususnya Margaretha dan Regio—ayah Dave. Dave sendiri sudah memasang wajah keras sejak kedatangan Daniel ke rumah orang tuanya. Dia sudah tahu tujuan pamannya itu. Apalagi kalau bukan untuk menghancurkan semua rencananya? "Bagaimana bisa?!" Margaretha yang pertama bereaksi. Dua tangannya meremas lengan sofa yang dia duduki. Daniel melirik Dave, Marlin yang menunduk, dan juga Regio yang memasang wajah tidak habis mengerti. "Delotta hamil anakku." Pupil mata Margaretha membesar seketika begitu pun Regio. Marlin bahkan sampai mengangkat wajah. Sementara Prisca dengan santai memakan cemilan sambil menonton pertunjukan itu. "Kamu!" Margaretha mengacungkan tongkatnya. Dadanya naik turun menahan emosi yang siap tumpah. "Kapan kamu tobat menjadi bajingan, Anak Jagland?!" Mata tuanya be
Dua sahabat seusia itu saling tatap dalam jarak beberapa meter. Rahang keduanya sama-sama mengetat. Alis salah satu dari mereka menukik, sementara yang lain terangkat. Keduanya berdiri di dekat kolam renang di teras lantai dua yang memanjang. Daniel Jagland dan Ricko Armisen. Teman satu angkatan yang dulu terkenal akrab itu saling berhadapan. Ada api yang berkobar dari mata Ricko, sangat kontras dengan iris setenang lautan milik Daniel. Yang membuat Ricko serasa ingin mencekik temannya itu hanya ada satu alasan. Yaitu keinginan Daniel yang bersikeras menikahi Delotta. "Meskipun Otta gagal menikah dengan Dave, bukan berarti kamu bisa menikahi dia," ucap Ricko tak terbantahkan. Sorot matanya tajam menghujam. Daniel berdecak bosan. "Mau sampai kapan kamu bersikap egois begini? Apa peringatanku kemarin belum cukup?""Apa orang-orang sepertimu memang sering menjatuhkan lawan dengan cara licik begitu?" "Kamu tahu pasti aku tidak pernah menganggapmu sebagai lawan. Aku berniat mengeratka
Daniel tersenyum lebar ketika melihat Delotta dari kamera CCTV tengah memasuki halaman rumahnya. Dia yang memang sedang menunggu gadis itu segera keluar dari kamar dengan cepat. Dia tidak ingin membiarkan kekasihnya itu berjalan sampai kamar yang jaraknya lumayan jauh dari teras. Delotta langsung menghambur ke pelukan Daniel ketika sosok pria bermata biru itu muncul di ruang tenang. "Baby, jangan lari-lari. Bahaya," ucap Daniel ketika menangkap tubuh Delotta. "Kadang aku lupa kalau lagi hamil," sahut gadis itu tersenyum lebar. "Temanmu nggak marah kan?" "Mana mungkin marah kalau sogokan kartu ajaib?" Delotta memutar bola mata yang lantas disambut tawa pria 47 tahun itu. Dengan pelan Daniel mengangkat tubuh Delotta, memangkunya di kedua lengan, lantas membawa ke arah menuju kamarnya. "Mau ke mana?" tanya Delotta dengan mata mengerjap. "Melepas rindu." "Di kamar?" "Di mana lagi tempat yang cocok selain kamar?" Delotta tertawa sampai semburat merah di wajahnya berpendar. "Om D
"Maafkan aku, Dave. Mungkin kamu memang nggak berjodoh jadi menantuku." Dave menunduk di depan pria yang nyaris menjadi papa mertuanya itu. Dia kecewa karena Ricko memilih menyerah dengan keputusan awal yang sudah lelaki itu ambil. "Papamu juga akhirnya membatalkan pernikahan itu setelah tahu Delotta hamil. Aku tidak menyalahkan. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya," lanjut Ricko lantas menepuk pundak Dave. "Kamu masih muda. Masa depanmu jelas. Tampan dan pasti banyak gadis yang ngejar-ngejar kamu. Kamu berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dari putriku." Dave memejamkan mata sembari menarik napas. Dia tidak suka keputusan ini, tapi juga tidak bisa melakukan apa pun. "Izinkan aku menemui Otta, Om." Ricko mengangguk-angguk. Tidak tega melihat raut kecewa di wajah anak muda itu. "Delotta ada di dapur bersama Luna." Setelah minta izin, Dave beranjak berdiri dan melangkah menuju dapur. Tidak seperti hari biasanya saat bertandang ke rumah ini, kali ini l
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b