Ina terkejut ketika membuka pintu dan langsung menemukan sosok Daniel tersenyum padanya. Refleks dia menoleh ke belakang dengan wajah panik. "Pak Ricko ada di rumah, Pak," ujar asisten rumah tangga itu. "Aku tau, Ina." Masih dengan senyum lelaki bermata biru itu menyelinap masuk. Mengabaikan wajah cemas Ina. "Kamu nggak akan dimarahi hanya karena membuka pintu, Ina. Jadi santai saja."Ina hanya meringis dan mengikuti langkah Daniel memasuki ruang tengah. Bukan hanya Ina, Luna yang pertama melihat Daniel masuk pun terkejut. Dia langsung menoleh kepada suaminya yang belum menyadari kedatangan lelaki itu. "Selamat malam," sapa Daniel, membuat Ricko yang tengah sibuk dengan tabletnya mengangkat wajah. Alis tebal Ricko kontan menukik tajam. "Beraninya kamu datang ke rumahku," desis Ricko. Rahangnya mengetat, hingga bibirnya membentuk garis lurus dan rapat. "Aku datang menjemput Otta. Kami akan makan malam." Serta-merta Ricko berdiri dengan emosi yang menggelegak. "Mimpi kamu! Kamu p
"Aku akan menikahi Delotta secepatnya." Daniel dengan lantang memberi pengumuman itu di depan seluruh keluarganya yang sengaja dia kumpulkan. Wajah tegang langsung menghiasi orang-orang yang ada di sana. Khususnya Margaretha dan Regio—ayah Dave. Dave sendiri sudah memasang wajah keras sejak kedatangan Daniel ke rumah orang tuanya. Dia sudah tahu tujuan pamannya itu. Apalagi kalau bukan untuk menghancurkan semua rencananya? "Bagaimana bisa?!" Margaretha yang pertama bereaksi. Dua tangannya meremas lengan sofa yang dia duduki. Daniel melirik Dave, Marlin yang menunduk, dan juga Regio yang memasang wajah tidak habis mengerti. "Delotta hamil anakku." Pupil mata Margaretha membesar seketika begitu pun Regio. Marlin bahkan sampai mengangkat wajah. Sementara Prisca dengan santai memakan cemilan sambil menonton pertunjukan itu. "Kamu!" Margaretha mengacungkan tongkatnya. Dadanya naik turun menahan emosi yang siap tumpah. "Kapan kamu tobat menjadi bajingan, Anak Jagland?!" Mata tuanya be
Dua sahabat seusia itu saling tatap dalam jarak beberapa meter. Rahang keduanya sama-sama mengetat. Alis salah satu dari mereka menukik, sementara yang lain terangkat. Keduanya berdiri di dekat kolam renang di teras lantai dua yang memanjang. Daniel Jagland dan Ricko Armisen. Teman satu angkatan yang dulu terkenal akrab itu saling berhadapan. Ada api yang berkobar dari mata Ricko, sangat kontras dengan iris setenang lautan milik Daniel. Yang membuat Ricko serasa ingin mencekik temannya itu hanya ada satu alasan. Yaitu keinginan Daniel yang bersikeras menikahi Delotta. "Meskipun Otta gagal menikah dengan Dave, bukan berarti kamu bisa menikahi dia," ucap Ricko tak terbantahkan. Sorot matanya tajam menghujam. Daniel berdecak bosan. "Mau sampai kapan kamu bersikap egois begini? Apa peringatanku kemarin belum cukup?""Apa orang-orang sepertimu memang sering menjatuhkan lawan dengan cara licik begitu?" "Kamu tahu pasti aku tidak pernah menganggapmu sebagai lawan. Aku berniat mengeratka
Daniel tersenyum lebar ketika melihat Delotta dari kamera CCTV tengah memasuki halaman rumahnya. Dia yang memang sedang menunggu gadis itu segera keluar dari kamar dengan cepat. Dia tidak ingin membiarkan kekasihnya itu berjalan sampai kamar yang jaraknya lumayan jauh dari teras. Delotta langsung menghambur ke pelukan Daniel ketika sosok pria bermata biru itu muncul di ruang tenang. "Baby, jangan lari-lari. Bahaya," ucap Daniel ketika menangkap tubuh Delotta. "Kadang aku lupa kalau lagi hamil," sahut gadis itu tersenyum lebar. "Temanmu nggak marah kan?" "Mana mungkin marah kalau sogokan kartu ajaib?" Delotta memutar bola mata yang lantas disambut tawa pria 47 tahun itu. Dengan pelan Daniel mengangkat tubuh Delotta, memangkunya di kedua lengan, lantas membawa ke arah menuju kamarnya. "Mau ke mana?" tanya Delotta dengan mata mengerjap. "Melepas rindu." "Di kamar?" "Di mana lagi tempat yang cocok selain kamar?" Delotta tertawa sampai semburat merah di wajahnya berpendar. "Om D
"Maafkan aku, Dave. Mungkin kamu memang nggak berjodoh jadi menantuku." Dave menunduk di depan pria yang nyaris menjadi papa mertuanya itu. Dia kecewa karena Ricko memilih menyerah dengan keputusan awal yang sudah lelaki itu ambil. "Papamu juga akhirnya membatalkan pernikahan itu setelah tahu Delotta hamil. Aku tidak menyalahkan. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya," lanjut Ricko lantas menepuk pundak Dave. "Kamu masih muda. Masa depanmu jelas. Tampan dan pasti banyak gadis yang ngejar-ngejar kamu. Kamu berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dari putriku." Dave memejamkan mata sembari menarik napas. Dia tidak suka keputusan ini, tapi juga tidak bisa melakukan apa pun. "Izinkan aku menemui Otta, Om." Ricko mengangguk-angguk. Tidak tega melihat raut kecewa di wajah anak muda itu. "Delotta ada di dapur bersama Luna." Setelah minta izin, Dave beranjak berdiri dan melangkah menuju dapur. Tidak seperti hari biasanya saat bertandang ke rumah ini, kali ini l
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b
Daniel mencium pipi Delotta yang sedang mengoles selai pada sehelai roti. Dia lantas beranjak duduk di kursi makan paling ujung. Tepat di depannya ada satu tangkup sandwich segitiga dengan isian sayur. Tangannya meraih gelas panjang berisi air putih dan meneguknya hinga isinya tersisa setengah. Perlahan Delotta duduk di kursi. Perutnya yang sudah membesar membuatnya agak kesulitan bergerak. "Yakin bukan hari ini lahirannya?" tanya Daniel yang selalu seperti menahan sesuatu ketika Delotta bergerak. Ada rasa khawatir tiap kali melihat Delotta tampak kesusahan dengan perutnya yang makin besar. "Yakinlah. Masih sepuluh hari lagi kata dokter." Delotta menggigit roti selai cokelat yang dia buat tadi. "Tapi perut kamu kayak mau jatuh gitu aku liatnya." Delotta memutar bola mata. "Memang Om nggak pernah liat orang hamil sebelumnya?" "Ya, ya liat sih, tapi kan baru sekarang liat istri hamil." "Ya terus apa bedanya? Orang hamil ya begini, namanya juga udah bulannya. Wajar dong kalau peru
"Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep
Daniel mencium pipi Delotta yang sedang mengoles selai pada sehelai roti. Dia lantas beranjak duduk di kursi makan paling ujung. Tepat di depannya ada satu tangkup sandwich segitiga dengan isian sayur. Tangannya meraih gelas panjang berisi air putih dan meneguknya hinga isinya tersisa setengah. Perlahan Delotta duduk di kursi. Perutnya yang sudah membesar membuatnya agak kesulitan bergerak. "Yakin bukan hari ini lahirannya?" tanya Daniel yang selalu seperti menahan sesuatu ketika Delotta bergerak. Ada rasa khawatir tiap kali melihat Delotta tampak kesusahan dengan perutnya yang makin besar. "Yakinlah. Masih sepuluh hari lagi kata dokter." Delotta menggigit roti selai cokelat yang dia buat tadi. "Tapi perut kamu kayak mau jatuh gitu aku liatnya." Delotta memutar bola mata. "Memang Om nggak pernah liat orang hamil sebelumnya?" "Ya, ya liat sih, tapi kan baru sekarang liat istri hamil." "Ya terus apa bedanya? Orang hamil ya begini, namanya juga udah bulannya. Wajar dong kalau peru
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave