Ramdan kembali membukakan pintu mobil begitu sampai di kantor Harsa. Lalu, melajukan mobil menuju tempat parkir yang khusus diperuntukkan bagi direktur dan CEO. Setelah melaksanakan tugasnya, Ramdan menunggu di suatu ruangan khusus sambil mencari nomor seseorang. Setelah, mendapatkannya, dia segera menelepon.
“Apakah ada kabar? Tadi dia menghubunginya. Apa? Haruskah aku cari orang lain yang lebih kompeten daripada kamu! Cepat temukan dia dan seret ke hadapanku!”Telepon terputus. Ramdan menghela napas panjang sambil menyugar rambut. Lantas, mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulutnya. Dia menyesap dalam lintingan nikotin dalam gamitan jemarinya, kemudian mengembuskan asap ke udara.Saat tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak ponselnya berbunyi. Melihat nama Harsa yang terpampang di layar, dia bergegas menjawab panggilan.“Iya, Pak.”“Cepat ke sini! Antarkan aku ke restoran biasanya.”“Siap, Pak.”Ramdan menyudahi mengisap rokok. Dia membuang puntung ke tanah sebelum melajukan mobil menuju depan kantor. Saat melihat Harsa, dia segera membukakan pintu sebelum kembali melajukan mobil menuju restoran yang dimaksud.Setibanya di sana, Ramdan segera membuka pintu dan memarkir mobil. Tepat saat itulah, dia melihat Elea turun dari mobil seseorang dengan mengenakan kacamata hitam. Lalu, dari pintu kemudi turun seorang pria memakai jas rapi sambil memakai kacamata hitam. Elea tampak menggelayut manja di lengan pria itu sambil berjalan masuk ke restoran.Awalnya Ramdan acuh tak acuh dengan pasangan yang saja dilihatnya. Namun, rasa penasaran yang besar membuatnya memilih turun dan masuk ke restoran.“Siapa tahu ada sedikit petunjuk soal fitnah yang menimpaku kemarin,” gumam Ramdan sambil mengedarkan pandangan mencari keberadaan Elea dan kekasihnya.Ketika sedang celingukan, tanpa sengaja seseorang menyenggolnya. Ramdan segera mengucapkan terima kasih. Tepat saat itulah, dia selintas melihat bayangan Elea yang sedang duduk di ruangan khusus. Ramdan segera mendekat dan menempelkan telinganya di pintu. Sontak dia membeliak mendengar suara sang istri.“Akh,” desah Elea sambil menjambak rambut Evan.Sementara, Evan menjelajah leher jenjang Elea yang duduk di pangkuannya. Mendaratkan kecupan basah sehingga wanita itu terus mendesah merasakan kenikmatan. Melihat Elea memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya, Evan menyeringai. Dia menjambak Elea, kemudian menghujani bibir merahnya dengan ciuman panas penuh gairah.Ramdan yang masih berdiri di depan pintu menggeram kesal. Dia memejamkan mata sejenak sambil menghela napas panjang. Tak tahan dengan suara sang istri yang terus mendesah pasrah atas perlakuan Evan, Ramdan mendadak membuka pintu.Evan spontan melepaskan ciumannya, sedangkan Elea membeliak melihat pria yang kemarin resmi menyandang status sebagai suaminya. Namun, wanita itu cepat menguasai diri. Dia bahkan sengaja mengalungkan kedua tangan ke leher Evan dan mencium pipinya.Ramdan membeku di tempat melihat sikap Elea. Dia berdeham untuk mengusir ketegangan sambil mengikis jarak. Lalu, mencekal tangan sang istri dan bermaksud ingin membawanya keluar. Namun, Evan menahannya.“Mau apa kamu?”“Maaf, Mbak Elea harus segera pulang sekarang.”Evan langsung menatap lekat Elea yang tersenyum manis melihatnya. “Benarkah itu, Sayang?”Elea langsung melayangkan tatapan tajam kepada Ramdan sambil berusaha menarik tangannya.“Tentu saja tidak, Sayang. Sopir ini sudah berbohong.”“Dengar, kan? Jadi lepaskan Elea!” seru Evan sambil menepis kasar tangan Ramdan.Ramdan mendengkus kesal sebelum kembali mencekal tangan Elea dan menariknya. Mau tidak mau wanita itu turun dari pangkuan Evan, menyambar tas, dan terseok mengikuti langkah Ramdan. Namun, sebelum meninggalkan ruangan, wanita itu menoleh sambil mengedipkan sebelah mata kepada Evan. Jempol dan kelingkingnya menempel di telinga seolah-olah sebuah telepon. Lalu, tanpa suara dia berucap.“Telepon aku nanti.”Dengan tergesa, Ramdan membawa Elea ke mobil dan mendorongnya masuk ke mobil. Lalu, melajukan kendaraan menuju rumah. Selama perjalanan, tak ada yang mengeluarkan suara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlebih Elea yang menggeram kesal sambil bersedekap, dan membuang pandangan keluar jendela. Wanita itu merasa kesenangannya dikacaukan oleh Ramdan.Setibanya di rumah, Elea segera turun dan membanting pintu mobil. Lalu, masuk ke rumah dan hendak berlalu ke kamar. Namun, Ramdan segera mencekalnya.“Lepasin, Ramdan!” seru Elea sambil menyentak kasar tangan sang suami. Lalu, menunjuk Ramdan dengan telunjuknya. “Apa hak kamu ngelarang aku berhubungan dengan Evan? Ingat perjanjian kita! Dilarang mencampuri urusan masing-masing!”“Saya tahu, Mbak. Tapi tidak etis saja jika mengumbar kemesraan di depan umum, terlebih pria itu bukan suami Mbak.”“Cukup, Ramdan! Jangan sok peduli sama aku! Kamu itu cuma suami di atas kertas, enggak lebih!”Elea berlalu ke kamar dan membanting pintu. Sementara, Ramdan mendengkus kesal sebelum kembali ke mobil. Tepat saat itulah ponselnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, bergegas dia menjawabnya.“Iya, Pak.”“Kamu ke mana? Cepat ke sini!”Ramdan segera memasukkan ponsel begitu panggilan terputus. Dia kembali melajukan mobil menuju restoran tadi. Namun, dia bergeming di balik kemudi begitu melihat Evan sedang berbincang dengan Harsa.Melihat Harsa mengikis jarak, Ramdan segera keluar untuk membukakan pintu mobil. Namun, gerakannya berhenti ketika Evan menatapnya lekat sambil tersenyum mengejek.“Om, sekarang sopir sudah naik jabatan, ya?”“Maksud kamu, Van?”“Jadi tadi El ke sini sama aku, Om. Tapi sopir ini berani nyuruh El pulang sambil maksa. Berani banget dia.”Harsa mengernyit, lantas menatap Ramdan. Dia tersenyum dan menepuk bahu Evan sekilas. “Dia lebih dari sekadar sopir sekarang, Van.”“Maksudnya, Om?”“Ya, karena kebodohan anak itu, akhirnya Om harus menikahkan El dengannya,” ucap Harsa sambil menunjuk Ramdan dengan dagunya.“Apa? Jadi sopir ini suaminya El? What the ... apa yang udah kamu lakuin ke El, hah!”Evan langsung menarik kerah baju Ramdan sambil melayangkan tatapan tajam. Namun, Harsa langsung menarik bahu Evan dan merangkulnya. Dengan sedikit berbisik, dia berbicara kepada pria itu.“Ini tempat umum, Van. Jangan mancing pertanyaan orang tentang aib yang seharusnya dijaga.”“Sorry, Om. Tapi sebenarnya apa yang terjadi sama mereka?”“Well, anak muda biasalah, Van. Pulang mabuk, bersenang-senang dan akhirnya berani melakukan hal yang tidak seharusnya. Om temukan sopir ini bangun di ranjang El dengan keadaan t*lanjang. Dan, ya, terpaksa Om harus menikahkan mereka.”“Jadi mereka ....”“Ya, begitulah. Om nyesel sudah mempunyai anak yang bodoh seperti Elea. Harusnya dia meniduri bos super kaya, tapi kenyataannya dia tidur dengan sopir ini. Bikin malu!”Harsa melirik Ramdan sambil bergidik karena jijik, kemudian masuk ke mobil. Sementara, Evan terkekeh dan menelisik Ramdan dari kepala hingga kaki sebelum pergi meninggalkan tempat.Ramdan menatap lekat Evan yang berlalu ke mobil sambil mengepalkan tangan. Dia menyeringai sebelum menutup pintu mobil dan duduk di balik kemudi.'Tunggu giliranmu, Evan.'Ramdan melajukan mobil kembali ke kantor Harsa. Dia fokus menatap jalanan dan bungkam selama perjalanan, tetapi suara Harsa yang duduk di belakang sambil menatap layar ponsel membuatnya harus menajamkan telinga. “Jangan pernah anggap serius masalah tadi, Ramdan. El dan Evan sudah kenal lama. Mungkin kalau El tidak berbuat bodoh, pasti Evan yang akan jadi menantuku, bukan kamu!” Ramdan bergeming. Dia hanya bisa menghela napas panjang untuk meredam ketegangan yang ada. Sungguh, diperlakukan dengan tidak baik oleh mertua dan istri membuat pria itu meradang. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Setibanya di kantor, Ramdan kembali membukakan pintu mobil untuk Harsa. Lalu, melajukan kendaraan menuju tempat parkir. Dia menunggu sambil mendengarkan musik dan memejamkan mata. Lelah yang mendera membuat pria itu tertidur. Namun, dia segera terjaga ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Usai melihat nama yang tertera di layar, Ramdan bergegas menjawabnya. “Hem? Yang benar? Oke, nanti mala
“Jangan begitu lagi, Al. Kamu hampir buat Kakakjantungan.” Ramdan masih berusaha mengembalikan denyut jantung Aleta yangsempat berhenti dengan mengompresi dan membuka jalan napasnya. Setelah usahanyayang kesekian kali, jantung gadis itu kembali berdenyut. Ramdan menghela napaspanjang penuh kelegaan sebelum tersenyum tipis. Lalu, mengusap kepala Aleta danmengecup keningnya.Tak lama berselang, pintu terbuka. Lalu, Edrik danseorang dokter setengah berlari mendekati ranjang. Ramdan beringsut bangkitdari ranjang dan bergeming menatap sang dokter yang sedang memeriksa Aleta.Setelahnya, dokter tadi memberikan penjelasan kepada Ramdan sambil tersenyum.“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tuan muda. Nona Muda baik-baik saja, mungkinada ledakan emosi yang membuatnya syok tadi.”“Hem.”“Kalau sudah tidak ada yang diperlukan lagi, saya pamit, Tuan Muda.”“Hem. Terima kasih, Dok.”“Anda yang harus berterima kasih pada diri Anda sendiri, Tuan Muda. Nona Mudamasih bisa selamat, karena usah
“Tolong tunjukkankartu membernya, Pak.”Ramdan melajukanmobil menuju sebuah kelab malam. Dia bergegas masuk, tetapi dua orang berbadangempal menahannya.Ramdan mendengkus kesal sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan sebuahkartu seperti ATM berwarna hitam kepada kedua orang yang ada di depannya.Melihat kartu itu, salah satu orang menelisik Ramdan, lalu menyikut temannya.Kompak keduanya menunduk di depan Ramdan.“Maafkan kami yang tidak mengenali Bos. Silakan masuk, Bos!”Ramdan menyambar kartu yang disodorkan orang tadi dan bergegas masuk. Suaramusik yang mengentak diiringi minimnya cahaya, tak menyurutkan langkah Ramdanuntuk mencari keberadaan Elea. Ketika sedang mencari, seorang pria dengansetelan jas mendekati Ramdan.“Bos Akhtar,” panggil pria itu. Namun, Ramdan bergegas menempelkan telunjuk kebibir sebagai isyarat tutup mulut. Pria yang diketahui sebagai manajer kelabmalam itu mengangguk sekilas. “Bos cari siapa?”“Di mana Elea?” tanya Ramdan sambil mengedarkan pan
“Pagi, Tuan Muda.”Ramdan segera berlalu meninggalkan rumah diiringitatapan penuh tanya Elea. Dia bergegas masuk mobil dan melajukannya menujukediaman Hadiwilaga. Namun, di tengah jalan, dia berhenti dan keluar dari mobilsetelah sebuah motor menghadangnya. Ramdan mengangguk sekilas ketika melihatEdrik turun dari motor dan menghampirinya.“Pagi juga, Ed.”Ramdan segera menaiki motor dan kembali meneruskan perjalanan menuju kediamanHadiwilaga. Setibanya di sana, dia segera berlalu ke belakang dan kembalisambil membawa ember berisi air yang diberi sabun dan lap. Lalu, membersihkanmobil yang biasa dipakai Harsa dengan telaten. Dia pastikan semua bagian mobilbersih dan mengilat, kemudian seulas senyum dia sunggingkan di bibir.“Beres. Tak akan ada yang menyangka kalau seorang Akhtar bisa mencuci mobilsebersih ini.” Ramdan berkata sambil berkacak pinggang, bangga denganpekerjaannya. Dia mengedarkan pandangan dan memastikan tak ada yang mendengarucapannya tadi.Setelahnya, Ramdan
“Mau apa kamu ke sini?” Orang di depannya belum jugamenjawab, Ramdan kembali mengulang pertanyaan. “Maaf, Pak. Tadi di kantor ada undangan makan bersama dengan pimpinan dari HWGrup. Karena Bapak sulit dihubungi, makanya saya memutuskan untuk mewakiliperusahaan.”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Oke, lanjutkan tugas kamu danlaporkan apa sebenarnya yang diinginkan pria tua itu.”“Siap, Pak. Nanti saya kabari lewat pesan singkat saja.”“Kirimkan saja lewat email. Nanti aku akan membukanya tengah malam, karenanomor lamaku untuk sementara tidak aktif.”“Siap, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”“Hem.”Ramdan mempersilakan Deni, manajer operasional di perusahaannya itu berlalu.Dia memaku pandangan kepada pria itu sampai mengulang di balik pintu.Setelahnya, dia memilih menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan musik.Lelah yang mendera membuatnya perlahan memejamkan mata.Satu jam berselang, Ramdan tergagap bangun ketika mendengar suara kaca diketuk.Dia menoleh da
“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Ramdan mengambil baju dan keluar kamar. Dia berjalan menuju kamar sang adik dan membuka pintunya. Seulas senyum dia sunggingkan sambil mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Aleta.“Kapan kamu bangun, Al? Kakak kesepian. Maafkan Kakak karena belum berhasil membawa penjahat itu ke sini. Tapi, Kakak janji akan segera menemukannya.”Ramdan mengecup lama kening Aleta. Lalu, bangkit dari duduk dan berlalu keluar kamar. Dia berjalan ke balkon dan bergeming. Menatap hamparan Padang hijau dalam kegelapan dan dinginnya malam. Dia menghela napas panjang dan hendak berbalik. Namun, dia terkesiap ketika melihat Edrik sudah berdiri di ambang pintu.“Kamu sudah dapat apa yang aku perintahkan, Ed?”“Sudah, Tuan Muda.”“Bagus. Katakan apa yang kamu dapat!”“Mereka sengaja menyekap Tuan Muda atas perintah seseorang. Orang itu sakit hati karena pernah diusir dari rumah Tuan Muda, sehingga dia memberi sedikit pelajaran. Orang ini juga tidak terima
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka