Elea mendorong kasar Ramdan hingga terhuyung sebelum kembali mendekat dan melayangkan tatapan tajam.
“Sopir sepertimu patutnya tidur di sofa, bukan ranjang mewah milikku!”Ramdan tersenyum tipis sebelum melabuhkan tubuhnya di sofa yang terletak di sudut kamar. Dia menatap tajam sang istri yang nyaman berbaring di ranjang sambil mendekap erat selimutnya. Sementara, Elea balik menatap lekat dengan kesal yang menggerogoti dada.“Jangan pernah berpikir kamu akan mendapatkan jatah malam ini! Kamu hanya suami di atas kertas, enggak lebih! Aku lakukan ini hanya agar tidak dicoret dari keluarga Hadiwilaga!”Ramdan kembali tersenyum tipis sambil menatap lekat Elea. “Deal. Mulai detik ini, kita jalani urusan masing-masing. Tapi ingat, besok kita pulang ke rumah saya.”Ramdan menyambar jas dan dasi sebelum berlalu meninggalkan kamar Elea. Amarah yang membuncah membuatnya memilih pindah kamar demi menjaga kewarasan. Dia takut akan menyakiti Elea sebelum misinya berhasil dijalankan. Saat melewati dapur, tatapan curiga diiringi ucapan tak mengenakkan mengiringi langkah pria itu hingga tiba di kamar. Namun, dia sudah tidak peduli dengan semua cemoohan itu. Dia lebih peduli mengistirahatkan raganya yang letih sejak tadi.Ramdan mengempaskan tubuhnya di kasur busa. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri memikirkan rangkaian kejadian yang menimpanya sejak kemarin malam. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sebelum perlahan memejamkan mata.Keesokan harinya, Ramdan terjaga setelah mendengar alarm berbunyi. Dia bergegas bangkit dan membersihkan diri sebelum melangkah menuju kamar Elea. Namun, beberapa meter sebelum sampai di kamar, dia melihat seorang pria berbadan tegap sedang berbicara dengan istrinya. Dia segera bersembunyi untuk melihat apa yang dilakukan keduanya. Dia makin terkejut saat melihat Elea mengangsurkan amplop cokelat kepada pria itu.Ramdan segera keluar dari tempat persembunyiannya, tetapi secepat itu pula Elea segera mengusir pria tadi. Lalu, menahan Ramdan yang hendak masuk ke kamarnya.“Mau apa kamu ke sini?”“Kita pulang ke rumah saya sekarang.”Elea mencebik sebelum kembali menutup pintu. Lalu, dua puluh menit kemudian dia keluar sambil menyeret koper. Melihat itu, Ramdan tersenyum tipis sebelum mengambil alih koper di tangan sang istri dan mengikutinya ke mobil.“Bisakah Mbak pindah duduk di depan? Saya ini ....”“Kamu cuma suami di atas kertas! Karena sampai kapan pun kamu itu tetaplah seorang sopir! Enggak usah ngatur-ngatur aku mau duduk di mana!”Ramdan menggeleng lemah sebelum melajukan mobil menuju rumahnya. Selama perjalanan hanya hening yang meningkahi keduanya. Elea lebih banyak menatap keluar jendela atau layar ponselnya, sedangkan Ramdan fokus menatap jalanan dan sesekali melirik sang istri lewat center mirror.Tak lama berselang, mereka sampai di kediaman Ramdan. Elea bergeming sejenak melihat bangunan di depannya. Meskipun tak sebesar rumah Harsa, tetapi cukup nyaman ditempati karena bersih dan terawat. Namun, wanita itu berdecih lirih sebelum menatap Ramdan.“Ini yang kamu sebut rumah? Ini lebih cocok disebut gubuk!”Ramdan bungkam dan memilih menyeret koper ke dalam. Setelah membuka pintu, dia kembali menyeret koper menuju salah satu kamar.“Ini kamar Mbak. Saya bisa ....”“Ini lebih kecil dari pada kamar mandiku.” Elea menerobos masuk dan mengedarkan pandangan sambil bersedekap. “Ada kamar lainnya?”“Ada, tapi itu kamar saya.”Elea tak mengindahkan ucapan Ramdan. Dia kembali keluar dan menuju satu kamar lainnya, kemudian membukanya dan mengedarkan pandangan. Dia manggut-manggut sekilas sebelum mengempaskan tubuh di ranjang.“Aku mau kamar ini, kamu pindah aja ke sana.”“Tapi ....”“Enggak ada tapi, cepet pindahin barang-barang kamu!”Ramdan mendengkus kesal sebelum memindahkan barang-barangnya ke kamar sebelah. Sementara, Elea menatap acuh tak acuh sambil menatap kuku-kukunya yang cantik. Lalu, tersenyum mendengar suara pintu kamar dibanting.Di kamar sebelah, Ramdan mengacak-acak rambutnya. Frustasi dengan kelakuan sang istri yang berani mengabaikannya. Dia meraup wajahnya kasar sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang.“Sabar, Akhtar. Kamu harus jadi pria penyabar sekarang, jika saatnya tiba kamu bebas menjadi singa lapar yang mengoyak semua musuhmu.”Ramdan menghela napas panjang sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Lalu, bangkit dari ranjang dan berlalu keluar kamar. Meskipun tinggal terpisah, tetapi kewajibannya untuk mengantar Harsa ke mana pun pergi tak boleh dilupakan.Ramdan hendak membuka pintu depan ketika mendengar Elea memanggilnya. Dia menoleh dan bertanya sambil mengerutkan dahi.“Ada apa lagi, Mbak?”“Kamu lupa belum ngasih aku duit buat makan hari ini.”“Di kulkas sudah ada bahan mentah, tinggal diolah saja.”“Kamu lupa kalau aku enggak pernah masak selama ini.”Ramdan mendengkus kesal melihat istrinya mengikis jarak sambil menadahkan tangannya. Dia mengeluarkan dompet dan mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah kepada Elea. Namun, dia terkejut kala wanita itu justru menyambar dompetnya.“Meskipun kita terikat perjanjian untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, tapi aku sekarang tanggung jawab kamu. Uang kamu adalah uang aku juga, soalnya Papa udah ambil semua fasilitas aku, jadi aku bergantung ke kamu sekarang.”Ramdan terkejut kala melihat Elea mengambil semua uang di dompetnya dan hanya menyisakan beberapa lembar uang sepuluh ribu dan dua ribuan. Dia menggeram kesal ketika melihat wanita itu melenggang pergi setelah melempar dompet ke dadanya lalu terjatuh ke lantai.Melihat Ramdan bergeming, Elea yang hendak menutup pintu kamar berkata. “Ngapain bengong, cepetan pergi! Cari duit yang banyak, soalnya aku enggak bisa hidup miskin!”Ramdan menghela napas panjang sebelum memungut dompetnya, kemudian meninggalkan rumah. Dia melajukan mobil perlahan menuju kediaman Harsa. Sesekali pria itu berdecih lirih sambil menggeleng lemah mengingat sikap Elea.“Dasar wanita tak tahu malu!”Tak lama berselang, Ramdan sampai di kediaman Harsa. Dia bergeming sesaat di mobil ketika melihat Harsa keluar rumah sambil menelepon. Setelahnya, pria itu keluar mobil untuk membukakan pintu bagi Harsa. Lalu, kembali duduk di balik kemudi dan melajukan mobil perlahan meninggalkan rumah. Selama perjalanan, pria itu melirik sang majikan dari center mirror dan menulikan telinga seperti biasa.Ketika sampai di lampu merah, Harsa menyudahi percakapannya lewat telepon. Dia beralih mengutak-atik layar ponsel sambil melempar tanya.“Gimana Elea? Apakah dia masih berulah setelah aku ambil semua fasilitasnya?”“Begitulah, Pak.”Harsa terkekeh sebelum menatap Ramdan sekilas, lantas kembali menatap layar ponselnya. “Ada bagusnya juga dia aku nikahkan denganmu. Sedikit berkurang bebanku mendidiknya selama ini.”Ramdan hanya bergeming. Dia mendengkus lirih sebelum kembali melajukan mobil saat lampu berubah hijau. Sementara, Harsa mengernyit heran ketika mendapat panggilan dari seseorang. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan. Ramdan yang awalnya memilih abai, mendadak menajamkan telinga begitu mendengar nama yang diucapkan Harsa. Nama seseorang yang telah menikamkan sembilu tepat di dadanya tiga tahun yang lalu.Ramdan kembali membukakan pintu mobil begitu sampai di kantor Harsa. Lalu, melajukan mobil menuju tempat parkir yang khusus diperuntukkan bagi direktur dan CEO. Setelah melaksanakan tugasnya, Ramdan menunggu di suatu ruangan khusus sambil mencari nomor seseorang. Setelah, mendapatkannya, dia segera menelepon.“Apakah ada kabar? Tadi dia menghubunginya. Apa? Haruskah aku cari orang lain yang lebih kompeten daripada kamu! Cepat temukan dia dan seret ke hadapanku!”Telepon terputus. Ramdan menghela napas panjang sambil menyugar rambut. Lantas, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Dia menyesap dalam lintingan nikotin dalam gamitan jemarinya, kemudian mengembuskan asap ke udara.Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama Harsa yang terpampang di layar, dia bergegas menjawab panggilan.“Iya, Pak.”“Cepat ke sini! Antarkan aku ke restoran biasanya.”“Siap, Pak.”Ramdan menyudahi mengisap rokok. Dia membuang puntung ke tanah sebel
Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga. “Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!” Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya. “Hem? Yang benar? Oke, nanti mala
“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka