Pesona Suami Kedua
Oleh : Delly Rain FelloKeenan berbaring di sofa dengan kondisi lesu serta tangan dan kepala diperban. Khanza duduk di dekat Keenan mengelap wajah Keenan cemas. Mereka saling bertatapan.
Keenan kesakitan megangin wajahnya yang luka.“Aaaauuuw!”
Khanza tampak cemas. “Eh, maaf. Sakit ya, Mas Keenan?”
Keenan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Enggak, kok.”Khanza lalu memberikan obat dan segelas minuman ke Keenan.
“Minum dulu obatnya, Mas biar cepat sembuh. Mas sih naik motornya sambil melamun.”
Keenan tersenyum. “Siap, Bu Dokter.”
Diam-diam Ida memperhatikan Keenan dan Khanza terharu.
Khanza mengupaskan apel kemudian menyulangi Keenan. Keenan jadi terharu dan memandang Khanza dengan rasa bersalah. Matanya berkaca-kaca.Apa yang sudah saya lakukan? Khanza wanita yang sangat baik. Saya tidak tega jika harus menyakitinya, batin Keenan.
Khanza tersenyum sama Keenan. Keenan buru-buru malingkan wajah, diam-diam menyeka air matanya, lalu balas tersenyum ke Khanza.***
Keenan masuk kerja dengan keadaan tangan diperban. Beberapa teman kerja menanyainya, tapi Keenan cuma tersenyum dan bercanda ringan dengan mereka kalau dia mau nostalgia kebut-kebutan di jalan seperti zaman SMA dulu.
Roman mendatangi Keenan.
“Gimana keadaan kamu, Nan?”“Alhamdulillah udah agak baikan.”
Roman mengangguk dan tampak berpikir. “Ada yang ingin aku bicarain sama kamu, Keenan. Tentang Khanza ... gimana Khanza?”
Deg! Keenan mendadak gugup. Roman menatapnya curiga.
“B ... baik. Khanza baik-baik aja. Tapi, Roman, apa gak sebaiknya kita batalin aja rencana itu? Beneran aku gak tega sama Khanza.”“Jangan bilang kalau kamu mau ingkar janji. Kamu masih ingat ‘kan perjanjian kita?”
Keenan tercekat. Termenung sejenak membayangkan wajah Khanza yang cantik dan perhatian Khanza padanya, tapi kemudian tersadar.
“Bukan gitu, Man. Aku cuma bingung gimana kalau Khanza sakit hati ....”
“Nggak bakalan Khanza sakit hati. Justru dia pasti senang karena kami bisa rujuk kembali. Hanya kamu satu-satunya yang bisa bantu biar kami bersatu lagi, Nan.” Roman menepuk bahu Keenan dan menatapnya yakin.
“Okay. Yaudah aku balik dulu ke ruanganku,” kata Roman lalu pergi ninggalin Keenan yang kelihatan bingung. Wajah Khanza masih terbayang dalam ingatan Keenan.
***
Siang itu di kafe, Keenan janji ketemuan dengan Mila. Mereka duduk di salah satu meja. Keduanya tampak galau. Ada dua minuman di depan mereka, tapi keduanya tampak tak berselera dan melamun.
“Kenapa Mas Keenan sekarang berubah? Mas Keenan nggak sayang sama Mila seperti dulu lagi.”
“Bukan gitu, Mila.”
“Apa ini karena pertunangan Mas Keenan?”
Keenan kaget dengar perkataan Mila. “Ka ... kamu udah tahu?”
Mila tiba-tiba berkaca-kaca. “Mila udah tahu semuanya, Mas. Mila nggak nyangka Mas setega ini khianatin Mila. Mas jahat!” Mila bangkit dari kursi mau ninggalin Keenan, tapi Keenan buru-buru mengejarnya.
“La, dengar dulu penjelasan aku ....”
“Nggak perlu, Mas. Mila udah tahu kalau Mas Keenan sebenarnya bertuanganan sama dokter itu karena dia punya uang banyak ‘kan?”
Keenan tercekat. “Kamu nggak ngerti, Mila. Saya lakuin ini semua demi ibu.”
Keenan dan Mila saling bertatapan penuh emosi. Tepat saat itu sebuah mobil mewah berhenti di seberang jalan. Mila melirik ke arah mobil.
“Mila harus pergi, Mas. Seseorang udah menunggu Mila.”
Keenan jadi bingung dan ikutin arah pandangan Mila, ngelihat mobil mewah. “Seseorang? Siapa dia, La?”Mila cuma menggeleng lalu pergi dengan sedih menuju mobil. Sementara Keenan memandangi galau kepergian Mila yang masuk ke dalam mobil sedan hitam dan pergi.
***
Khanza sedang bersama pasien anak perempuan yang lagi cemberut di koridor. Keenan perhatikan Khanza terpesona.
“Mira jangan takut, ya. Kalau rajin minum obat pasti nanti cepat sembuh.”Anak perempuan itu seperti mau menangis. “Tapi Mira takut disuntik, Bu Dokter.”
Khanza memeluk anak perempuan itu lembut lalu membelai kepalanya. “Ah, enggak, kok, sayang. Nggak disuntik. Cuma minum obat aja.”
Anak perempuan jadi senang. “Beneran Mira nggak disuntik?”
Khanza mengangguk dan tersenyum. Anak perempuan melonjak kesenangan dan masuk ke dalam ruangan. Keenan datangin Khanza sambil bawa bunga. Khanza langsung kaget lihat Keenan datang.
“Lho? Mas Keenan udah lama ada di sini?”
“Iya. Lumayan lama lihat pemandangan yang indah, seorang dokter cantik lagi nenangin pasiennya.” Keenan memberikan bunga ke Khanza. “Ini buat kamu.”
Khanza tersipu malu sambil nerima bunga dari Keenan. Sementara Roman dari jauh diam-diam perhatikan Keenan dan Khanza cemburu dan geram.
Keenan dan Khanza saling membalas senyum dan berpandagan.
***
Keenan lagi jalan sendirian sambil senyam-senyum mengingat Khanza. Wajahnya berseri-seri.
“Kenapa aku jadi keingat sama Khanza terus, ya? Aneh banget,” Keenan bicara sendiri. Tiba-tiba datang mobil Roman menyalip jalannya. Keenan kaget lihat Roman turun dari mobil dan dekatin dia dengan wajah emosi.
“Apa maksud kamu bersikap mesra sama Khanza seperti itu? Kamu mau melanggar perjanjian?”
Keenan seketika kaget. Kemudian tersenyum, tampak mantap sama sesuatu yang dipikirkannya.
“Roman, maaf, sepertinya aku nggak bisa nerusin rencana kamu. Khanza adalah wanita yang sangat baik dan aku nggak mau menyakiti dia.”
Roman menggertakkan gigi saking geramnya dan langsung meninju wajah Keenan. Keenan tersungkur jatuh.
“Berani macam-macam kamu, aku akan tuntut kamu. Jangan lupa kalau kamu udah nerima uang dari aku buat jadi muhalil,” seru Roman.
Keenan pelan-pelan bangkit berdiri sambil megangin wajahnya yang biram. Memandang Roman yang balas memandangnya penuh emosi.
“Saya nggak peduli. Saya tetap nggak mau nyakitin Khanza, karena saya juga punya adik perempuan. Saya janji akan kembalikan uang kamu, Roman.”
“Banyak omong kamu!”
Roman langsung menghajar Keenan lagi, meninju perut Keenan. Roman menarik kerah baju Keenan dan memepetkannya di tembok. Keenan diam tak mau membalas dengan wajah penuh penyesalan. Tak lama warga datang dan memisahkan Keenan dan Roman.
***
Setelah dilerai warga, terpaksa Roman memilih pergi meninggalkan Keenan. Roman mengendarai mobil dengan ekspresi penuh kemarahan. Berulang kali memukul dasbor emosi. Roman terbayang kembali kedekatan Keenan dan Khanza di rumah sakit tadi.
Roman berteriak emosi. “Aaaargh! Pembohong kamu, Keenan!”
Roman melajukan mobil dengan kencang. Beberapa kali banting setir menghindari kendaraaan di depannya, masuk ke jalanan sunyi.
Tak lama dua buah motor yang dikendarai preman menguntitnya di kanan kiri, berusaha memepet Roman. Roman lirik preman gak senang dan membunyikan klakson, tapi preman tidak peduli dan menyalip mobil Roman. Roman injak rem, hentikan mobil. Roman turun dari mobil dan nyamperin para preman.
“Wooooi! Apa-apaan lu? Cari gara-gara!”
Para preman menatap Roman sangar, perhatikan Roman dari atas ke bawah. Saling lirik, mengangguk, dan tersenyum licik.“Sasaran empuk nih, Bray,” ujar preman.
“Udah hajar aja,” sahut preman yang satunya.
Kedua preman turun dari motor dan langsung mengarahkan tinju ke Roman. Roman berhasil mengelak. Tapi preman yang lain memiting Roman dari belakang. Roman berusaha melepaskan diri tapi gagal. Preman 1 ngeluarin pisau dari sakunya dan langsung nyerang Roman.“Whooooa!”
Roman mengerang kesakitan, jatuh tersungkur. Sementara para preman tertawa dan mengambil dompetnyam dan seketika senang lihat uang Roman.
Preman melirik temannya. “Kita habisin aja nih orang. Ambil mobilnya.”
Preman narik Roman mau hajar lagi. Tiba-tiba seseorang datang mendorong preman dari Roman. Para preman kaget lihat seorang pria paruh baya di depan mereka pasang kuda-kuda siap menyerang. Sementara Roman jatuh tersungkur lagi kesakitan.
“Heh, perampok, Ayo hadapi gua! Zainuddin, jawara silat!” seru pria itu.
Para preman geram dan nyerang Zainuddin, tapi dengan tangkas Zainuddin mengelak dengan jurus betawinya.
Zainuddin berhasil menghajar kedua preman hingga babak belur. Perlahan-lahan pandangan Roman jadi gelap. Roman pingsan.***
Malam itu Ida dan Hani duduk ngobrol di ruang tamu sambil nonton tivi. Tak lama Keenan masuk dengan wajah bonyok dan terluka.
“Assalamualaikum.” Keenan memberi salam.
Ida dan Hani kaget lihat Keenan dan saling lirik bingung.“Waalaikumsalam,” sahut Ida dan Hani bersamaan.
Ida dan Hani langsung panik dan datangin Keenan. Ida mau pegang wajah Keenan, tapi Keenan buru-buru sembunyiin wajahnya.
“Masyaallah... kamu kenapa, Nak?” kata Ida.
Keenan gugup. “Ah, enggak apa-apa, Bu. Tadi Keenan nggak sengaja jatuh nyungsep.”
“Jatuh? Tapi kok kayak dipukulin gitu?” tanya Ida sangsi.
“Nggak, kok, Bu. Beneran tadi jalan gak lihat-lihat jadi jatuh. Ya udah Keenan masuk dulu ya ke kamar.” Keenan berlalu pergi masuk ke kamarnya. Ida dan Hani jadi curiga.
***
Keenan duduk melamun di tepian ranjang mandangin foto Khanza mengenakan seragam dokternya sambil megangin pipinya kesakitan. Hani masuk ke kamar. Keenan buru-buru bersikap biasa, gak megangin pipi lagi.
Hani dekatin Keenan dan mandang Keenan curiga. “Sebenarnya Mas Keenan kenapa? Nggak mungkin Mas Keenan jatuh sampai kayak gitu? Mas Keenan berantem?”
Keenan menghela napas berat. Tampak gelisah. Hani melirik foto Khanza. Keenan melirik ke luar dari arah pintu cemas. “Ssssst! Nanti kalau ibu dengar nanti jadi khawatir.”
Hani duduk di samping Keenan. “Apa ini ada hubungannya dengan Khanza dan uang pinjaman yang berhasil Mas Keenan dapat kemarin?”
Deg! Keenan tercekap, jadi gugup tidak mau lihat Hani.
“Dari awal Hani udah ngerasa pasti ada yang ga beres. Mas Keenan jangan simpan semuanya sendiri. Jika ini ada hubungannya dengan Ibu dan Mas Keenan, Hani berhak tahu, Mas.”
Keenan terdiam sejenak, berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu. Lalu memadang Hani serius.
“Sebenarnya Mas terlibat perjanjian dengan Pak Roman, atasannya Mas untuk mendekati dan menikahi Khanza agar Pak Roman bisa rujuk kembali dengan Khanza. Dan imbalannya... uang lima puluh juta itu.”
Hani kaget bukan main. Langsung terpukul.
“Astaghfirullah ... jadi Mbak Khanza itu mantan istrinya Mas Roman?”Keenan mengangguk murung.
"Mas Keenan tahu apa yang Mas lakukan itu salah? Pernikahan seperti itu haram hukumnya. Dan Khanza juga adalah wanita baik-baik."
Keenan termenung sedih. “Mas juga nggak tega ngelakuin ini semua, Han. Makanya tadi Mas bilang ke Pak Roman untuk batalin rencana itu, tapi Pak Roman marah dan mau nuntut Mas.”
Hani menarik napas berat. “Sabar, ya, Mas Keenan. Hani yakin Mas pasti bisa melewati ini semua. Dan yang terpenting sekarang Ibu gak boleh sampai tahu tentang ini. Kemarin saja saat Ibu tahu bapak mau datang lagi, Ibu kena serangan jantung.”
Keenan kaget dengar perkataan Hani dan mandangin Hani bingung. Hani sendiri jadi gugup, nutupin mulutnya karena keceplosan.
“Apa kamu bilang? Bapak mau balik lagi?”
“Iya, Mas. Kemarin Bapak nemuin Ibu dan yakinin kalau dia udah bertaubat, nggak mabuk-mabukan lagi kayak dulu. Tapi Ibu masih sakit hati dan shock.”
Keenan memejamkan mata muram. Hani menepuk bahu Keenan berusaha menghibur.
“Tapi Hani jadi kepikiran sama Mila. Kasihan banget Mila kalau sampai tahu hal ini.”
“Udah terlambat, Han. Mila udah tahu. Mas udah jahat banget sama Mila.” Keenan semakin terpuruk sedih.
***
Di sebuah ruang rawat rumah sakit, Roman yang terbaring di ranjang baru saja siuman. Roman bingung mandang sekelilingnya dan meringis kesakitan megangin perutnya mau bangkit. Tak lama seorang suster datang dan menahannya bangkit.
“Sebaiknya Bapak jangan banyak bergerak dulu. Luka di perut Bapak belum sembuh,” kata suster.
“Sus, sebenarnya apa yang terjadi sama saya?”
Suster memandang Roman prihatin. “Bapak mengalami perampokan di jalan dan dapat luka tusukan di perut. Untung saja seorang uztad menolong dan membawa Pak Roman ke rumah sakit.”Roman termenung, mulai ingat. Samar-samar kilasan Zainuddin yang menolongnya terbayang kembali. Tak lama Zainuddin masuk ke dalam ruangan, tersenyum sama Roman. Roman berusaha bangkit lagi, terharu lihat Zainuddin.
Roman terharu. “Terima kasih banyak karena Bapak telah menyelamatkan nyawa saya. Kalau tidak ada Bapak mungkin saya sudah nggak ada di sini.”
Roman segera memeluk Zainuddin penuh syukur. Zainuddin mengelus bahu Roman.
“Berterima kasihlah kepada Allah yang telah melindungi kita semua, Nak.”
Roman mengucap syukur, penuh haru. Kondisinya masih lemah dan hanya bisa terbaring memejamkan mata.
Tepat saat itu, Keenan yang mau jenguk Roman langkahnya tertahan di pintu begitu lihat Zainuddin ada di dekat Roman.
Keenan memandang Zainuddin penuh kebencian. “Kenapa dia ada di situ?”Keenan tidak sengaja jatuhkan plastik buahan di tangannya. Buah-buahan jatuh berserakan di lantai. Seketika Zainuddin langsung berpaling ke arah Keenan.
“Keenan?” Zainuddin kaget lihat Keenan.
Keenan dengan muka marah langsung pergi. Zainuddin cepat-cepat menyusul Keenan.
Zainuddin menarik Keenan yang jalan buru-buru dengan wajah emosi. Keenan segera menepis tangan Zainuddin.
“Kamu mau ke mana Keenan?”“Keenan mau ke mana itu bukan urusan Bapak. Dan satu hal lagi yang perlu Bapak ingat, Bapak jangan pernah lagi nyakitin Ibu.”
Zainuddin jadi sedih, airmatanya berlinang sambil menatap Keenan sendu.
“Maafin Bapak, Keenan. Maafin karena Bapak selama ini udah banyak nyakitin keluarga kita. Tapi Bapak sudah bertaubat, Nak. Bapak sudah tinggalkan dunia hitam.”
Keenan tertawa sinis ngelihatin penampilan Zainuddin yang alim. “Alhamdulillah kalau menurut Bapak, Bapak udah berubah. Tapi rasa sakit hati Ibu dan aku nggak akan semudah itu hilang.”
Keenan pun pergi ninggalin Zainuddin yang melamun sedih.
***
Keenan dan Mila sedang bicara serius di sebuah taman. Keenan kelihatan gelisah dan tidak nyaman bahkan enggan menatap wajah Mila. Itu semua karena rasa bersalah yang berkecamuk dalam dadanya. Sementara mata Mila sudah memerah menahan air mata.“ Mas Keenan kita nggak bisa gini terus. Mas Keenan nggak bisa gantung hubungan kita seperti ini terus. Mas Keenan harus melamar Mila secepatnya sebelum Mila melakukan sesuatu yang bakal Mas Keenan sesali seumur hidup,” ujar Mila.Keenan tercekat.“Mila, kamu tahu sendiri saat ini saya masih dalam keadaan sulit. Saya bingung harus bagaimana.”“Baik. Kalau Mas Keenan nggak mau menikahi Mila, Mila janji akan bikin hidup Mas nggak tenang untuk selamanya.”“Apa maksud kamu, Mila?”Keenan tampak bingung dan menahan Mila yang hendak pergi meninggalkannya dengan penuh emosi. Dari arah lain Khanza datang dan terkejut lihat Keenan dan Mila. Khanza menatap curiga bercampur cemburu.“Mas Keenan bingung apa karena dia?” tu
Pagi sekali Khanza terbangun karena suara lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Keenan. Khanza terbangun dengan mata sembap. Tak didapatinya Keenan di kamar. Segera Khanza teringat kejadian tadi malam. Penolakan Keenan. Hati Khanza terasa disayat sembilu. Sejenak dia mematut bayangannya di cermin. Apakah aku tak pantas untuk Mas Keenan? Apakah aku gak cantik? Khanza terus membatin sedih.Sementara lantunan ayat suci masih terus terdengar merdu. Arahnya dari ruang sholat. Khanza beristighfar dan mencoba sabar. Dia berpikir mungkin Keenan masih badmood karena memikirkan Roman, mantan suaminya.Khanza segera bangkit dan bergegas mandi. Segera mengambil mukena untuk bersiap sholat Subuh.Mereka bertemu pandang di ruang sholat. Ketika itu Keenan telah menyelesaikan tilawahnya. Keenan menunduk lagi dan itu membuat hati Khanza semakin sedih"Mas, apa salah Khanza? Mas marah sama saya?" Akhirnya Khanza tidak tahan
Keenan baru sampai ke rumah dan mendapati Khanza sudah tidak ada di rumah. Ada note tertempel di kulkas. Dari Khanza. Dia ada panggilan operasi. Keenan jadi tersadar suatu hal. Khanza masih sibuk dengan karirnya sebagai dokter, sedangkan dia saat ini menganggur. Roman sudah memecat Keenan.Keenan duduk terhenyak di kursi. Mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tidak mungkin dia tidak bekerja dan hanya berdiam diri di rumah. Tidak. Keenan harus tetap menjaga marwah sebagai laki-laki, terlebih saat ini dia punya istri. Pun, ibu dan adik perempuan yang harus ia jaga dengan baik. Keenan akan segera mencari pekerjaan baru.Rasa kantuk menghinggapi Keenan. Tak sadar ia tertidur di sofa. Sekitar satu jam kemudian, Keenan terbangun mendengar suara dentingan sendok beradu dengan gelas dari arah dapur.Tak lama Khanza muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuk Keenan. Khanza tersenyum dan memegang tangan Keenan. Hal itu malah membuat
Keenan menatap handphone-nya, berharap akan segera ada panggilan telepon dari suatu perusahaan untuk menerimanya bekerja. Namun, ini sudah sebulan berlalu. Tidak ada satu pun panggilan yang datang.Setiap malam Keenan mengerjakan sholat Tahajud berdoa agar ia segera diberi pekerjaan oleh Allah. Selama sebulan itu juga Khanza selalu menyemangatinya. Tak jarang Khanza menawari untuk meminta bantuan pada temannya, tapi Keenan merasa tidak enak pada Khanza. Takut nanti jadi omongan di antara teman-teman Khanza.Handphone Keenan siang itu berbunyi. Dengan penuh semangat, Keenan langsung angkat teleponnya. Nomor tidak dikenal."Halo," sapa Keenan tanpa bisa menyembunyikan nada penuh semangat."Halo, Bro. Ini gue Tedy," sahut suara dari ujung sana. Seketika Keenan merasa tubuhnya lemas. Hah! Baru saja ia mengira dapat panggilan kerja."Oh, lo, Ted," kata Keenan.Terdengar suara tawa Tedy dari ujung sana. "Napa lo, Bro? Kok gak sem
Gaes, sebelum baca, follow dulu dong. Mohon support-nya biar makin semangat nulis. Vote ya temans. Keenan berlari cepat dan menyambar tubuh Mila tepat sebelum gadis itu melompat dari jembatan. Mila langsung memberontak dan ingin melepaskan diri, masih berkeinginan untuk melompat."Mila! Kamu kenapa, Mila? Jangan gila, Mila!" seru Keenan panik.Mila menangis dan menatap Keenan frustrasi. "Biarin aku mati, Keenan! Udah gak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini!" seru Mila.Keenan bingung, berusaha menenangkan Mila. "Istighfar, Mila. Sebenarnya kamu kenapa? Masalah seberat apa pun, kita bicarakan baik-baik, ya," bujuk Keenan.Mila menangis tersedu-sedu dalam pelukan Keenan. Seketika Keenan jadi enggan teringat Mila bukan mahramnya. Namun, seberapa kuat dia
Teman-teman mohon support follow dan vote, ya. Biar makin semangat nulisnya.Khanza baru selesai mengoperasi pasien. Baru saja keluar dari ruang operasi masih berpakaian operasi lengkap dengan penutup kepala. Wajah cantiknya terlihat lelah dengan peluh bertitik-titik di dahinya. Sudah tiga pasien dari pagi ke siang itu ia tangani. Yang terakhir adalah anak kecil berusia enam tahun yang sakit jantung dan menjalani operasi pemasangan ring.Masih terbayang di benak Khanza wajah anak kecil itu saat sudah dibius. Begitu kecil dan lemah. Sebenarnya tak sampai hati melihat malaikat kecil mengidap penyakit yang membuatnya tak berdaya.Khanza mendadak pusing dan limbung. Tubuhnya miring hampir terjatuh kalau saja rekan dokter dan perawat tidak menangkap tubuh Khanza."Lho? Dokter Khanza kenapa? Mukanya pucat banget," kata Suster Bunga khawatir."Iya, nih. Kamu dari kemarin kok lemes terus, Za?" tanya Dokter Anna, sahabat Khanza.
Teman-teman, sebelum baca, jangan lupa vote. Yang ikutin cerita ini, follow ya sebagai bentuk support. Makasih. Keenan bingung bukan main bagaimana lagi caranya membujuk Khanza. Sudah dua hari Khanza menolak bertemu dengannya. Jangankan membiarkan Keenan masuk ke rumah, menatap wajah Keenan saja sang istri tak sudi.Sore itu sepulang kerja Keenan, hujan turun lebat. Apes. Keenan lupa bawa jas hujan. Jadilah ia basah kuyub dari kantor."Assalamualaikum, Za. Aku pulang," kata Keenan dengan suara bergetar kedinginan di teras rumah.Tidak ada sahutan. Keenan menarik napas berat dan memilih menunggu di bangku teras ditemani rintikan hujan yang semakin deras.-oOo-Khanza mual-mual dan berlari cepat ke toilet sebelum muntah di sembarang tempat. Perasaannya campur aduk. Jadi begini rasanya jadi wanita hamil? Baru saja ia tersenyum, tapi senyum itu langsung memudar ter
Hai! Keenan dan Khanza balik lagi. Sebelum baca, jangan lupa vote dan follow, ya. Makasih. Keenan duduk merenung di sudut ruangan masjid. Rambutnya masih basah bekas air wudhu. Ia baru saja selesai melaksanakan sholat Magrib dan berencana malam itu sebaiknya tidur di masjid saja. Sudah tiga hari dia meriang tidur di luar rumah. Gemuruh badai masih menguasai hati Khanza, sang istri.Duh, pingin banget makan rujak. Udah dicari ke sana kemari gak nemu 😢 mau keluar lagi, udah kecapekanItu WhatsApp story Khanza yang baru dibaca Keenan dari nomor lain yang tidak diketahui Khanza bahwa sebenarnya itu milik Keenan juga, karena nomor Keenan sudah diblokir. Segera saja Keenan mengirim pesan SMS pada Khanza menawarkan untuk membelikan rujak, tapi tidak ada jawaban. Dugaan Keenan, mungkin nomor ponselnya juga sudah diblok."Keras kepala," gumam Keenan lalu memakai jaketnya dan melangkah meninggalka
Di ruangan KUA itu Vino menunggu dengan jantung berdebar. Mila belum hadir.Orang tua Vino dan saksi duduk ikut menunggu. Beberapa mulai menebak jangan-jangan calon mempelai wanita berubah pikiran.Vino mulai gugup dan memikirkan hal buruk. Bukan gengsi. Sudah lama ia tidak memikirkan itu untuk mendapatkan Mila. Ia hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan. Bisa bersatu dengan Mila dan anaknya Endaru, meskipun mungkin Mila belum mencintainya."Assalamualaikum. Maaf, saya terlambat," ujar suara lembut yang langsung dikenali Vino.Terdengar suara orang-orang di ruangan menyahuti salam.Dengan sigap Vino bangkit berdiri menyambut Mila yang baru tiba memasuki ruangan tempat ijab qabul akan dilaksanakan. Seperti mimpi. Mila benar-benar ada di hadapan Vino terlihat sederhana, tapi sangat cantik. Ia mengenakan gaun putih panjangnya di bawah lutut dengan detail brokat pada bagian leher dan lengan. Sepatu balet putih melekat di kaki
Sepulang dari Bali, kehidupan Keenan dan Khanza semakin bahagia. Keenan setiap hari saat di kantor merindukan Khanza dan ingin cepat bertemu. Khanza pun harus bersusah payah berkonsentrasi dengan pekerjaannya sambil mengingat Keenan.Seorang pasien, ibu berusia enam puluh tahun, akan menjalani operasi pagi ini. Operasi besar. Bukan sekadar pemasangan klep jantung.Khanza jadi teringat dengan Bu Ida, mertuanya. Awal mula ia mengenal Keenan adalah saat ia mengoperasi Bu Ida. Ia memang tidak tahu menahu rencana awal Keenan dan mantan suaminya, Roman. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya Keenan adalah jodoh terbaik untuknya."Saya nggak mau dioperasi. Biarin saya mati aja," celetuk ibu itu terlihat lesu dan stress."Bu, jangan ngomong begitu. Dosa, Bu," ujar anak perempuannya kesal. Kelihatan sekali sudah lelah fisik maupun batin."Nggak mau. Buat apa hidup kalau abangmu nggak mau nurutin Ibu?" kata si ibu lagi.
Khanza memindahkan pakaian dari koper ke lemari di kamar hotel. Senyumnya merekah saat memegang lingerie merah muda dan piyama tipis berwarna hijau soft. Ia sendiri yang menyiapkan busana seksi itu untuk menghabiskan malam-malam indah bersama Keenan di Bali.Mereka memutuskan pergi berbulan madu. Altan yang sudah berusia dua tahun dititipkan bersama nenek dan tantenya. Hanya tiga hari waktu yang akan mereka lewati di Bali karena Altan tidak mau ditinggal lama oleh mama dan papanya. Khanza juga tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pasien membutuhkan pertolongannya.Napas lembut Keenan menderu di leher Khanza. Diam-diam Keenan mengendap ke kamar dan mendekati Khanza."Sayang," bisik Keenan di telinga Khanza. "Kenapa nggak dipakai ini?" Keenan meraih lingerie di tangan Khanza.Khanza terkikik geli dan menyembunyikan lingerie dari Keenan."Ini kan surprise buat malam. Kamu jangan lihat, Mas." Khanza dengan manja mendorong Keenan.
Beberapa waktu telah berlalu. Sejak menikah dengan Vino, Mila sudah pergi dari rumah Bu Ida membawa Endaru.Seperti janji Mila, ia tetap mengirimkan ASIP untuk Altan, karena kondisi Altan membaik. Sudah mau dibujuk minum dengan dot oleh Keenan.Terbukti kekhawatiran Khanza selama ini bisa diatasi. Harus sabar dan kuat. Memang sulit, tapi jika percaya dengan kekuatan doa, semua akan selesai dengan baik.Khanza mulai tenang dan semakin sabar. Walaupun belum sembuh, masih lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa, keluarga di sekeliling Khanza tidak pernah meninggalkannya. Terutama Keenan selalu men-support-nya.Seperti hari ini, Khanza sudah mulai bisa menggerakkan telapak kakinya. Keenan teramat senang. Berulangkali dia mencium Khanza atas kemajuan itu."Alhamdulillah. Yakin sebentar lagi bisa jalan. Bismillah, Sayang," ucap Keenan menyemangati Khanza.Khanza tersenyum. "Aamii
Khanza masuk ke kamar Mila. Mila inisiatif menutup pintu kamar, karena Khanza ingin bicara padanya dari hati ke hati.Tidak ada senyuman di wajah Khanza. Hanya kemuraman. Begitu Mbak ART meninggalkan Khanza dan Mila berdua saja, mereka lama terdiam. Khanza tampak sulit memilih kata-kata."Mbak, doain aja ya biar pernikahanku lancar," ujar Mila memulai pembicaraan.Khanza menatap Mila penuh arti. "Tapi kenapa, Mila?"Mila tersenyum. "Aku juga ingin Endaru bahagia, Mbak. Vino menyayangi Endaru.""Lalu bagaimana dengan kamu?" Khanza menatap Mila tajam.Mila membuang pandangan. Ada kegetiran tergambar di wajahnya. Dijelaskan juga mungkin tidak akan ada yang mengerti. Itu yang dipikirkan Mila.Berat bagi Mila untuk menerima Vino. Seorang korban perkosaaan jarang menerima pemerkosanya sebagai pasangan. Namun, Mila punya alasan lain. Vino memang sudah berbuat jah
Mila duduk melamun di kamar tamu, tempat di mana ia menetap selama tinggal di rumah Khanza dan Keenan. Endaru dan Altan keduanya sedang bermain dengan anggota keluarga yang lain.Pikiran Mila sendiri jadi tidak menentu. Makan pun jadi tidak enak. Suasana saat ini benar-benar tidak nyaman bagi Mila. Setiap kali Mila berpapasan dengan Khanza, wanita itu pasti bertanya apa keputusannya.Masalahnya, menikah dengan lelaki beristri bukan perkara mudah. Meskipun Keenan adalah laki-laki yang dicintai Mila, bahkan hingga saat ini, tapi Mila bukan tipe wanita yang sanggup menjadi madu."Pikirkan Endaru, Mila. Kami berjanji, kalau kamu mau menikah sama Mas Keenan, Endaru akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Altan. Endaru juga akan diberikan pendidikan agama dan sekolah yang terbaik."Kata-kata Khanza itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Mila. Memang benar Keenan menyayangi anaknya. Namun ... setuju dipoligami?Keenan lewa
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak