“Tuan Muda ....”Hanya kata itu yang didengar Ramdan saat pertama kali membuka mata. Dia beringsut duduk sambil memegang kepala yang berdenyut nyeri. Lalu, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ramdan menggeleng berulang kali, tetapi rasa sakit yang membebat kepala makin menjadi.“Tuan Muda, tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter? Tadi Tua Muda pingsan di dekat ranjang. Saya juga menemukan memar di kepala Tuan Muda.”Ramdan menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangan meminta Edrik pergi. Setelahnya, dia menajamkan mata dengan posisi setengah duduk. Namun, dia kembali membuka mata kala melihat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi roti lapis isi tuna dan segelas teh hangat.“Sarapannya, Tuan Muda. Sekalian obat pereda nyeri yang disarankan dokter.”“Makasih, Ed. Belikan aku ponsel baru beserta nomornya. Ponselku kemarin diambil mereka.”“Siap, Tuan Muda.”Edrik berlalu dari hadapan Ramdan. Sementara, pria itu beringsut mengambil sarapan dan mengunyahnya perlah
“Hai, Dad? How are you?”“Fine, Son. What’s about you?”“I’m fine too, Dad.”“Aleta?”“Masih sama seperti tiga tahun lalu, Pi. Belum ada perkembangan sama sekali.”“Tidakkah sebaiknya kita bawa Aleta berobat di sini saja, Tar?”“Pengobatan dalam negeri tak kalah bagus, Pi. Hanya butuh kesabaran saja sampai Aleta sadar lagi.”Terdengar helaan napas panjang dari ujung telepon. Ramdan tahu sang ayah juga merasakan hal yang sama sepertinya. Namun, setelah semua usaha yang dilakukan, saatnya pasrah dan berharap keajaiban datang menyapa sang adik.“Kabari Papi kalau ada apa-apa, Tar. Papi kangen Aleta, tapi pekerjaan di sini tak dapat Papi tinggalkan.”“It’s okay, Dad. Akhtar akan selalu kasih kabar tentang perkembangan Aleta. Salam buat Mami, kapan-kapan Akhtar akan pergi ke sana untuk mengunjungi kalian. Tentunya bersama Aleta.”“Lalu, menantu Papi? Oh, ayolah, Tar! Papi sama Mami semakin tua, sudah saatnya melihat kamu menikah dan punya cucu.”“Nanti saja kalau penjahat itu su
Ramdan menelan ludah dengan susah payah saat melihat Harsa menatapnya lekat. Namun, belum sampai orang di sebelahnya menjawab, suara dering ponsel milik Harsa berdering. Pria paruh baya itu bergegas menyingkir untuk menjawab panggilan setelah meminta izin. Setelahnya, Ramdan mendekati orang yang menjadi klien Harsa itu.“Saya tidak menyangka akan bertemu dengan Bapak Akhtar di sini. Tapi, kenapa Bapak harus berpenampilan begini?” tanya orang itu sambil menelisik Ramdan dari atas sampai bawah.Ramdan mendekati orang itu dan berkata dengan nada lirih, nyaris seperti berbisik. “Yang jelas saya tidak bisa mengatakan alasannya sekarang, Pak Bima. Tapi, saya mohon kerja samanya. Anggap kita tidak saling kenal.”Ramdan segera berlari untuk membukakan pintu mobil. Namun, dia bergeming saat melihat Harsa mendekati Bima. Dia menghela napas panjang dan melirik Bima yang sedang berbicara dengan Harsa. Spontan, dia menajamkan telinga untuk mendengar percakapan mereka.“Maafkan saya, Pak Bima.
“Sialan! Sampai kapan dia akan membuat kacau rumahku!” seru Ramdan sambil mengepalkan tangan. Setelahnya, dia berlalu meninggalkan rumah dengan memendam amarah. Saat di perjalanan, ponsel pria itu berdering. Ramdan bergegas menepikan motor dan menjawab panggilan begitu melihat nama Edrik yang terpampang di layar.“Ada apa, Ed?”“Orang yang menyekap Anda sudah ada di basement, Tuan Muda.”“Oke, aku ke sana sekarang.”Telepon terputus. Ramdan kembali melajukan motor menuju rumahnya. Dia bahkan menarik gas kuat agar cepat sampai. Setibanya di rumah, Ramdan bergegas masuk, kemudian berjalan terus hingga melewati halaman belakang dan sampai pada sebuah pintu yang tertanam di tanah. Dia bergegas membuka pintu itu dan masuk. Satu per satu anak tangga dia turuni dengan sedikit tergesa. Lalu, sampailah dia pada pintu besi berwarna hitam. Dengan perlahan, dia membuka pintu dan masuk. Pria itu menyeringai melihat enam orang yang saling terikat di sudut ruangan gelap.Ramdan membuka seraga
Ramdan meraup wajah kasar sambil menghela napas panjang, kemudian beranjak ke ranjang dan mengempaskan tubuhnya. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sambil memejamkan mata sejenak. Namun, dia segera menoleh saat mendengar pintu digedor dari luar diiringi suara teriakan Elea.“Ramdan, buka! Aku mau bahas tentang perjanjian kita!”Ramdan menghela napas panjang sebelum merebah. Dia abaikan teriakan Elea dan gedoran pintu. Lalu, memejamkan mata sambil menutup telinga dengan bantal.“Dasar wanita aneh! Teriak saja sampai suaramu habis! Aku enggak peduli!”Tak lama, terdengar dengkur halus yang keluar dari mulut. Sementara, Elea yang masih di depan pintu mendengkus kesal sebelum menendang pintu dan kembali ke kamar.Menjelang malam, Ramdan terjaga dan beringsut duduk. Dia mengedarkan pandangan dan hanya gelap yang tertangkap mata. Perlahan, dia bangkit dan menyalakan lampu sebelum membuka pintu. Lalu, keluar kamar dan berlalu ke dapur. Dia membuka lemari pendingin dan mengambil air din
Ramdan mendengkus kesal sebelum beranjak ke pintu. Dia menatap sekilas Elea sebelum menutup pintu. Lalu, kembali ke ranjang dan hendak merebah, tetapi suara gedoran di pintu membuatnya urung. Dia mendengkus kesal sebelum kembali ke pintu dan membukanya.“Beraninya kamu menutup pintu di depan mukaku, Ramdan!”Ramdan menghela napas panjang sebelum berkata. “Terus mau Mbak apa? Haruskah saya membiarkan orang lain menikmati tubuh saya saat ganti baju?”“Siapa bilang aku menikmatinya? Aku cuma ... aku cuma enggak sengaja lewat dan kebetulan aja lihat kamu ganti baju!”Ramdan terkekeh dalam hati kala melihat rona merah tergambar di kedua pipi Elea. Dia menyeringai dan sengaja meregangkan tangan ke belakang agar terlihat lekuk dadanya. Dia kembali menyeringai ketika melihat wanita di depannya menelan ludah dengan susah payah. Ramdan menunduk dan mendekatkan wajah, berusaha menggoda sang istri.“Apakah Evan sudah tidak menggoda lagi sekarang? Apakah lebih menggoda suami Mbak ini?”Ramda
“Mau ke mana dia?” tanya Harsa bermonolog. Lalu, menghela napas sebelum menyuruh Ramdan untuk mengikuti.Ramdan perlahan mengikuti mobil Evan yang berbelok ke sebuah restoran. Dia berhenti tepat di samping mobil pria itu dan segera keluar, membukakan pintu untuk Harsa. Ramdan melirik dan melihat sang istri keluar dari mobil Evan sambil mengulas senyum sebelum mendekati Evan dan menggelayut manja di lengannya.“Pa, kebetulan ketemu di sini. Ada perlu di sini juga?” tanya Elea sambil melirik Ramdan sekilas sebelum kembali menatap Evan.“Papa ke sini mau jemput kamu pulang, El.”Harsa menarik pergelangan tangan Elea sambil menatapnya tajam. Namun, wanita itu segera melepaskan kasar tangan sang ayah. “Apa! Elea enggak salah denger, kan, Pa? Papa nyuruh Elea pulang sama Papa, enggak salah?”“Enggak, El! Papa berkata benar. Kamu pulang sama Papa sekarang juga! Ingat, kamu itu sudah me—“Elea mengacungkan telapak tangannya, bermaksud menyela ucapan Harsa. Lalu, menatap tajam sang aya
Elea bergeming, tetapi akhirnya mengangguk lemah. Ramdan segera duduk di tepi ranjang dan perlahan membersihkan luka yang ada di sudut bibir Elea sebelum mengoleskan salep luka. Untuk sesaat, Elea menatap lekat wajah Ramdan yang begitu dekat dengannya. “Jika diperhatikan, Ramdan bukan seperti sopir kebanyakan. Dia punya aura berbeda. Bahkan tubuhnya terlalu wangi untuk seharian berada di luar ruangan. Jika tak salah tebak, ini seperti bau parfum mahal keluaran rumah mode terkenal,” batin Elea sambil memejamkan mata.Ramdan mengulum senyum sebelum bangkit dari duduk. “Sudah selesai, Mbak. Saya permisi dulu.”Elea gelagapan dan segera membuka mata. Dia mengangguk sekilas sebelum menatap punggung Ramdan yang perlahan menjauh.Usai menutup pintu di belakangnya, Ramdan menyeringai. Lalu, menunduk dalam sebelum tersenyum tipis. Setelahnya, dia berjalan menuju kamar untuk merebah.Keesokan harinya, Ramdan terjaga saat mencium bau gosong. Dia segera melompat dari ranjang dan membuka pin
Elea bergeming sesaat begitu tiba di depan area pemakaman. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menatap Ramdan."Kamu mau temani aku lagi, kan, Ramdan?""Kamu mau bertemu siapa di tempat seperti ini, Elea?"Elea tersenyum sekilas sebelum mengeluarkan sebuah foto dari dalam tas selempangnya. Lalu, menyerahkan foto itu kepada Ramdan. Pria itu mengernyit heran sebelum menatap istrinya."Ini siapa, Elea?""Dialah ibu kandungku, Ramdan. Kumala Permatasari, wanita kedua yang hadir dalam pernikahan Papa dan Mama. Aku tahu Ibu dimakamkan di sini setelah membaca buku Mama. Aku juga menemukan foto itu dalam bukunya."Elea menunduk dalam sambil menghela napas panjang. Lalu, kembali menatap Ramdan dan melanjutkan ucapannya. "Benar kata Mama, wajahku sama dengan Ibu. Makanya Mama sangat membenciku karena selalu mengingatkannya pada Ibu."Ramdan mengusap lembut bahu sang istri sebelum merengkuh dan mengecup keningnya. "Semuanya sudah berlalu, Elea. Yang terpenting sekarang
"Ada apa, Ramdan? Kenapa kamu menatapku begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"Berondongan pertanyaan dari Elea membuat Ramdan kelu. Dia membelokkan mobil dan kembali menuju kediaman Ramlan."Tunggu di sini, Elea. Biar aku titipkan Aldrin sebentar ke Mama.""Tapi, ada apa, Ramdan? Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"Ramdan bungkam dan segera mengambil Aldrin sebelum membawanya masuk ke rumah. Usai menyerahkan sang anak kepada Alina dan menceritakan apa yang terjadi, Ramdan kembali menuju mobil. Lalu, tergesa melajukannya menuju suatu tempat. Selama perjalanan, dia hanya bungkam meskipun Elea terus mendesaknya untuk berbicara.Mobil berhenti di depan bangunan yang mengingatkan Elea dengan kepergian Dina. Dia mematung di tempat duduk sebelum menatap Ramdan penuh tanya. "Sebenarnya ini ada apa, Ramdan? Kenapa kamu bawa aku ke sini? Siapa yang sakit?"Ramdan menghela napas panjang sebelum menggenggam erat jemari sang istri. Dia kembali menghela napas dan memegang kedua lengan Elea sebe
Elea mematut diri di cermin. Dia mengulas senyum sambil menelisik penampilan dirinya. Gaun hitam berlengan pendek dengan rok sedikit mengembang sebatas lutut itu tampak pas membungkus tubuhnya. Dia berbalik dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin.Sementara itu, Ramdan yang sejak tadi menatap dari sofa sambil memangku Aldrin hanya mampu menggeleng lemah melihat sikap istrinya."Mau sampai kapan kamu berdiri di depan cermin, Elea? Kita sudah hampir telat.""Maafkan aku, Ramdan. Aku cuma tidak pede bertemu dengan keluargamu. Makanya aku harus totalitas dan mempersiapkan semuanya.Ramdan terkekeh sambil bangkit dari duduk. Dia mendekati Elea dan memeluk pinggangnya. Lalu, menyematkan kecupan di pipinya sebelum menatap Aldrin yang melihatnya."Lihat, Nak. Mama kamu sekarang jadi genit. Haruskah Papa memberinya hukuman nanti?"Aldrin tersenyum tipis sehingga membuat Ramdan dan Elea tergelak. Elea berbalik dan merapatkan tubuhnya kepada sang suami, kemudian membisikkan kalimat."Aku
Teruntuk Elea, Satu nama yang sangat aku sayang, tetapi juga sangat aku benci. Setiap kali melihat wajahnya, aku selalu teringat akan sosok Kumala Permatasari, wanita lugu dan polos yang aku kenal baik, tetapi malah menusukku dari belakang. Aku membencinya sama seperti membenci ibunya.Ingin rasanya memutar waktu dan menolak kehadiran Kumala di dekat Harsa, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa pasrah, apa lagi saat pria tua itu memintaku untuk merawat anak mereka. Ingin berontak, tapi aku bisa apa?Namanya Elea. Dia sebenarnya anak yang cantik dan baik, tapi entah mengapa setiap kali dekat dengannya, hanya ada kebencian dalam dada. Perlahan aku menutup mata atas semua perbuatannya. Aku tak peduli dengannya sehingga membuatnya jadi seorang pembangkang hanya untuk menarik perhatian. Amarah dan kecewa sudah terlanjur tertanam dalam dada, sehingga aku memutuskan untuk pergi dari rumah.Elea, maafkan Mama. Pernah pada satu titik, di mana kamu terjatuh dari tangga tempo hari. Mama
Elea gelisah duduk di samping kemudi. Dia meremas kuat jemarinya sebelum melirik Ramdan. Berita yang dibawa pria itu mau tidak mau menyentak hatinya. Dia makin gelisah di tempat duduk saat melihat jalanan yang padat."Bisakah kita cari jalan lain, Ramdan?""Tenang, Elea. Mereka pasti menunggu kita.""Tapi aku tak akan bisa tenang sebelum melihatnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Ramdan?"Ramdan meraih jemari Elea dan menggenggamnya erat, kemudian mengecupnya. Dia menoleh dan mengusap kepala sang istri, berusaha untuk menenangkannya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, jalanan mulai terurai. Ramdan menekan pedal gas dan melajukan mobilnya menuju suatu tempat. Setibanya di sana, Elea segera turun dan berlari menyusuri lorong sebelum tiba di suatu ruangan.Elea bergeming sesaat ketika menatap ruangan di depannya. Sepi yang melingkupi ruangan itu makin menambah hawa dingin yang terasa. Dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian tangannya terulur untuk
Ramdan segera menyerahkan Aldrin kepada Elea sebelum menghampiri pintu. Lalu, menarik pergelangan tangan Aleta agar menjauhi kamar. Dia juga menatap Alina dan Ramlan bergantian sebelum kembali memaku pandangan kepada adiknya."Apa yang kalian lakukan di sini?""Aku tahu wanita pembohong itu sudah kembali, makanya aku minta diantar Mama sama Papa ke sini." Aleta berdecih sambil menatap Ramdan yang hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. "Cuma gara-gara pangkal paha, kamu berani memaafkannya, Kak?""Aleta! Jaga ucapan kamu! Mau sampai kapan kamu membenci Elea? Dia juga berbohong karena diancam.""Persetan dengan semua ucapanmu, Kak! Bagiku sekali pembohong tetaplah pembohong. Aku sangat membencinya!"Kompak, keempat orang itu menoleh saat mendengar pintu dibuka. Melihat Elea keluar sambil menggendong Aldrin, senyum terkembang di bibir Alina dan Ramlan."Cucu kita, Ma," ucap Ramlan sambil mendekati Elea. "Mirip sama Akhtar waktu bayi."Alina mengangguk setuju dengan ucapan sua
Ramdan menatap lekat Aleta yang berdiri di ujung anak tangga teratas dengan dipapah Alina. Sedetik kemudian, Ramdan mendesah lirih dan memilih keluar rumah, mengabaikan kalimat permohonan yang dilontarkan sang adik. Dia meneruskan langkah menuju mobil dan melajukannya meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, kalimat Aleta terus terngiang di kepala."Aku akan datang untuk bersaksi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah menyuruhku untuk berhenti, setelah memintaku untuk memulainya."Ramdan kembali mengulang ucapan itu sambil sesekali memijat pelan pangkal hidungnya. Dia mendesah lirih setelah mengetahui maksud dari perkataan Aleta. Tak ingin ambil pusing dengan permintaan sang adik, Ramdan menggeleng kuat dan segera melajukan mobilnya menuju kediaman Harsa. Ramdan bergegas turun dari mobil dan berjalan tergesa memasuki rumah. Dia segera menaiki tangga ketika mendengar suara tangis Aldrin terdengar. Saat membuka pintu, dia hanya mendapati sang anak yang menangis di ranjang, sedangkan
Ramdan melajukan mobilnya keluar dari rumah Harsa. Dia mengumbar senyum sepanjang perjalanan saat membayangkan orang tuanya mengetahui bahwa sang cucu yang diketahui sudah meninggal, ternyata masih hidup. Ramdan menekan pedal gas kuat agar segera sampai di rumahnya.Ramdan bergegas memasuki rumah saat melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di garasi. Dia menaiki tangga dengan tergesa saat mendengar sayup suara dari lantai atas. Langkah membawanya menuju kamar Aleta, tetapi dia bergeming di depan pintu saat mendengar percakapan ketiganya. Ramdan menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang dibicaraka Aleta dan orang tuanya."Papa dengar kasus kamu mau dibuka kembali, Aleta. Sekarang saatnya kamu untuk beberkan semua fakta karena pasti Akhtar tak main-main dengan bukti yang dia kumpulkan selama ini."Aleta menoleh ke arah Ramlan sebelum menggeleng lemah. "Enggak, Pa. Aleta enggak sanggup beberkan semua cerita pilu itu.""Tapi, ini harus, Sayang. Mau sampai kapan kamu begini terus
Ramdan bergeming saat melihat bayi berusia sekitar 3 bulan ada dalam gendongan seorang wanita. Ramdan mengerjap pelan sebelum menoleh kepada Elea. Namun, belum sempat membuka kata, wanita itu masuk. Lalu, menghampiri ranjang dan menyerahkan sang bayi kepada Elea.Ramdan masih bergeming. Namun, dia segera tersadar dan bergegas menghampiri Elea. Dia menggeleng lemah dan mendesah lirih saat tangan bayi itu dicium Elea. Ramdan mengernyit heran dan mengempaskan tubuhnya di tepi ranjang. Dia menatap lekat bayi itu sebelum beralih menatap istrinya."Dia ....""Aldrin Elraja Alaydrus."Ramdan menatap tak percaya Elea yang tersenyum kepadanya. Tangannya terulur mengusap kepala bayi yang ada di gendongan sang istri. Seulas senyum tipis tersemat di bibirnya."Benarkah dia ...."Ramdan menunjuk dirinya sendiri. Dia tak sanggup meneruskan ucapannya karena rasa haru yang menyeruak. Tiga bulan yang lalu saat mendengar sang anak akhirnya meninggal, hatinya hancur. Dunia runtuh bahkan nyaris hilang ka