Hai teman-teman kasi vote ya jangan lupa buat yang suka cerita romantis. Pernikahan yang tak disangka.
Keenan jalan melewati sebuah panti asuhan dan diam-diam mengamati mantan istri Roman yaitu, Khanza. Wanita itu menghadap belakang dan sedang bermain dengan anak-anak panti asuhan. Tawa riang anak-anak terdengar. Sesekali wanita itu menggendong anak-anak dan mengejar mereka bercanda ria.
Keenan mengingat kembali kata-kata yang baru disampaikan Roman barusan di telepon kepadanya.
“Kamu datang ke panti asuhan Sinar Mentari, di sana biasanya mantan istriku mengunjungi anak-anak panti. Kamu harus mengajak kenalan istriku dan mendekatinya terus.”
Kata-kata Roman terus terngiang di telinga Keenan. Lalu dengan memberanikan diri ia mulai melangkah menuju halaman panti asuhan. Tubuhnya bergetar karena bingung harus mengatakan apa pada wanita yang ingin ia nikahi. Bahkan ia belum mengenal wanita tersebut.
Tiba-tiba sebuah bola yang ditendang seorang anak melayang ke arah Keenan. Hup! Dengan sigap Keenan menangkap bola itu. Seorang anak laki-laki berpipi chubby mendekati Keenan.
Keenan menunduk dan tersenyum ke anak itu. “Ini bola kamu, ya? Nih, ambil. Hati-hati mainnya.” Keenan memberikan bola dan mencubit pelan pipi si anak.
Saat itu Khanza berbalik dan melihat anak berpipi chubby berada di dekat Keenan. Khanza segera menghampiri mereka.
“Mas Keenan?”
Keenan tak percaya dengan apa yang dilihat. “Khanza?”
Khanza tersenyum memandang Keenan. Sementara Keenan mulai hanyut dengan pikirannya. Ternyata mantan istri sahabatnya sendiri adalah Khanza.
Selama beberapa saat Keenan terpesona memandang senyuman manis Khanza. Wanita itu sangat cantik. Matanya bulat dan cerah, kulitnya putih dengan rona kemerahan di pipi, hidung mancung, dan penampilannya selalu manis dibalut gamis-gamis berwarna pastel.
“Mas Keenan lagi ngapain di sini?”
Keenan tersadar dari lamunannya dan sedikit gelagapan. “Ehm, tadi aku lihat anak-anak lagi pada main asyik banget, aku jadi tertarik datang ke sini,” jawab Keenan sekenannya.
“Mas juga suka anak-anak, ya?” tanya Khanza. Terlihat wajahnya semakin cerah.
“Iya, lihat wajah anak-anak perasaan sedih jadi sedikit terobati.”
Senyuman di wajah Khanza berganti dengan raut prihatin. Dia jadi ingat sesuatu. “Banyak-banyak sabar, ya, Mas. Doakan agar ibu cepat sembuh. Allah tidak akan memberikan cobaan melampaui kemampuan manusia untuk menanggungnya,” ujar Khanza.
“In Shaa Allah, Khanza. Aku akan berusaha sebisa mungkin agar Ibu sehat kembali,” kata Keenan. Sebenarnya dia malu pada dirinya sendiri. Seandainya saja Khanza tahu apa niatannya, entah wanita itu masih sudi atau tidak tersenyum padanya.
“Semoga operasi ibu besok lancar. Aamiin,” ucap Khanza.
Anak-anak lain ikut mendekati Keenan bersama bocah chubby. Keenan bercengkerama dengan salah satu anak kecil berpeci. Membopong anak itu dan membuatnya seolah terbang seperti superman.
“Oke, udah dulu mainnya anak-anak. Oh ya, siapa nanti yang mau Om ajari mengaji? Angkat tangan?”
Anak-anak panti menjawab kompak sambil angkat tangan. “Saya! Saya mau, Om!”
Khanza yang melihat itu tersipu. Sekaligus kagum sama Keenan. Keenan mendekat ke arahnya.
Keenan lalu mengajak anak-anak mengaji di teras panti sambil menceritakan kejadian Nabi Yunus dulu sewaktu ditelan ikan paus besar. Tak lupa Keenan membacakan ayat-ayat Al Quran. Anak-anak mendengarkan dengan saksama lalu mulai diajarkan Keenan mengaji.
Selama kegiatan itu berlangsung, Khanza tak hentinya menatap kagum Keenan. Sampai akhirnya Keenan usai mengajar mengaji dan anak-anak kembali bermain. Keenan kembali mendekati Khanza.“Mereka lucu-lucu. Aku suka anak-anak. Dulu pas mondok di pesantren, sempat mengajar mengaji anak-anak seusia mereka.”
“Wah, ternyata Mas lulusan pesantren, ya?”
“Iya, sempat, sih. Tapi nggak lama. Cuma waktu sekolah SMP aja. Terus lanjut SMA di sekolah umum,” jelas Keenan.
Khanza dan Keenan lalu terdiam. Keheningan merayapi mereka. Keduanya jadi malu dan sadar mereka tidak boleh berlama-lama berdekatan seperti itu.
“Hm, udah jam segini, Mas. Kayaknya kita kelamaan ngobrolnya jadi nggak sadar sebentar lagi azan Asar.”
“Iya,Khanza. Kalau begitu, aku pamit pulang. Ini juga mau ke rumah sakit urusin pelunasan biaya. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam warohmatullah. Hati-hati di jalan, Mas.”
Khanza tak percaya mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia pura-pura melihat asal ke arah tertentu, malu sendiri. Keenan menoleh dan tersenyum. Sambil tetap jalan. Khanza memandangi punggung pria itu sampai jauh.
***
Khanza selesai shift malam. Sudah ganti pakaian biasa. Khanza berjalan hendak ke ruangan ibu Keenan. Sampai pintu, Ia mengetuk dan ucap salam.
“Assalamualaikum.”
Keenan sedang memegang tangan ibunda, reflek menoleh ke sumber suara.
“Waalaikumsalam warohmatullah. Khanza. Kirain siapa.”
Khanza mendekat ke Keenan. Memandangi ibu Keenan lalu mereka bicara pelan.
Tanpa diduga, Bu Ida terbangun. Melihat Khanza, Bu Ida senyum. Khanza mendekat cium tangan.
“Keenan, dokter Khanza ini baik sekali. Andai aja ibu dapat menantu seperti dokter Khanza. Udah cantik, baik, salehah.”
Keenan jadi malu, begitu juga dengan Khanza.
“Ibu, ngomong apa sih, Bu?” Keenan tertawa kecil.Keenan dan Khanza saling pandang. Setelah mengucapkan kalimat itu, Bu Ida tertidur lagi.
***
Operasi Ibu Ida berjalan lancar. Ibu Ida masih belum siuman. Keenan senang. Mila pacar Keenan juga Hani ikut senang. Namun Hani tampak mencurigai sesuatu.
Tepat saat itu Khanza masuk ruangan. Tersenyum ke Hani dan Mila. Mendekat ke Keenan membisikkan seuatu. Melihat Mila tidak suka dengan keakraban itu, Keenan mengenalkan Khanza.
“Mila, kenalin, ini dokter Khanza. Dokter Khanza, ini Mila.”
Mereka jabat tangan. Lalu Khanza kembali ajak ngobrol Keenan serius. Seolah sengaja memanasi Mila. Hani melirik Mila. Mengajaknya keluar.
***
Mila masih cemberut saat di kantin rumah sakit. Mila yang aslinya pendiam, tidak tahan untuk tidak bertanya ke Hani siapa wanita tadi.
“Tadi itu dokter yang menangani ibu, Han?”
“Iya. Dokter Khanza. Aku ngerti kok kamu nggak suka dia deket-deket Mas Keenan. Tenang aja. Palingan tadi seputar professional kerja, kok. Eh, , aku boleh tanya sesuatu ke kamu, Mil?”
“Tanya apa?”
“Kamu tahu Mas Keenan dapet pinjaman uang dari mana?”
“Uang itu? Mas bilang sih dari Roman, bosnya. Memangnya Mas belum cerita ke kamu, Han?”
Hani menggeleng. Ia penasaran. Dia lumayan tahu bagaiman sifat Roman yang sudah berteman saat SMA dengan Mas Keenan. Roman tidak sebaik itu untuk memberikan kebaikan secara cuma-cuma. Ia khawatir Ada kesepakatan apa dibalik lima puluh juta itu.Dari kejauhan, Roman melihat Mila bercakap dengan seorang wanita. Roman tidak menghampiri. Ia ke rumah sakit hanya mau menguntit dan mengawasi Khanza.***
Satu minggu kemudian, Bu Ida sudah diizinkan pulang. Keenan mendorong kursi roda ibunya hati-hati masuk kamar. Keenan dibantu Hani membopong ibu, lalu merebahkannya ke kasur untuk istirahat. Hani keluar ambil sesuatu. Ibu mengajak ngobrol Keenan.
“Keenan, kamu ada hubungan ya dengar dokter Khanza? Kalau bener, sebaiknya jangan lama-lama, Nak. Takutnya jadi fitnah. Segera saja kamu lamar dia. Ibu bahagia sekali kalau bisa punya mantu dia.”
Keenan tersenyum getir. Menyelimuti Bu Ida lantas keluar kamar. Dekat pintu Hani menguping. Keenan terkejut melihat Hani.
“Ngagetin aja kamu, Dek? Ngapain di situ?”
Keenan ke sofa. Tiduran, mainan Smartphone. Hani menuju ke tepi sofa.“Mas ada kesepakatan apa sama Mas Roman kok bisa dipinjemi lima puluh juta?”
Keenan langsung meletakkan handphone-nya. “Pasti tahu dari Mila, ya? Nggak ada kesepakatan apa-apa, Dek. Roman kan temen Mas udah lama. Dia pasti bantulah ada sahabatnya kesusahan.
“Bohong. Temen sedeket apa pun nggak mungkin kasih pinjem uang gede tanpa kesepakatan apa-apa, apalagi Mas Roman itu.”
Keenan berhenti gaming, Rada tersinggung.“Kamu itu, Ibu baru aja pulang dari rumah sakit, kita juga masih capek, malah mikir macem-macem. Harusnya syukur alhamdulillah Ibu udah sehat. Bikin kesel aja.”
Keenan ngeloyor pergi. Keluar naik sepeda motor. Hani terbengong heran melihat sikap Keenan yang gak biasanya cepat baperan.
***
Tiga bulan kemudian ....
Keenan dan Khanza semakin akrab. Mereka sering bertemu di panti asuhan dan terkadang janjian di kafe bersama teman-teman yang lain. Mengobrol dan saling berbagi cerita masing-masing. Khanza juga beberapa kali datang ke rumah Keenan untuk menjenguk Bu Ida.
Di sisi lain, Keenan juga terus ditagih janjinya oleh Roman untuk segera menikahi Khanza. Beberapa kali juga Keenan minta waktu karena tidak akan mudah bagi seorang wanita menerima laki-laki yang baru dikenal dalam waktu singkat. Namun, Roman sepertinya sudah terburu nafsu dan terus mendesak Keenan. Pria itu jadi tidak punya pilihan lain.
Hari ini Khanza datang bersama seorang saudarinya setelah Keenan sempat kirim pesan whatsApps bilang mau bicara penting. Keenan datang selang beberapa menit, langsung minta izin saudara perempuan Khanza agar dibolehkan bicara empat mata.“Aku langsung aja, ya. Bismillah. Aku suka sama kamu, Khanza. Aku pengen hubungan lebih serius sama kamu.”
Khanza yang mendengar itu kaget tak percaya. Ia memandang Keenan yang terlihat serius.
“Terima kasih, Mas Keenan sudah berani jujur. Tapi nggak perlu saya jelaskan pun, pasti Mas Keenan sudah mengerti status saya. Saya sudah pernah menikah, Mas.”
“Aku tahu itu. Aku nggak keberatan, Khanza. Ibuku juga nggak keberatan.”
Khanza tersipu malu.
“Walaupun kita baru mengenal selama tiga bulan ini, tapi hatiku merasa yakin kalau kamu wanita yang terbaik buat aku, Khanza. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Perasaan ini udah tidak bisa ditahan lagi, makanya aku beranikan diri untuk melamar kamu,” kata Keenan.
Khanza yang lama terdiam akhirnya tersenyum. “Alhamdulillah. Kalau begitu silakan Mas ke rumah temui wali Khanza untuk bicarakan hal ini lebih serius.”
“Aku akan datang secepatnya, Khanza. In Shaa Allah.”
***
Keenan bersama ibunya, Hani, dan sanak saudara datang ke rumah Khanza bawa seserahan. Mereka disambut hangat orang tua dan Khanza sendiri. Acara pagi itu berlangsung sederhana.
“Kami bahagia sekali ada pemuda baik seperti Nak Keenan yang mau serius sama Khanza. Terlebih sudah tahu masa lalu Khanza seperti apa. Nak Keenan serius mau membina hubungan baik sama Khanza?” Ayah Khanza bertanya serius kepada Keenan yang kini duduk di depannya. Sementara Khanza duduk di sudut lain malu-malu.
“In Sha Allah saya serius, Pak.”
Pembicaraan pun berlangsung serius antara dua keluarga. Setelah beberapa saat Khanza pun menyatakan bahwa dia setuju dipersunting Keenan, barulah orang tua Khanza turut memberi keputusan.
“Syukur alhamdulillah. Kalau begitu sesegera mungkin pertunangan Nak Keenan dengan Khanza akan dilaksanakan,” ucap ayah Khanza.
Semua menengadahkan tangan untuk berdoa.Suasana khidmat. Bahkan Ibu Ida menitihkan air mata, tanda bahagia.***
Mila yang heran dengan perubahan Keenan mengajak bertemu di sebuah kafe. Keenan yang mengenakan seragam kerja, rencananya mau langsung ke pabrik.
“Mas ada masalah apa? Mas jarang kasih kabar sekarang. Mila khawatir.”
“Nggak ada apa-apa. Cuma lagi beresin beberapa masalah aja. Aku juga lagi mikir gimana caranya cepet bayar utang lima puluh juta itu ke Roman.”
Mila diam. Iya yakin ada sesuatu. Keenan terus menunduk saat tadi bicara.
“Aku minta ketemu juga karna mau bilang sesuatu Mas. Aku udah mencoba menyuruh mereka sabar, tapi orang tuaku mau Mas Keenan segera melamar. Aku harus gimana, Mas?”
Keenan tidak menjawab. Raut mukanya berubah muram. Suara Mila yang bicara perlahan menghilang dari pendengarannya.
***
Di ruang kantor Khanza pagi itu, ia sedang mengecek smarthphone-nya. Belum ada balasan pesan whatsapps dari Keenan. Kian hari, Keenan makin sulit ditemui. Ia mencoba meneleponnya.
“Ih, kamu kenapa sih, Mas?” Khanza mulai ngedumel sendiri.
Khanza kesal. Ia mengambil tasnya dan berniat menemui Keenan ke rumahnya. Tepat saat itu seorang suster tiba-tiba masuk ruangan.
“Dokter Khanza, ditunggu dokter Deddy di ruang 3.”
Khanza melihat jam tangannya. Agak panik. Suster kebingungan.
“Ee ... sampaikan ke dokter Deddy sebentar lagi saya ke sana ya, Suster. Saya keluar sebentar.”
“Loh dokter ... dok ....”Khanza pergi buru-buru. Suster melongo.
***
Mobil Khanza masuk halaman rumah Keenan. Khanza turun dari mobil. Suasana rumah Keenan sepi. Khanza melangkah ke pintu, mengetuknya pelan.
“Assalamualaikum ....” Khanza mengucap salam.
Sepi. Tidak ada jawaban. Khanza mengetuk lagi. Kali ini ketukan lebih keras. Suaranya pun lebih keras. Tak lama pintu terbuka. Keenan yang membuka pintu. Mukanya lesu. Melihat Khanza yang datang, Ia muka bersalah.
“Kamu ke mana aja, Mas? Pesanku nggak ada yang kamu bales. Aku telepon nomor Mas gak aktif,” tanya Khanza cemas.
Keenan Diam.Ia menuju ke sofa,duduk disana. Khanza mengikuti.
“Ada apa, Mas? Kamu kenapa? Mukamu pucat gitu. Sini Aku periksa.”
Khanza menjangkau stethoscope di lehernya. Mau memeriksa Keenan. Keenan menggeleng keras-keras. Khanza makin bingung.
“Nggak usah, Khanza. Aku nggak apa-apa, kok,”
“Mas kenapa? Mas cerita dong sama aku kalau ada apa-apa. Aku bingung lihat Mas gini.”
Keenan memegangi kepalanya. Menahan tangis agar tidak keluar. Napasnya terengah-engah. Khanza yang iba mengelus punggung Keenan. Keenan sedikit tenang.Aku nggak bisa giniin Mila dan Khanza terus. Kasian mereka, batin Keenan dalam hati. Sedari tadi ia terus menolak untuk mendaratkan pandangannya pada Khanza. Namun, ia berusaha bersikap tenang agar Khanza tidak semakin panik.
“Khanza pulang dulu, ya. Besok sesudah mengajar mengaji anak-anak, Mas bakal cerita semuanya.”
“Kenapa Mas nyuruh Khanza pulang? Aku ke sini mau bantu Mas. Aku ke sini karena khawatir sama Mas Keenan.”
“Mas mengerti. Tapi saat ini, Mas mau Khanza pulang. Kita ‘kan belum menikah. Nggak baik kalau dilihat tetangga.”
Khanza merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Ia beranjak ragu dari kursi. Keenan diam menunduk. Khanza berdiri sebentar, lalu pergi.
***
Keenan mengendarain motor sambil melamun. Teringat dengan Khanza. Kesedihan dan rasa bersalah terus mengejarnya ke mana pun ia pergi.
Aku nggak tega bohongin Khanza. Aku harus memberitahukan yang sebenarnya sama dia, batin Keenan.
Tiba-tiba dari arah lain ada mobil melaju ke arah Keenan. Keenan kaget buru-buru injak rem tapi telat.
Mobil nyerempet Keenan hingga jatuh dari motor. Keenan terbaring kesakitan di jalan. Warga berdatangan menolong.
***
Pesona Suami KeduaOleh : Delly Rain FelloKeenan berbaring di sofa dengan kondisi lesu serta tangan dan kepala diperban. Khanza duduk di dekat Keenan mengelap wajah Keenan cemas. Mereka saling bertatapan.Keenan kesakitan megangin wajahnya yang luka.“Aaaauuuw!”Khanza tampak cemas. “Eh, maaf. Sakit ya, Mas Keenan?”Keenan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Enggak, kok.”Khanza lalu memberikan obat dan segelas minuman ke Keenan.“Minum dulu obatnya, Mas biar cepat sembuh. Mas sih naik motornya sambil melamun.”Keenan tersenyum. “Siap, Bu Dokter.”Diam-diam Ida memperhatikan Keenan dan Khanza terharu.Khanza mengupaskan apel kemudian menyulangi Keenan. Keenan jadi terharu dan memandang Khanza dengan rasa bersalah. Matanya berkaca-kaca.Apa yang sudah saya lakukan? Khanza wanita yang sangat baik. Saya tidak tega jika harus menyakitinya, batin Keenan.Khanza tersenyum sama Keenan. Keenan buru-b
Keenan dan Mila sedang bicara serius di sebuah taman. Keenan kelihatan gelisah dan tidak nyaman bahkan enggan menatap wajah Mila. Itu semua karena rasa bersalah yang berkecamuk dalam dadanya. Sementara mata Mila sudah memerah menahan air mata.“ Mas Keenan kita nggak bisa gini terus. Mas Keenan nggak bisa gantung hubungan kita seperti ini terus. Mas Keenan harus melamar Mila secepatnya sebelum Mila melakukan sesuatu yang bakal Mas Keenan sesali seumur hidup,” ujar Mila.Keenan tercekat.“Mila, kamu tahu sendiri saat ini saya masih dalam keadaan sulit. Saya bingung harus bagaimana.”“Baik. Kalau Mas Keenan nggak mau menikahi Mila, Mila janji akan bikin hidup Mas nggak tenang untuk selamanya.”“Apa maksud kamu, Mila?”Keenan tampak bingung dan menahan Mila yang hendak pergi meninggalkannya dengan penuh emosi. Dari arah lain Khanza datang dan terkejut lihat Keenan dan Mila. Khanza menatap curiga bercampur cemburu.“Mas Keenan bingung apa karena dia?” tu
Pagi sekali Khanza terbangun karena suara lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Keenan. Khanza terbangun dengan mata sembap. Tak didapatinya Keenan di kamar. Segera Khanza teringat kejadian tadi malam. Penolakan Keenan. Hati Khanza terasa disayat sembilu. Sejenak dia mematut bayangannya di cermin. Apakah aku tak pantas untuk Mas Keenan? Apakah aku gak cantik? Khanza terus membatin sedih.Sementara lantunan ayat suci masih terus terdengar merdu. Arahnya dari ruang sholat. Khanza beristighfar dan mencoba sabar. Dia berpikir mungkin Keenan masih badmood karena memikirkan Roman, mantan suaminya.Khanza segera bangkit dan bergegas mandi. Segera mengambil mukena untuk bersiap sholat Subuh.Mereka bertemu pandang di ruang sholat. Ketika itu Keenan telah menyelesaikan tilawahnya. Keenan menunduk lagi dan itu membuat hati Khanza semakin sedih"Mas, apa salah Khanza? Mas marah sama saya?" Akhirnya Khanza tidak tahan
Keenan baru sampai ke rumah dan mendapati Khanza sudah tidak ada di rumah. Ada note tertempel di kulkas. Dari Khanza. Dia ada panggilan operasi. Keenan jadi tersadar suatu hal. Khanza masih sibuk dengan karirnya sebagai dokter, sedangkan dia saat ini menganggur. Roman sudah memecat Keenan.Keenan duduk terhenyak di kursi. Mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tidak mungkin dia tidak bekerja dan hanya berdiam diri di rumah. Tidak. Keenan harus tetap menjaga marwah sebagai laki-laki, terlebih saat ini dia punya istri. Pun, ibu dan adik perempuan yang harus ia jaga dengan baik. Keenan akan segera mencari pekerjaan baru.Rasa kantuk menghinggapi Keenan. Tak sadar ia tertidur di sofa. Sekitar satu jam kemudian, Keenan terbangun mendengar suara dentingan sendok beradu dengan gelas dari arah dapur.Tak lama Khanza muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuk Keenan. Khanza tersenyum dan memegang tangan Keenan. Hal itu malah membuat
Keenan menatap handphone-nya, berharap akan segera ada panggilan telepon dari suatu perusahaan untuk menerimanya bekerja. Namun, ini sudah sebulan berlalu. Tidak ada satu pun panggilan yang datang.Setiap malam Keenan mengerjakan sholat Tahajud berdoa agar ia segera diberi pekerjaan oleh Allah. Selama sebulan itu juga Khanza selalu menyemangatinya. Tak jarang Khanza menawari untuk meminta bantuan pada temannya, tapi Keenan merasa tidak enak pada Khanza. Takut nanti jadi omongan di antara teman-teman Khanza.Handphone Keenan siang itu berbunyi. Dengan penuh semangat, Keenan langsung angkat teleponnya. Nomor tidak dikenal."Halo," sapa Keenan tanpa bisa menyembunyikan nada penuh semangat."Halo, Bro. Ini gue Tedy," sahut suara dari ujung sana. Seketika Keenan merasa tubuhnya lemas. Hah! Baru saja ia mengira dapat panggilan kerja."Oh, lo, Ted," kata Keenan.Terdengar suara tawa Tedy dari ujung sana. "Napa lo, Bro? Kok gak sem
Gaes, sebelum baca, follow dulu dong. Mohon support-nya biar makin semangat nulis. Vote ya temans. Keenan berlari cepat dan menyambar tubuh Mila tepat sebelum gadis itu melompat dari jembatan. Mila langsung memberontak dan ingin melepaskan diri, masih berkeinginan untuk melompat."Mila! Kamu kenapa, Mila? Jangan gila, Mila!" seru Keenan panik.Mila menangis dan menatap Keenan frustrasi. "Biarin aku mati, Keenan! Udah gak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini!" seru Mila.Keenan bingung, berusaha menenangkan Mila. "Istighfar, Mila. Sebenarnya kamu kenapa? Masalah seberat apa pun, kita bicarakan baik-baik, ya," bujuk Keenan.Mila menangis tersedu-sedu dalam pelukan Keenan. Seketika Keenan jadi enggan teringat Mila bukan mahramnya. Namun, seberapa kuat dia
Teman-teman mohon support follow dan vote, ya. Biar makin semangat nulisnya.Khanza baru selesai mengoperasi pasien. Baru saja keluar dari ruang operasi masih berpakaian operasi lengkap dengan penutup kepala. Wajah cantiknya terlihat lelah dengan peluh bertitik-titik di dahinya. Sudah tiga pasien dari pagi ke siang itu ia tangani. Yang terakhir adalah anak kecil berusia enam tahun yang sakit jantung dan menjalani operasi pemasangan ring.Masih terbayang di benak Khanza wajah anak kecil itu saat sudah dibius. Begitu kecil dan lemah. Sebenarnya tak sampai hati melihat malaikat kecil mengidap penyakit yang membuatnya tak berdaya.Khanza mendadak pusing dan limbung. Tubuhnya miring hampir terjatuh kalau saja rekan dokter dan perawat tidak menangkap tubuh Khanza."Lho? Dokter Khanza kenapa? Mukanya pucat banget," kata Suster Bunga khawatir."Iya, nih. Kamu dari kemarin kok lemes terus, Za?" tanya Dokter Anna, sahabat Khanza.
Teman-teman, sebelum baca, jangan lupa vote. Yang ikutin cerita ini, follow ya sebagai bentuk support. Makasih. Keenan bingung bukan main bagaimana lagi caranya membujuk Khanza. Sudah dua hari Khanza menolak bertemu dengannya. Jangankan membiarkan Keenan masuk ke rumah, menatap wajah Keenan saja sang istri tak sudi.Sore itu sepulang kerja Keenan, hujan turun lebat. Apes. Keenan lupa bawa jas hujan. Jadilah ia basah kuyub dari kantor."Assalamualaikum, Za. Aku pulang," kata Keenan dengan suara bergetar kedinginan di teras rumah.Tidak ada sahutan. Keenan menarik napas berat dan memilih menunggu di bangku teras ditemani rintikan hujan yang semakin deras.-oOo-Khanza mual-mual dan berlari cepat ke toilet sebelum muntah di sembarang tempat. Perasaannya campur aduk. Jadi begini rasanya jadi wanita hamil? Baru saja ia tersenyum, tapi senyum itu langsung memudar ter
Di ruangan KUA itu Vino menunggu dengan jantung berdebar. Mila belum hadir.Orang tua Vino dan saksi duduk ikut menunggu. Beberapa mulai menebak jangan-jangan calon mempelai wanita berubah pikiran.Vino mulai gugup dan memikirkan hal buruk. Bukan gengsi. Sudah lama ia tidak memikirkan itu untuk mendapatkan Mila. Ia hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan. Bisa bersatu dengan Mila dan anaknya Endaru, meskipun mungkin Mila belum mencintainya."Assalamualaikum. Maaf, saya terlambat," ujar suara lembut yang langsung dikenali Vino.Terdengar suara orang-orang di ruangan menyahuti salam.Dengan sigap Vino bangkit berdiri menyambut Mila yang baru tiba memasuki ruangan tempat ijab qabul akan dilaksanakan. Seperti mimpi. Mila benar-benar ada di hadapan Vino terlihat sederhana, tapi sangat cantik. Ia mengenakan gaun putih panjangnya di bawah lutut dengan detail brokat pada bagian leher dan lengan. Sepatu balet putih melekat di kaki
Sepulang dari Bali, kehidupan Keenan dan Khanza semakin bahagia. Keenan setiap hari saat di kantor merindukan Khanza dan ingin cepat bertemu. Khanza pun harus bersusah payah berkonsentrasi dengan pekerjaannya sambil mengingat Keenan.Seorang pasien, ibu berusia enam puluh tahun, akan menjalani operasi pagi ini. Operasi besar. Bukan sekadar pemasangan klep jantung.Khanza jadi teringat dengan Bu Ida, mertuanya. Awal mula ia mengenal Keenan adalah saat ia mengoperasi Bu Ida. Ia memang tidak tahu menahu rencana awal Keenan dan mantan suaminya, Roman. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya Keenan adalah jodoh terbaik untuknya."Saya nggak mau dioperasi. Biarin saya mati aja," celetuk ibu itu terlihat lesu dan stress."Bu, jangan ngomong begitu. Dosa, Bu," ujar anak perempuannya kesal. Kelihatan sekali sudah lelah fisik maupun batin."Nggak mau. Buat apa hidup kalau abangmu nggak mau nurutin Ibu?" kata si ibu lagi.
Khanza memindahkan pakaian dari koper ke lemari di kamar hotel. Senyumnya merekah saat memegang lingerie merah muda dan piyama tipis berwarna hijau soft. Ia sendiri yang menyiapkan busana seksi itu untuk menghabiskan malam-malam indah bersama Keenan di Bali.Mereka memutuskan pergi berbulan madu. Altan yang sudah berusia dua tahun dititipkan bersama nenek dan tantenya. Hanya tiga hari waktu yang akan mereka lewati di Bali karena Altan tidak mau ditinggal lama oleh mama dan papanya. Khanza juga tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pasien membutuhkan pertolongannya.Napas lembut Keenan menderu di leher Khanza. Diam-diam Keenan mengendap ke kamar dan mendekati Khanza."Sayang," bisik Keenan di telinga Khanza. "Kenapa nggak dipakai ini?" Keenan meraih lingerie di tangan Khanza.Khanza terkikik geli dan menyembunyikan lingerie dari Keenan."Ini kan surprise buat malam. Kamu jangan lihat, Mas." Khanza dengan manja mendorong Keenan.
Beberapa waktu telah berlalu. Sejak menikah dengan Vino, Mila sudah pergi dari rumah Bu Ida membawa Endaru.Seperti janji Mila, ia tetap mengirimkan ASIP untuk Altan, karena kondisi Altan membaik. Sudah mau dibujuk minum dengan dot oleh Keenan.Terbukti kekhawatiran Khanza selama ini bisa diatasi. Harus sabar dan kuat. Memang sulit, tapi jika percaya dengan kekuatan doa, semua akan selesai dengan baik.Khanza mulai tenang dan semakin sabar. Walaupun belum sembuh, masih lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa, keluarga di sekeliling Khanza tidak pernah meninggalkannya. Terutama Keenan selalu men-support-nya.Seperti hari ini, Khanza sudah mulai bisa menggerakkan telapak kakinya. Keenan teramat senang. Berulangkali dia mencium Khanza atas kemajuan itu."Alhamdulillah. Yakin sebentar lagi bisa jalan. Bismillah, Sayang," ucap Keenan menyemangati Khanza.Khanza tersenyum. "Aamii
Khanza masuk ke kamar Mila. Mila inisiatif menutup pintu kamar, karena Khanza ingin bicara padanya dari hati ke hati.Tidak ada senyuman di wajah Khanza. Hanya kemuraman. Begitu Mbak ART meninggalkan Khanza dan Mila berdua saja, mereka lama terdiam. Khanza tampak sulit memilih kata-kata."Mbak, doain aja ya biar pernikahanku lancar," ujar Mila memulai pembicaraan.Khanza menatap Mila penuh arti. "Tapi kenapa, Mila?"Mila tersenyum. "Aku juga ingin Endaru bahagia, Mbak. Vino menyayangi Endaru.""Lalu bagaimana dengan kamu?" Khanza menatap Mila tajam.Mila membuang pandangan. Ada kegetiran tergambar di wajahnya. Dijelaskan juga mungkin tidak akan ada yang mengerti. Itu yang dipikirkan Mila.Berat bagi Mila untuk menerima Vino. Seorang korban perkosaaan jarang menerima pemerkosanya sebagai pasangan. Namun, Mila punya alasan lain. Vino memang sudah berbuat jah
Mila duduk melamun di kamar tamu, tempat di mana ia menetap selama tinggal di rumah Khanza dan Keenan. Endaru dan Altan keduanya sedang bermain dengan anggota keluarga yang lain.Pikiran Mila sendiri jadi tidak menentu. Makan pun jadi tidak enak. Suasana saat ini benar-benar tidak nyaman bagi Mila. Setiap kali Mila berpapasan dengan Khanza, wanita itu pasti bertanya apa keputusannya.Masalahnya, menikah dengan lelaki beristri bukan perkara mudah. Meskipun Keenan adalah laki-laki yang dicintai Mila, bahkan hingga saat ini, tapi Mila bukan tipe wanita yang sanggup menjadi madu."Pikirkan Endaru, Mila. Kami berjanji, kalau kamu mau menikah sama Mas Keenan, Endaru akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Altan. Endaru juga akan diberikan pendidikan agama dan sekolah yang terbaik."Kata-kata Khanza itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Mila. Memang benar Keenan menyayangi anaknya. Namun ... setuju dipoligami?Keenan lewa
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak