“Apa yang terjadi? Mengapa aku—?”
Elea bangun dalam keadaan bingung dan kacau, dirinya sadar atas apa yang dilakukan Ramdan malam tadi, Elea sudah berusaha untuk memberontak, tetapi tenanga Ramdan tidak bisa ia tandingi.
Ramdan bangin setelah mendengar suara teriakan diiringi tangis seorang wanita. Dia beringsut duduk sambil memegangi kepala yang terasa berat. Dia menggeleng lemah untuk mengembalikan kesadaran. Namun, belum sempat memahami situasi yang sedang terjadi, mendadak seseorang menamparnya. “Kamu jahat! Teganya kamu berbuat begini kepadaku, Ramdan!” Ramdan memegangi pipi kirinya yang terasa panas sebelum menoleh. Dia terkejut dan langsung mundur saat melihat Elea sedang menangis tersedu-sedu sambil mendekap erat selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya. “Memangnya apa yang ....” Belum sempat melanjutkan pertanyaan, suara pintu yang berhasil didobrak membuatnya menoleh. Dia membeliak saat mendapati Harsa—pemilik rumah sekaligus ayah Elea—masuk bersama seorang pelayan. Pria paruh baya itu terkejut sesaat sebelum mendengkus kesal dan mendekati Ramdan. Dengan dipenuhi amarah, dia mengambil baju Ramdan yang berserak di lantai dan membuang ke wajahnya. “Dasar keparat! Pakai itu cepat!” Dengan sedikit tergesa, Ramdan mengambil baju dan berlari ke kamar mandi sebelum kembali menemui Harsa. Belum sempat membuka suara, satu bogem mentah berhasil mendarat mulus di rahang kiri Ramdan. Dia tersungkur dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya yang robek. Harsa menggeram kesal sebelum menarik kerah baju Ramdan dan memaksanya untuk berdiri. Dia menatap nyalang pria di depannya. Lalu, satu pukulan lagi dia sarangkan ke perut pria yang setahun terakhir bekerja sebagai sopir pribadinya itu. Ramdan seketika membungkuk dan terbatuk kecil. Namun, Harsa kembali menarik kerah bajunya. “Jadi inikah balasanmu, Ramdan! Setelah aku memberimu pekerjaan, kamu malah merusak anakku!” “Bu-bukan begitu, Pak. Ini ... ini hanya salah paham. Saya enggak mungkin berani untuk ....” “Halah, alasan! Mana ada maling mau ngaku, penjara bisa penuh! Sekarang ikut aku!” Harsa menyeret Ramdan keluar kamar. Sementara, pria itu melirik Elea yang masih terguguk di ranjang. Dia menggeleng lemah sebelum mengikuti Harsa dengan terseok-seok. Di ruang kerja yang ada di dekat tangga, Harsa menarik Ramdan masuk dan mendorongnya kasar hingga terhuyung. Lalu, secara membabi buta dia kembali melayangkan pukulan di wajah sopirnya. Sementara, Ramdan berusaha untuk menangkis pukulan, tetapi malah membuat Harsa makin menggila memukulnya. Lima menit berselang, Harsa menyudahi pukulannya. Dia duduk di sofa dan menatap penuh ejekan Ramdan yang terbaring di lantai dengan wajah penuh luka. Sementara, Ramdan beringsut duduk dan mundur perlahan sampai menabrak tembok. Dia mengusap bagian yang sakit sambil menatap penuh tanya pria paruh baya di depannya. “Pak, saya bisa jelaskan semuanya. Ini enggak seperti yang Bapak pikirkan. Saya enggak ....” “Halah, mau nyangkal apa lagi kamu, Ramdan! Semua bukti sudah jelas! Mana mungkin Elea mau sama kamu kalau bukan kamu yang maksa!” “Tapi, Pak ....” “Cukup! Kamu sudah buat aku marah, Ramdan! Aku akan laporkan kamu ke polisi sekarang!” Harsa mengambil ponsel dan hendak menghubungi polisi. Namun, Ramdan merangkak mendekat dan memegang kaki pria paruh baya itu. Dia mendongak dan menatap penuh permohonan. “Pak, tolong jangan laporkan saya ke polisi. Saya enggak salah, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya bisa ....” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Harsa yang menggeram kesal kembali menendang kaki Ramdan hingga mengerang kesakitan. Dia meremas kuat ponselnya sebelum bangkit dari duduk dan kembali menendang tubuh pria itu. Setelahnya, dia beranjak ke meja kerja dan membelakangi Ramdan. Harsa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum berbalik menghadap sang sopir. “Oke, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan.” “Syarat apa, Pak? Saya akan lakukan apa saja selama tidak dipenjara.” Harsa menyeringai sebelum berkata. “Nikahi Elea secepatnya!” Ramdan membeliak mendengar syarat yang diajukan Harsa. Dia tidak menyangka akan mendapat syarat yang begitu sulit. Namun, belum sempat pria itu menimpali, Elea yang sejak tadi menguping menerobos masuk. “Enggak, Pa! Elea enggak mau nikah sama dia! Dia itu hanya seorang sopir!” “Terus kamu maunya apa, El? Kamu mau semua orang tahu kalau kamu sudah diperawani sama pria tak bertanggung jawab, hah! Ini aib, El! Aib buat keluarga besar kita!” Harsa menyugar rambut sambil menghela napas panjang. Mendadak nyeri menyergap kepalanya. Dia mengempaskan tubuh ke sofa sambil memijat pelan pangkal hidungnya, sedangkan Elea duduk di sebelahnya. “Elea tahu, Pa. Tapi Elea enggak mau nikah sama dia! Penjarain aja dia!” seru Elea sambil menunjuk Ramdan dengan dagunya. “Jangan, Mbak. Tolong jangan penjarakan saya. Saya masih punya satu adik yang butuh biaya besar. Kalau saya dipenjara, bagaimana nasib adik saya?” “Itu bukan urusan aku, Ramdan! Salah sendiri kenapa kamu meniduri aku!” “Saya enggak mungkin lakukan itu, Mbak. Masuk ke kamar Mbak El saja, saya tidak berani apa lagi sampai ....” “Cukup!” seru Harsa sambil menatap Ramdan dan Elea bergantian. “Papa sudah ambil keputusan, El. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, kamu harus tetap menikah dengan Ramdan secepatnya!” “Tapi, Pa ....” “Keputusan Papa mutlak, El. Nanti malam kamu menikah dengan dia!” seru Harsa sambil bangkit dari duduk dan beranjak keluar ruang kerja. Sementara, Elea segera bangkit dan menyusul ayahnya. Namun, saat melewati Ramdan, dia berhenti sejenak dan berjongkok. Dengan telunjuk teracung mengarah ke wajah Ramdan, dia berkata. “Aku pastikan kamu akan menyesal telah berbuat ini kepadaku, Ramdan!” Sepeninggal Elea, Ramdan beringsut bangkit. Dia mengusap bagian yang sakit sebelum menatap foto Harsa yang terpampang di belakang kursi kerjanya. Lalu, tatapannya beralih kepada pigura kecil yang memajang foto seorang pria tua sedang duduk di kursi. Dia menyeringai sebelum menyeka darah dari sudut bibirnya. “Akan aku pastikan kalian menerima hukuman secepatnya, Hadiwilaga.” Ramdan berjalan tertatih menuju kamar belakang yang memang disediakan khusus untuknya. Dia membuka baju dan menggantungnya di belakang pintu sebelum mengempaskan tubuh ke kasur. Tubuhnya luar biasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit karena difitnah. Dia tak habis pikir bagaimana bisa terbangun di kamar Elea, sedangkan semalam saja dia tidak bertemu dengannya. Ramdan kembali memutar ingatan tentang kejadian semalam. Namun, dia tak menemukan petunjuk apa-apa. Pria itu menyugar rambut sebelum mengantuk-antukkan kepala ke tembok. Dia mengerang kesakitan, menggigit bibir bawah, dan memejamkan mata karena kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Ramdan mengusap kepala bagian belakangnya sebelum berbaring dengan posisi tertelungkup. Dia mulai memejamkan mata, tetapi sakit yang mendera membuatnya sulit untuk sekadar menarik napas. Dia kembali duduk dan mengedarkan pandangan. Sesaat, ingatannya tertuju pada CCTV yang terpasang di beberapa titik di rumah itu. Ramdan segera bangkit dan berlalu ke ruang keamanan. Namun, dia harus menelan kecewa karena semalam CCTV sedang mengalami perbaikan. “Siapa yang merencanakan semua ini?”
Ramdan kembali ke kamar, tetapi kasak-kusuk yang terdengar dari para pelayan di rumah itu diiringi tatapan mengintimidasi tertuju kepadanya.“Enak banget si Ramdan itu, baru setahun kerja di sini sudah berani macam-macam sama Mbak Elea. Mau cari mati kayaknya dia.”“Iya, begitulah kalau pengen kaya dengan cara yang instan. Ogah, repot makanya tiduri aja anak majikannya, beres.”“Betul banget. Kita mah boro-boro bisa kaya, enggak dipecat aja udah bersyukur banget. Emang kurang ajar banget si Ramdan itu. Udah dikasih kerjaan, eh, malah ngelunjak.”Entah berapa banyak lagi Ramdan mendengar hinaan tentang dirinya. Dia menghela napas panjang sebelum kembali masuk kamar dan merebah. Dia memejamkan mata sejenak dengan posisi duduk. Namun, gelebah yang ada dalam dada membuatnya sulit untuk terlelap. Dia kembali beringsut duduk dan memijat pelan tengkuknya. Kembali dia mengerang lirih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.Tak lama berselang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Ramdan b
Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam. “Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat mel
Ramdan kembali membukakan pintu mobil begitu sampai di kantor Harsa. Lalu, melajukan mobil menuju tempat parkir yang khusus diperuntukkan bagi direktur dan CEO. Setelah melaksanakan tugasnya, Ramdan menunggu di suatu ruangan khusus sambil mencari nomor seseorang. Setelah, mendapatkannya, dia segera menelepon.“Apakah ada kabar? Tadi dia menghubunginya. Apa? Haruskah aku cari orang lain yang lebih kompeten daripada kamu! Cepat temukan dia dan seret ke hadapanku!”Telepon terputus. Ramdan menghela napas panjang sambil menyugar rambut. Lantas, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Dia menyesap dalam lintingan nikotin dalam gamitan jemarinya, kemudian mengembuskan asap ke udara.Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama Harsa yang terpampang di layar, dia bergegas menjawab panggilan.“Iya, Pak.”“Cepat ke sini! Antarkan aku ke restoran biasanya.”“Siap, Pak.”Ramdan menyudahi mengisap rokok. Dia membuang puntung ke tanah sebel
Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga. “Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!” Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya. “Hem? Yang benar? Oke, nanti mala
“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka