Ramdan kembali ke kamar, tetapi kasak-kusuk yang terdengar dari para pelayan di rumah itu diiringi tatapan mengintimidasi tertuju kepadanya.
“Enak banget si Ramdan itu, baru setahun kerja di sini sudah berani macam-macam sama Mbak Elea. Mau cari mati kayaknya dia.”“Iya, begitulah kalau pengen kaya dengan cara yang instan. Ogah, repot makanya tiduri aja anak majikannya, beres.”“Betul banget. Kita mah boro-boro bisa kaya, enggak dipecat aja udah bersyukur banget. Emang kurang ajar banget si Ramdan itu. Udah dikasih kerjaan, eh, malah ngelunjak.”Entah berapa banyak lagi Ramdan mendengar hinaan tentang dirinya. Dia menghela napas panjang sebelum kembali masuk kamar dan merebah. Dia memejamkan mata sejenak dengan posisi duduk. Namun, gelebah yang ada dalam dada membuatnya sulit untuk terlelap. Dia kembali beringsut duduk dan memijat pelan tengkuknya. Kembali dia mengerang lirih merasakan sakit di sekujur tubuhnya.Tak lama berselang, terdengar suara ketukan di pintu kamar. Ramdan bangkit perlahan dan membuka pintu. Dia terkejut saat melihat Elea menerobos masuk dan segera mengunci pintu. Ramdan mundur perlahan dan melayangkan tatapan tajam kepada wanita di depannya.“Mau apa Mbak ke sini? Apa masih belum cukup fitnah yang Mbak berikan ke saya?”“Ssst ... diam! Aku ke sini cuma mau kasih ini aja buat kamu, Ramdan! Cepat tanda tangani dan aku akan segera pergi dari sini!”Elea memberikan berkas yang ada di tangannya ke dada Ramdan dengan kasar. Lalu, menyerahkan pulpen ke tangan Ramdan dengan tergesa.“Saya enggak mau tanda tangan. Saya harus baca dulu isinya,” ucap Ramdan sambil membuka berkas di tangannya.Sementara, Elea mendengkus kesal dan bersedekap. Dia mundur dan bersandar di samping pintu sambil menelisik pria di depannya. Ramdan membaca dengan teliti berkas yang ada di tangannya yang berisi perjanjian pra nikah. Dia mengernyit sesaat sebelum menatap Elea.“Saya setuju dengan perjanjian yang Mbak ajukan. Tapi, bolehkah saya juga ajukan satu perjanjian buat Mbak?”“Apa?”“Setelah menikah, kita pergi dari sini!”“Apa! Kamu gila, ya, Ramdan! Mana bisa aku ....”“Kalau Mbak enggak setuju, maka saya enggak akan tanda tangan dan pernikahan ini tidak akan terjadi.”Ramdan menyeringai melihat Elea gelisah di tempatnya berdiri. Dia mendekat dan berdiri tepat di depan wanita itu, kemudian menyerahkan berkas di tangannya. Lalu, beranjak ke kasur dan merebah dengan posisi memunggungi Elea.Ramdan menghitung dalam hati, lantas pada hitungan ketiga terdengar suara Elea menyapa rungu.“Oke, aku setuju. Aku akan ikut kamu setelah pernikahan kita.”Ramdan kembali menyeringai sebelum beringsut bangkit. Lalu, berdiri di depan Elea. Dia melihat wanita itu menandatangani berkas di tangannya, sebelum menyerahkan kepada Ramdan.“Sekarang giliran kamu.”Ramdan menerima berkas itu dan menulis apa yang menjadi syaratnya tadi. Setelahnya, dia baru menandatangani perjanjian itu dan mengembalikan kepada Elea.“Senang berbisnis dengan Mbak.”Elea mendengkus kesal sebelum pergi meninggalkan kamar. Sementara, Ramdan menyeringai dan menatap Elea lewat jendela kaca.“Rencanaku boleh berubah, tapi tujuanku tetap sama. Mungkin ini malah lebih menguntungkan dari pada sebelumnya.”Ramdan kembali berlalu ke kasur untuk merebah. Dia tahan semua lara yang mendera raga dan memilih memejamkan mata. Tak lama berselang, terdengar dengkur halus dari mulut pria itu.Sementara di kamar lain, Elea berulang kali mengentakkan kaki untuk meluapkan kekesalannya. Dia membuang perjanjian di tangannya ke ranjang sebelum mengempaskan tubuhnya kasar. Lalu, memukul ranjang sambil berteriak.“Sialan kamu, Ramdan! Kalau saja bukan karena ancaman Papa, pasti aku memilih untuk menyeretmu ke penjara! Aaargh!”Elea membenamkan kepala di bantal dan terseduh. Lelah usai meluapkan kekesalan dan kesedihan, wanita itu akhirnya terpejam.Saat senja datang, kesibukan tampak di kediaman Hadiwilaga. Rumah yang biasanya sepi itu berubah sedikit ramai oleh segelintir kerabat yang datang. Mereka saling melempar tanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tak ada satu pun yang tahu. Hingga Harsa datang dan menyampaikan kabar bahwa malam itu Elea akan segera menikah dengan pria pilihannya. Kembali kasak-kusuk terdengar saat mereka mengetahui siapa yang akan menjadi calon suami wanita itu.Ketika para tamu masih membicarakan tentang calon suami Elea, Ramdan menatap pantulan dirinya di cermin. Dia menyeringai sebelum mengusap dagu.“Mari kita mainkan perannya sekarang. Dan kamu Elea, aku pastikan akan menyesal telah membuat seorang Akhtar Elramdan murka.”Tak lama pintu terbuka. Ramdan menoleh dan melihat salah satu orang kepercayaan Harsa melongok.“Acaranya mau dimulai, cepetan keluar!”Ramdan kembali merapikan jas dan dasi yang menempel di tubuhnya. Lalu, beranjak meninggalkan kamar menuju tempat acara pelaksanaan pernikahan. sepanjang perjalanan, tatapan menghina disertai kasak-kusuk merendahkan terdengar menyapa rungu. Namun, Ramdan terus melangkah menuju satu meja yang sudah dikelilingi beberapa pria dan Elea.Ramdan segera duduk di samping Elea. Dia melirik sekilas wanita yang akan menjadi calon istrinya itu dan bergeming. Lalu, suara salah satu pria di depannya langsung membuatnya mengalihkan pandangan.“Sudah siap?”Ramdan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Lalu, mengulurkan tangan dan dalam satu tarikan napas janji suci itu terucap. Ucapan syukur terdengar dari pria yang duduk di depan Ramdan. Setelahnya, pembacaan doa dan semuanya selesai. Tak ada perayaan, tak ada senyuman dan ucapan selamat yang mengalir dari para kerabat yang datang.Ramdan menghela napas panjang sebelum berlalu menuju kamar Elea. Namun, sang empunya kamar segera menahan dengan mencekal tangannya.“Mau apa kamu di sini? Bukankah kamar kamu di belakang?”“Saya sudah jadi suami Mbak Elea sekarang. Jadi, enggak salah kalau saya tidur di sini, kan?”Ramdan tersenyum penuh kemenangan kala melihat Elea menggeram kesal sambil mengentakkan kaki. Dia segera membuka jas dan dasi sebelum menaruhnya ke sofa. Lalu, merebah di ranjang dan merentangkan tangannya.“Ayolah, Mbak! Kita sudah pernah melakukannya sekali di sini kemarin malam. Jadikan ini pengalaman kita yang kedua, dengan kondisi saya yang sadar.”Ramdan sengaja menekankan nada bicaranya di akhir kalimat. Lalu, menyeringai melihat Elea membeku di tempat sambil mengepalkan tangan.“Kenapa diam, Mbak? Bukankah ini yang Mbak mau? Kemarin saja kita belum ada ikatan, Mbak sudah berani mengajak saya tidur. Masa sekarang kita sudah menikah, malah seperti orang asing?”Ramdan menatap lekat Elea yang masih bergeming. Dia memanggil wanita itu dengan tangan, kemudian menepuk tempat di sampingnya.“Ayolah, Mbak! Saya udah enggak sabar ini. Ingin mengulang kejadian kemarin malam.”Ramdan kembali menyematkan senyum penuh kemenangan ketika melihat Elea menggeram kesal. Dia bahkan menyeringai ketika melihat wanita itu mengikis jarak dan menarik tangannya.“Jangan pernah berpikir aku akan melakukan hal konyol itu lagi! Turun dari ranjangku sekarang!”Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam. “Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat mel
Ramdan kembali membukakan pintu mobil begitu sampai di kantor Harsa. Lalu, melajukan mobil menuju tempat parkir yang khusus diperuntukkan bagi direktur dan CEO. Setelah melaksanakan tugasnya, Ramdan menunggu di suatu ruangan khusus sambil mencari nomor seseorang. Setelah, mendapatkannya, dia segera menelepon.“Apakah ada kabar? Tadi dia menghubunginya. Apa? Haruskah aku cari orang lain yang lebih kompeten daripada kamu! Cepat temukan dia dan seret ke hadapanku!”Telepon terputus. Ramdan menghela napas panjang sambil menyugar rambut. Lantas, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Dia menyesap dalam lintingan nikotin dalam gamitan jemarinya, kemudian mengembuskan asap ke udara.Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama Harsa yang terpampang di layar, dia bergegas menjawab panggilan.“Iya, Pak.”“Cepat ke sini! Antarkan aku ke restoran biasanya.”“Siap, Pak.”Ramdan menyudahi mengisap rokok. Dia membuang puntung ke tanah sebel
Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga. “Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!” Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya. “Hem? Yang benar? Oke, nanti mala
“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka