Ramdan bergeming ketika mendengar ucapan Elea. Namun, saat wanita itu mencengkeram erat lengannya, dia tergagap. Dia menatap Elea yang masih memegangi perut dengan wajah memucat.“Cepetan, Ramdan! Aku udah enggak tahan lagi!”“I-iya, Mbak. Saya pergi sekarang.”Ramdan bergegas keluar kamar diiringi banyak pertanyaan yang bercokol di kepala. Namun, bayangan tentang wajah pucat yang merintih kesakitan Elea, dia segera menaiki motor dan pergi menuju mini market. Setibanya di sana, dia celingukan sambil menggaruk kepala di depan etalase yang memajang banyak sekali pembalut wanita.“Beli yang mana, ya? Gila! Baru kali ini pemimpin perusahaan Ramlays Grup disuruh beli roti jepang. Kalau ketahuan karyawan bisa diketawain seumur hidup,” batin Ramdan sambil menggaruk kepala.Tanpa pikir panjang dia ambil semua pembalut dengan berbagai merek, kemudian berlari ke kasir. Dia lebih banyak menunduk dengan mata yang bergerak liar memperhatikan sekitar. Lalu, membayar sambil menyambar kantong pl
Ramdan mendengkus kesal sebelum memasukkan kembali ponsel ke saku celananya. Dia menghela napas panjang dan mengempaskan tubuhnya ke sudut ruangan khusus untuk sopir.“Kenapa juga aku harus khawatir ke dia? Toh, selama ini aku tak pernah dianggap ada.”Ramdan meregangkan otot sejenak sebelum merebah beralaskan koran. Dia menatap langit-langit ruangan sebelum perlahan tunduk pada kantuk. Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun saat merasakan seseorang menepuk bahunya. Dia segera duduk dan mengucek mata sebelum menatap siapa yang sudah membangunkannya. Melihat OB yang biasanya membawakan minuman untuk Harsa, Ramdan segara bangkit.“Ada apa, Mas?” tanya Ramdan sambil menatap lekat pria di depannya.“Dicariin Bapak, Mas.”Ramdan segera berlalu usai mengucapkan terima kasih. Lalu, saat melihat Harsa sudah berdiri di dekat mobil, dia segera menghampiri.“Iya, Pak?”“Antar aku ke restoran biasanya, Ramdan. Setelah itu jemput Dina di bandara dan Elea, lalu bawa ke sana!”“Siap, Pak
Ramdan mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh lengan Elea, tetapi segera ditarik kembali. Namun, melihat Elea makin kesakitan, dia segera membopongnya ke mobil. Lalu, memutari mobil dan duduk di balik kemudi sebelum melajukan mobil. Sesekali dia melirik dan melihat wajah Elea makin memucat dengan keringat yang membanjiri dahinya.“Kita ke rumah sakit, Mbak?”“Bawa aku pulang, Ramdan! Aku tak mau ke rumah sakit!”Ramdan sedikit menambah kecepatan agar segera sampai di rumah. Setibanya di sana, dia kembali membopong Elea ke kamar dan membaringkannya. Lalu, berlari ke dapur dan kembali sambil membawa air hangat dalam gelas.“Minum dulu, Mbak.”Elea segera meraih gelas itu dan mengambil obat pereda nyeri sebelum menenggaknya. Setelahnya, dia meringkuk di balik selimut dengan posisi membelakangi Ramdan.Ramdan menghela napas panjang sebelum berlalu ke dapur sambil membawa botol kaca yang tadi digunakan sebagai kompres. Dia buang airnya, kemudian mengisinya kembali sebelum membaw
Ramdan menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah menatap Elea yang beranjak menuju kamar. Setelahnya, dia bergegas keluar rumah dan melajukan motornya menyusuri jalanan menuju kediamannya. Tak berselang lama, dia sampai di rumah mewahnya.Ramdan segera menaiki tangga usai memarkir motor. Lalu, melepas baju begitu masuk rumah dan melemparnya kepada Edrik yang berjalan mendekat.“Siapkan makanan untukku dan bawa ke ruang kerja, Ed!”“Siap, Tuan Muda.”Ramdan melangkah ke ruang kerja, kemudian mengempaskan tubuhnya ke kursi yang ada di balik meja kerja. Dia mengambil semua berkas yang ada di meja dan memeriksanya satu per satu sebelum membubuhkan tanda tangan. Dia mendongak sekilas saat mendengar pintu diketuk.“Masuk!” titah Ramdan. Lalu, kembali menekuri berkas di depannya saat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan lauk yang masih mengepul.“Makannya, Tuan Muda.”“Hem. Buatkan aku kopi juga, Ed! Sepertinya aku harus terjaga malam ini.”“Siap, Tuan Muda.”Edri
Ramdan mengernyit mendengar suara lirih Elea di ujung telepon. Namun, belum sempat bertanya, telepon terputus. Dia kembali mencoba menghubungi wanita itu, tetapi hanya suara operator yang terdengar. Dia bergegas keluar rumah dan melajukan mobil tanpa tujuan. Dalam perjalanan, dia kembali menghubungi Elea dan beruntungnya panggilannya dijawab. Namun, bukan suara wanita itu yang terdengar, melainkan suara seorang pria."Siapa kamu? Mana Elea?" Bukan jawaban yang diterima Ramdan, melainkan suara gelak tawa. Dia membelokkan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu, menajamkan telinga sambil mengernyit heran sebelum berkata."Siapa kamu!""Ha-ha-ha! Coba tebak! Elea sedang tak bisa menjawab panggilan kamu. Dasar sopir sialan!"Ramdan membeliak mendengar suara bernada ancaman. Dia hendak bicara, tetapi panggilannya keburu ditutup. Dia meramas kuat ponsel di tangannya sebelum memukul kemudi. Lalu, menekan kontak seseorang dan segera memberikan perintah."Cari keberadaan Evan, sekarang!"Te
"Mbak," panggil Ramdan.Elea berbalik dan terkesiap melihat Ramdan tampak berbeda setelah mengenakan jas yang diberikannya. Dia bangkit dari duduk dan mendekati pria itu. Lalu, memutari Ramdan sambil menelisiknya dari atas sampai bawah."Enggak sia-sia aku sewa jas itu buat kamu, Ramdan. Ternyata kamu bisa diandalkan."Elea makin mendekati Ramdan. Dia melingkarkan kedua tangan ke leher pria itu sambil tersenyum tipis. "Jadi, maukah kamu bermain sandiwara bersamaku, Ramdan?"Ramdan bergeming saat Elea melepaskan tangannya. Dia memaku pandangan pada wanita itu saat beranjak ke meja rias dan kembali sambil membawa parfum mahal. Lalu, menyemprotkannya ke leher dan tubuh Ramdan. Setelahnya, dia menghidu aroma parfum itu sambil memejamkan mata sebelum menatap Ramdan."Ayo, kita keluar, Ramdan! Jangan lupa tunjukkan senyum terbaikmu di hadapan semua orang."Ramdan menurut saat Elea menggamit lengannya mesra. Lalu, berjalan keluar kamar dengan memakai topeng kebahagiaan bernama senyuman. Pria
Ramdan hanya bergeming. Dia menatap Elea yang mulai mengambil gelas kedua dan ketiga, lantas menenggaknya sekaligus. Tangannya terulur untuk menahan Elea saat hendak menenggak gelas keempat, tetapi segera ditepis kasar. Elea kembali menenggak gelas keempat dan mengambil lagi satu gelas minuman beralkohol. Lalu, meneguknya hingga tandas. Wanita itu menarik kerah baju Ramdan sambil tersenyum tipis. Aroma alkohol langsung menguar menusuk indra penciuman Ramdan."Menyedihkan sekali jadi aku, Ramdan. Orang kita aku bahagia selama ini, tapi mereka salah. Aku terlihat baik-baik saja, tapi aslinya aku rapuh! Aku hancur! Aku terluka!"Ramdan mengedarkan pandangan sebelum menatap ketidaksukaan yang dipancarkan Harsa dan Dina. Dia mulai menarik memegangi kedua lengan Elea, tetapi kembali ditepis kasar."Apa? Kamu takut aku beberkan semua masalah yang ada di dalam keluarga Hadiwilaga, hah! Kamu sama aja kayak Mama sama Papa, hobi menutupi kebusukan!"Dan apa yang ditakutkan Ramdan pun menjadi ken
Ramdan berusaha menarik Elea yang tergantung di pagar balkon. Tanpa kesulitan, dia menarik wanita itu ke atas. Sekejap mata, Ramdan terkejut saat Elea memeluknya erat. Tangan pria itu sudah terangkat hendak mengusap punggung sang istri yang bergetar, tetapi segera diturunkan kembali. Akhirnya, Ramdan membiarkan Elea menumpahkan segala lara di dadanya. Usai tangisannya reda, Elea melerai pelukan dan menatap lekat pria yang ada di depannya."Bawa aku pergi dari sini, Ramdan. Aku enggak mau tingg di sini lagi."Ramdan mengangguk sekilas sebelum meraih tangan Elea dan membawanya pergi. Dia terus menggandeng wanita itu keluar rumah dan menaiki motor. Lalu, melajukan kuda besinya menyusuri jalanan. Ramdan bergeming ketika Elea perlahan menyandarkan kepala di punggungnya. Dia juga membiarkan kala wanita itu terguguk.Ramdan memutuskan menyusuri jalanan tanpa tujuan, berputar-putar hingga akhirnya berhenti di suatu taman yang menghadap ke danau. Dia berhenti dan memarkir motor sebelum turun,
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka