Keenan dan Mila sedang bicara serius di sebuah taman. Keenan kelihatan gelisah dan tidak nyaman bahkan enggan menatap wajah Mila. Itu semua karena rasa bersalah yang berkecamuk dalam dadanya. Sementara mata Mila sudah memerah menahan air mata.
“ Mas Keenan kita nggak bisa gini terus. Mas Keenan nggak bisa gantung hubungan kita seperti ini terus. Mas Keenan harus melamar Mila secepatnya sebelum Mila melakukan sesuatu yang bakal Mas Keenan sesali seumur hidup,” ujar Mila.Keenan tercekat.“Mila, kamu tahu sendiri saat ini saya masih dalam keadaan sulit. Saya bingung harus bagaimana.”“Baik. Kalau Mas Keenan nggak mau menikahi Mila, Mila janji akan bikin hidup Mas nggak tenang untuk selamanya.”“Apa maksud kamu, Mila?” Keenan tampak bingung dan menahan Mila yang hendak pergi meninggalkannya dengan penuh emosi. Dari arah lain Khanza datang dan terkejut lihat Keenan dan Mila. Khanza menatap curiga bercampur cemburu. “Mas Keenan bingung apa karena dia?” tuding Mila sambil menunjuk Khanza yang berdiri di belakang Keenan. Keenan segera berbalik dan kaget begitu lihat Khanza.KHANZA meperhatikan Keenan dan Mila secara bergantian.Keenan mencoba tersenyum ke Khanza walaupun masih bingung. “Khanza? Kamu sedang apa di sini?”Alih-alih menjawab pertanyaan Keenan, Khanza malah terus menatap penasaran Keenan dan Mila. Bungkusan belanjaan dari mini market di tangannya pun hampir terjatuh. “Sebenarnya ini ada apa? Siapa dia, Mas Keenan?” tanya Khanza. Mila maju mendekati Khanza. “Saya pacarnya Mas Keenan. Hubungan kami sudah terjalin selama sepuluh tahun dan mungkin akan segera menikah kalau saja kamu tidak hadir dalam kehidupan Mas Keenan!” seru Mila sinis. Khanza kaget bukan kepalang. Jadi sedih dan menatap Keenan tak percaya. Khanza buru-buru pergi sambil berurai airmata. Keenan mau mengejar Khanza, tapi ditahan Mila.“Mas mau kemana? Dia itu cuma tunangan pura-pura Mas, ‘kan? Saya yang selama ini sudah setia menunggu Mas Keenan.”Keenan terdiam dan memandang Mila sedih. “Maafkan saya, Mila. Saya tidak bisa membohongi perasaan saya terhadap Khanza. Tolong maafin saya udah nyakitin kamu. Saya berharap kamu bisa dapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari saya.”Keenan pun pergi ninggalin Mila yang patah hati dan menangis terisak. “Mas Keenan!” Tak peduli berapa kali pun Mila memanggil Keenan, tetap saja Keenan lebih memilih mengejar Khanza. Keenan tetap jalan pergi dengan ekspresi sedih tanpa mau berpaling.***
Keenan mengejar Khanza yang berlari sambil menangis.
“Za, saya mohon dengar dulu penjelasan saya.”Khanza menghentikan langkahnya, berbalik lihat Keenan.“Nggak ada lagi perlu dijelasin, Mas. Saya udah tahu kalau wanita tadi adalah pacarnya Mas Keenan.”“Mila hanya masa lalu. Sekarang Mas hanya mencintai kamu Khanza.”Khanza malah menatap Keenan marah.“Kenapa semudah itu Mas Keenan bilang dia adalah masa lalu Mas Keenan? Apa Mas Keenan akan katakan hal yang sama terhadap Khanza nantinya? Hubungan itu bukan main-main, Mas Keenan.”Keenan mendekati Khanza. Tersenyum penuh arti.“Saya mengerti Khanza dan saya nggak bisa membohongi hati saya. Satu-satunya wanita yang saya cintai adalah kamu. Saya mencintai kamu karena Allah.”Khanza terkesiap, memandang Keenan terharu. Keenan memetik bunga di taman lalu bersimpuh di depan Khanza sambil menyodorkan bunga. “Khanza, apa kamu mau menikah dengan saya?”Khanza terharu. Dia menatap Keenan tak percaya. “Kamu jangan bercanda, Mas. Nggak lucu tau! Mana main petik bunga sembarangan! Nggak boleh tau!” “Iya, maaf, cantik. Nanti aku akan berikan bunga dari toko, atau bunga dari planet Mars sekali pun buat kamu. Itu kalau kamu mau menikah sama aku.”Khanza mau tak mau jadi tertawa. “Ada-ada aja! Kamu pikir aku alien!” “Ya udah, kamu mau nggak menikah sama aku?” tanya Keenan serius. Khanza terdiam lama. Lalu tersenyum dan mengangguk. Keenan bangkit dan melonjak kesenangan. “Yess!” serunya bahagia. “Harusnya alhamdulillah, dong, Mas,” ucap Khanza.“Iya, eh, alhamdulillah. Makasih, ya. Kamu udah mau nerima lamaranku.”“Jangan senang dulu, Mas.” Khanza menatap Keenan serius. “Kamu harus minta izin orang tuaku dulu di kampung.”Keenan mengangguk. Senyumannya tak bisa hilang. Dia sangat senang dan rasanya ingin sekali memeluk Khanza, tapi jelas hal itu tidak boleh ia lakukan.***
Satu bulan kemudian ....
Keenan dan Khanza sedang duduk berdampingan di depan penghulu untuk melakukan ijab qabul. Keduanya tampak cantik dan tampan menggunakan busana pengantin sederhana. Ida dan Hani duduk di dekat Keenan dan Khanza. Sementara orang tua Khanza tersenyum bahagia melihat Khanza akhirnya bisa menikah lagi dengan pria yang menurut mereka baik.
Acara ijab qabul pun dimulai. Keenan bersalaman dengan ayah Khanza.“Saya nikahkan anak saya Khanza Afilla binti Arsad dengan Keenan Juanda bin Zainuddin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”Keenan tampak gugup. Semua orang memandang Keenan menunggunya bicara. “Saya terima nikahnya ....”Gino tiba-tiba muncul, masuk ke ruangan mendekati Keenan dan Khanza. Semua orang terkejut. Raut muka Khanza dan Keenan berubah tegang. Proses ijab qabul pun tertunda. “Roman? Kenapa kamu datang kesini? Kamu, ‘kan, nggak diundang?” tuding salah seorang dari keluarga Khanza. Namun Ayah Khanza buru-buru menenangkan.“Sudah. Biarkan dia hadir di acara pernikahan Khanza. Bagaimana pun dia pernah menjadi keluarga kita,” ucap Ayah Khanza.Roman tersenyum. Raut wajahnya tampak sedih. Ia menatap Khanza penuh kesedihan. Khanza jadi sungkan dan menundukkan pandangannya. Sementara Keenan jadi semakin was-was. Roman berusaha bersikap dewasa. “Maafkan kalau kehadiran saya begitu tiba-tiba. Saya datang hanya ingin melihat Khanza bahagia. Saya sama sekali tidak bermaksud jahat,” ucap Roman. “Baik. Kalau begitu, sebaiknya akad pernikahan segera dimulai,” kata Ayah Khanza. Mereka lalu mengulangi proses pernikahan. Khanza tampak gugup di samping Keenan, sedangkan Roman terus curi-curi memandangnya. Rasanya ia tidak nyaman menikah dengan lelaki lain disaksikan oleh mantan suaminya. “Saya terima nikahnya Khanza Afilla binti Arsad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Akhirnya kata-kata itu bisa diucapkan dengan lancar. Seketika penjuru ruangan dipenuhi ucapan syukur dan kebahagiaan. Khanza terharu dan menghapus air matanya. Keenan sangat bahagia dan mengusap pipi Khanza lembut. Roman mendengus kesal lalu pergi meninggalkan ruangan.***
Keenan dan Khanza bersanding di pelaminan. Saling memandang malu-malu. Keenan jadi tertawa geli melihat tingkah mereka yang masih canggung. Ia sendiri tidak percaya kalau dia bisa menikahi Khanza. Dokter cantik yang mempunyai banyak keunggulan untuk menjadi istri idaman para lelaki.
“Mas, kenapa ketawa, sih? Mukaku lucu, ya?” Khanza manyun.Keenan malah semakin tertawa. Khanza kesal dan memukulnya. “Iya. Sebenarnya aku mau bilang daritadi kalau make-up kamu terlalu menor. Siapa sih penata riasnya?” Seketika Khanza jadi panik dan memegangi wajahnya malu. “Yang bener, Mas? Padahal ini Mbak MUA-nya langganan keluarga aku, lho, Mas. Hasilnya nggak pernah mengecewakan.” Khanza jadi bingung sendiri.Keenan menangkap tangan Khanza, menatap Khanza dalam-dalam, lalu menggeleng. “Nggak, kok, sayang. Aku Cuma bercanda. Kamu, tuh, cantik banget.”Khanza jadi emosi dan memukul-mukul Keenan lagi. Keenan tertawa dan berusaha mengelak. Keenan memang sudah berniat mulai sekarang setiap hari ia akan membuat Khanza bahagia. Tepat saat itu sosok yang tak mereka inginkan hadir. Roman menghampiri mereka, naik ke pelaminan dengan tampang sinis. Ia lalu tersenyum ke Khanza dan Keenan.“Selamat, ya, aku nggak nyangka kamu mau menikah dengan karyawan aku sendiri, Zha,” celetuk Roman.“Makasih, Mas.” Khanza geram, tapi lebih memilih untuk tidak meladeni ucapan Roman. Roman lalu menyalami Keenan dan pura-pura memeluknya ramah. “Keenan, aku percaya kamu akan jadi suami yang baik buat Khanza. Tolong jaga dia baik-baik,” kata Roman lantang.“Pasti,” kata Keenan.Roman merapatkan rahangnya saking geramnya lalu berbisik di telinga Keenan, “Jangan lu pikir gue rela lepasin Khanza. Lu menikah sama Khanza hanya sebagai muhalil. Sesuai perjanjian kita, lu harus segera menceraikan dia.”Keenan tersentak kaget. Tidak menyangka Roman masih menuntutnya untuk mengikuti permainan mereka. Keenan segera menarik Roman menjauh. Khanza jadi khawatir dan bangkit ingin melerai Roman dan Keenan. Begitu juga beberapa keluarga jadi khawatir dan mendekat. Namun, Keenan dan Roman memberikan isyarat bahwa keadaan baik-baik saja.“Roman, gue udah bilang berapa kali sama lu, gue nggak bisa jadi muhalil. Masalah utang gue sama lu, gue janji akan ngelunasin semuanya. Tapi gue beneran nggak bisa menceraikan Khanza. Gue cinta sama dia,” kata Keenan.“Diam lu! Sebenarnya lu itu sama aja! Laki-laki bajingan! Lu baru kenal sama Khanza, tapi sok ngaku cinta sama dia. Itu cuma nafsu lu aja!”“Walaupun gue sama Khanza baru kenal sebentar, tapi kami udah ngerasa saling dekat dan cocok, Man. Nggak butuh waktu lama bagi gue buat yakin kalau gue cinta sama Khanza.” Keenan masih berusaha menyakinkan Roman.“Gua nggak peduli bacot lu! Yang jelas, kalau lu nggak menceraikan Khanza, gue akan bilang semuanya ke Khanza dan ibu lu kalau lu sebenarnya cuma seorang muhalil. Gua yakin, Khanza bakal kecewa berat dan ninggalin lu!” kata Roman.“Tapi gimana pun gue udah menikah sama Khanza secara sah,” kata Keenan.“Oke! Kalau itu memang mau lu, sekarang juga gue bakal kasi tahu ibu lu dari mana anaknya dapatin uang buat biaya operasi itu! Sekalian biar keluarga Khanza pada tahu siapa lu!” ancam Roman.Keenan terhenyak dan buru-buru menahan Roman. Dengan sedih dia menatap ke arah Khanza yang dari jauh memperhatikannya khawatir, lalu ke arah ibunya yang masih terlihat pucat dan belum sembuh benar. “Ok, gue setuju buat lanjutin jadi muhalil sesuai keinginan lu. Tapi tolong jangan kasi tahu siapa pun tentang ini. Jangan sekarang. Ibu gue masih masa pemulihan dan gue nggak mau Khanza dan keluarganya nanggung malu.” Keenan terpaksa mengalah.Roman tersenyum senang. “Nah, gitu, dong, baru namanya orang yang tepat janji. Lu kan guru ngaji, masa nggak tahu hukumnya ingkar janji dari kesepakatan?” Roman semakin menintimidasi Keenan.“Iya, Man. Gue akan menepati janji gue sama lu buat ceraikan Khanza,” ucap Keenan getir.“Kalau perlu, besok juga lu harus ceraikan Khanza.”Keenan menghela napas berat dan menggeleng. “Nggak semudah itu, Roman. Ada satu syarat lagi biar lu bisa rujuk lagi sama Khanza,” kata Keenan.Alis Roman bertaut bingung. “Apa itu?”“Khanza harus berhubungan intim dulu sama gue, baru setelah itu gue bisa ceraikan dia sebagaimana muhalil,” jelas Keenan.Ekspresi Roman berubah emosi dan dia mendorong Keenan kuat. Ayah Khanza dan saudara lainnya jadi heboh dan datang.“Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?” tanya Ayah Khanza.Roman tertawa. “Nggak apa-apa, Yah. Kita Cuma bercandaan aja. Iya, ‘kan, Keenan?” Keenan mengangguk. Ayah Khanza dan lainnya pun bubar menjauh meski masih mengawasi Keenan dan Roman cemas. “Itu akal-akalan lu aja biar bisa nikmati si Khanza! Lu pikir gue nggak tahu pikiran busuk lu!” tuding Roman melanjutkan perselisihan mereka.“Sama sekali nggak, Man. Lu, ‘kan, tahu sendiri waktu dijelaskan syarat itu sebelum kita deal masalah muhalil ini.”“Tapi lu nggak perlu pakai sentuh Khanza segala. Gue cuma butuh status lu menikahi Khanza lalu cerein dia, Simple!”“Gue nggak bisa lakuin itu, Man. Itu bukan cara yang bener. Lu sendiri yang suruh gue jadi muhalil. Sekarang lu juga maksa gue buat tetap jadi muhalil, berarti lu harus siap dengan semua syaratnya,” kata Keenan.Roman menendang kursi yang ada di situ penuh emosi sampai kursi terbalik jatuh. Ia mengepalkan tangannya hendak memukul Keenan, tapi ia urungkan. Roman lalu pergi dengan amarah yang memuncak. Semua orang memandangi kepergian Roman penasaran. Sementara Keenan dengan lesu dan raut sedih kembali ke pelaminan. Khanza langsung menyambutnya khawatir.“Ada apa, Mas? Kamu kenapa murung begitu? Roman pasti ngomong macam-macam sama kamu, ‘kan?” tanya Khanza.Keenan menggeleng. “Nggak, kok. Kami Cuma ngobrol biasa aja,” jawab Keenan.Sisa hari pesta pernikahan itu dilalui Keenan dengan muram dan gelisah. Ia bahkan enggan menatap wajah Khanza karena merasa sangat bersalah. Khanza bingung, tapi tidak terlalu curiga, karena mengira Keenan jadi badmood gara-gara Roman.***
Malam pengantin tiba. Para sepupu perempuan Khanza berkumpul dan tertawa-tawa menggoda Khanza yang didorong-dorong masuk ke kamar pengantin. Khanza tampak gugup begitu melihat Keenan sudah duduk di tepian ranjang.
Keenan masih mengenakan kemeja putih setelan pakaian pengantinnya. Sementara Khanza sudah berganti pakaian dengan lingerie hitam yang seksi setelah dipaksa sepupunya yang usil. Khanza memandang Keenan yang tampak melamun dan belum menyadari kehadirannya. Keenan kelihatan sangat tampan. Kulit putih bersih, rambut hitam bermodel spike yang agak acak-acakan, alis tebal, hidung mancung, dan tubuhnya tinggi proporsional. Khanza mendadak gugup. Jantungnya berdetak tidak keruan. Padahal ini bukan pertama kalinya ia menjalani malam pertama. Namun, tetap saja sensasi istimewa malam pengantin membuatnya gemetaran dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tiba-tiba Keenan memandang ke arah Khanza dan tampak sama terkejutnya dengan Khanza. Ia juga kelihatan bingung dan ragu-ragu. Khanza berusaha tersenyum, tapi Keenan membalas senyuman Khanza dengan ragu. Nyess! Seperti ada yang terasa menusuk hati Khanza. Namun, wanita itu berusaha untuk kuat dan berpikir positif. Ia menuangkan minuman ke gelas yang tersedia di meja dan memberikannya ke Keenan. Keenan menerima dan meminumnya.Khanza duduk di samping Keenan. Keenan malah menggeser menjauh. Tanpa sanggup memandang wajah Khanza.“Mas Keenan, Mas kenapa, sih? Mas ada masalah?” tanya Khanza penasaran.Keenan beralih memandang Khanza. Hatinya terasa nyeri. Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Khanza dan mendekapnya erat untuk selamanya. Khanza begitu cantik dan mempesona. Ini pertama kalinya ia bisa melihat helaian rambut kecokelatan Khanza dan kulitnya yang putih mulus. Sungguh wanita bidadari. “Khanza ....” Keenan menyentuh dagu Khanza dan menatapnya lekat. Khanza tersenyum dan menaruh tangannya di bahu Keenan. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat. Keenan merebahkan tubuh Khanza. Wanita itu memejamkan matanya. Saat itu juga Keenan semakin terpesona melihat kecantikan Khanza. Namun, kata-kata Roman terngiang di telinganya.“Gua nggak peduli bacot lu! Yang jelas, kalau lu nggak menceraikan Khanza, gue akan bilang semuanya ke Khanza dan ibu lu kalau lu sebenarnya cuma seorang muhalil. Gua yakin, Khanza bakal kecewa berat dan ninggalin lu!”Keenan tersentak dan segera menjauh dari Khanza dengan rasa sedih luar biasa. “Maaf, Khanza,” ujar Keenan sambil keluar dari kamar meninggalkan Khanza yang mulai menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Kecewa, sedih, merasa diabaikan bercampur aduk.***
Pagi sekali Khanza terbangun karena suara lantunan ayat suci yang keluar dari mulut Keenan. Khanza terbangun dengan mata sembap. Tak didapatinya Keenan di kamar. Segera Khanza teringat kejadian tadi malam. Penolakan Keenan. Hati Khanza terasa disayat sembilu. Sejenak dia mematut bayangannya di cermin. Apakah aku tak pantas untuk Mas Keenan? Apakah aku gak cantik? Khanza terus membatin sedih.Sementara lantunan ayat suci masih terus terdengar merdu. Arahnya dari ruang sholat. Khanza beristighfar dan mencoba sabar. Dia berpikir mungkin Keenan masih badmood karena memikirkan Roman, mantan suaminya.Khanza segera bangkit dan bergegas mandi. Segera mengambil mukena untuk bersiap sholat Subuh.Mereka bertemu pandang di ruang sholat. Ketika itu Keenan telah menyelesaikan tilawahnya. Keenan menunduk lagi dan itu membuat hati Khanza semakin sedih"Mas, apa salah Khanza? Mas marah sama saya?" Akhirnya Khanza tidak tahan
Keenan baru sampai ke rumah dan mendapati Khanza sudah tidak ada di rumah. Ada note tertempel di kulkas. Dari Khanza. Dia ada panggilan operasi. Keenan jadi tersadar suatu hal. Khanza masih sibuk dengan karirnya sebagai dokter, sedangkan dia saat ini menganggur. Roman sudah memecat Keenan.Keenan duduk terhenyak di kursi. Mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tidak mungkin dia tidak bekerja dan hanya berdiam diri di rumah. Tidak. Keenan harus tetap menjaga marwah sebagai laki-laki, terlebih saat ini dia punya istri. Pun, ibu dan adik perempuan yang harus ia jaga dengan baik. Keenan akan segera mencari pekerjaan baru.Rasa kantuk menghinggapi Keenan. Tak sadar ia tertidur di sofa. Sekitar satu jam kemudian, Keenan terbangun mendengar suara dentingan sendok beradu dengan gelas dari arah dapur.Tak lama Khanza muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuk Keenan. Khanza tersenyum dan memegang tangan Keenan. Hal itu malah membuat
Keenan menatap handphone-nya, berharap akan segera ada panggilan telepon dari suatu perusahaan untuk menerimanya bekerja. Namun, ini sudah sebulan berlalu. Tidak ada satu pun panggilan yang datang.Setiap malam Keenan mengerjakan sholat Tahajud berdoa agar ia segera diberi pekerjaan oleh Allah. Selama sebulan itu juga Khanza selalu menyemangatinya. Tak jarang Khanza menawari untuk meminta bantuan pada temannya, tapi Keenan merasa tidak enak pada Khanza. Takut nanti jadi omongan di antara teman-teman Khanza.Handphone Keenan siang itu berbunyi. Dengan penuh semangat, Keenan langsung angkat teleponnya. Nomor tidak dikenal."Halo," sapa Keenan tanpa bisa menyembunyikan nada penuh semangat."Halo, Bro. Ini gue Tedy," sahut suara dari ujung sana. Seketika Keenan merasa tubuhnya lemas. Hah! Baru saja ia mengira dapat panggilan kerja."Oh, lo, Ted," kata Keenan.Terdengar suara tawa Tedy dari ujung sana. "Napa lo, Bro? Kok gak sem
Gaes, sebelum baca, follow dulu dong. Mohon support-nya biar makin semangat nulis. Vote ya temans. Keenan berlari cepat dan menyambar tubuh Mila tepat sebelum gadis itu melompat dari jembatan. Mila langsung memberontak dan ingin melepaskan diri, masih berkeinginan untuk melompat."Mila! Kamu kenapa, Mila? Jangan gila, Mila!" seru Keenan panik.Mila menangis dan menatap Keenan frustrasi. "Biarin aku mati, Keenan! Udah gak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini!" seru Mila.Keenan bingung, berusaha menenangkan Mila. "Istighfar, Mila. Sebenarnya kamu kenapa? Masalah seberat apa pun, kita bicarakan baik-baik, ya," bujuk Keenan.Mila menangis tersedu-sedu dalam pelukan Keenan. Seketika Keenan jadi enggan teringat Mila bukan mahramnya. Namun, seberapa kuat dia
Teman-teman mohon support follow dan vote, ya. Biar makin semangat nulisnya.Khanza baru selesai mengoperasi pasien. Baru saja keluar dari ruang operasi masih berpakaian operasi lengkap dengan penutup kepala. Wajah cantiknya terlihat lelah dengan peluh bertitik-titik di dahinya. Sudah tiga pasien dari pagi ke siang itu ia tangani. Yang terakhir adalah anak kecil berusia enam tahun yang sakit jantung dan menjalani operasi pemasangan ring.Masih terbayang di benak Khanza wajah anak kecil itu saat sudah dibius. Begitu kecil dan lemah. Sebenarnya tak sampai hati melihat malaikat kecil mengidap penyakit yang membuatnya tak berdaya.Khanza mendadak pusing dan limbung. Tubuhnya miring hampir terjatuh kalau saja rekan dokter dan perawat tidak menangkap tubuh Khanza."Lho? Dokter Khanza kenapa? Mukanya pucat banget," kata Suster Bunga khawatir."Iya, nih. Kamu dari kemarin kok lemes terus, Za?" tanya Dokter Anna, sahabat Khanza.
Teman-teman, sebelum baca, jangan lupa vote. Yang ikutin cerita ini, follow ya sebagai bentuk support. Makasih. Keenan bingung bukan main bagaimana lagi caranya membujuk Khanza. Sudah dua hari Khanza menolak bertemu dengannya. Jangankan membiarkan Keenan masuk ke rumah, menatap wajah Keenan saja sang istri tak sudi.Sore itu sepulang kerja Keenan, hujan turun lebat. Apes. Keenan lupa bawa jas hujan. Jadilah ia basah kuyub dari kantor."Assalamualaikum, Za. Aku pulang," kata Keenan dengan suara bergetar kedinginan di teras rumah.Tidak ada sahutan. Keenan menarik napas berat dan memilih menunggu di bangku teras ditemani rintikan hujan yang semakin deras.-oOo-Khanza mual-mual dan berlari cepat ke toilet sebelum muntah di sembarang tempat. Perasaannya campur aduk. Jadi begini rasanya jadi wanita hamil? Baru saja ia tersenyum, tapi senyum itu langsung memudar ter
Hai! Keenan dan Khanza balik lagi. Sebelum baca, jangan lupa vote dan follow, ya. Makasih. Keenan duduk merenung di sudut ruangan masjid. Rambutnya masih basah bekas air wudhu. Ia baru saja selesai melaksanakan sholat Magrib dan berencana malam itu sebaiknya tidur di masjid saja. Sudah tiga hari dia meriang tidur di luar rumah. Gemuruh badai masih menguasai hati Khanza, sang istri.Duh, pingin banget makan rujak. Udah dicari ke sana kemari gak nemu 😢 mau keluar lagi, udah kecapekanItu WhatsApp story Khanza yang baru dibaca Keenan dari nomor lain yang tidak diketahui Khanza bahwa sebenarnya itu milik Keenan juga, karena nomor Keenan sudah diblokir. Segera saja Keenan mengirim pesan SMS pada Khanza menawarkan untuk membelikan rujak, tapi tidak ada jawaban. Dugaan Keenan, mungkin nomor ponselnya juga sudah diblok."Keras kepala," gumam Keenan lalu memakai jaketnya dan melangkah meninggalka
Kafe tempat Keenan membuat janji temu dengan Roman tidak begitu ramai. Mayoritas pengunjungnya adalah pekerja sibuk yang punya waktu sesaat sebelum kembali bekerja. Keenan sudah menunggu Roman di salah satu meja di bagian pojok selama sepuluh menit. Tak lama Roman muncul dari pintu kafe. Segera Keenan membetulkan posisi duduknya dan tampak tegang. Roman menyeringai begitu melihat Keenan lalu akhirnya duduk di hadapan laki-laki yang ingin sekali ia hajar. "Ngapain lu ajak gua ketemuan di sini? Mau berubah pikiran dan nyerahin Khanza sama gua?" ujar Roman. Keenan mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat menonjol. "Sama sekali bukan. Tapi gua memang mau akhiri urusan sama lu," sahut Keenan yang kemudian meletakkan koper di atas meja dan membukanya. Tampak lembaran-lembaran uang tersusun di dalamnya. Roman terperanjat dan memandang Keenan dan uang bergantian kelihatan heran dan tak menyangka. "Apa ini?"
Di ruangan KUA itu Vino menunggu dengan jantung berdebar. Mila belum hadir.Orang tua Vino dan saksi duduk ikut menunggu. Beberapa mulai menebak jangan-jangan calon mempelai wanita berubah pikiran.Vino mulai gugup dan memikirkan hal buruk. Bukan gengsi. Sudah lama ia tidak memikirkan itu untuk mendapatkan Mila. Ia hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan. Bisa bersatu dengan Mila dan anaknya Endaru, meskipun mungkin Mila belum mencintainya."Assalamualaikum. Maaf, saya terlambat," ujar suara lembut yang langsung dikenali Vino.Terdengar suara orang-orang di ruangan menyahuti salam.Dengan sigap Vino bangkit berdiri menyambut Mila yang baru tiba memasuki ruangan tempat ijab qabul akan dilaksanakan. Seperti mimpi. Mila benar-benar ada di hadapan Vino terlihat sederhana, tapi sangat cantik. Ia mengenakan gaun putih panjangnya di bawah lutut dengan detail brokat pada bagian leher dan lengan. Sepatu balet putih melekat di kaki
Sepulang dari Bali, kehidupan Keenan dan Khanza semakin bahagia. Keenan setiap hari saat di kantor merindukan Khanza dan ingin cepat bertemu. Khanza pun harus bersusah payah berkonsentrasi dengan pekerjaannya sambil mengingat Keenan.Seorang pasien, ibu berusia enam puluh tahun, akan menjalani operasi pagi ini. Operasi besar. Bukan sekadar pemasangan klep jantung.Khanza jadi teringat dengan Bu Ida, mertuanya. Awal mula ia mengenal Keenan adalah saat ia mengoperasi Bu Ida. Ia memang tidak tahu menahu rencana awal Keenan dan mantan suaminya, Roman. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya Keenan adalah jodoh terbaik untuknya."Saya nggak mau dioperasi. Biarin saya mati aja," celetuk ibu itu terlihat lesu dan stress."Bu, jangan ngomong begitu. Dosa, Bu," ujar anak perempuannya kesal. Kelihatan sekali sudah lelah fisik maupun batin."Nggak mau. Buat apa hidup kalau abangmu nggak mau nurutin Ibu?" kata si ibu lagi.
Khanza memindahkan pakaian dari koper ke lemari di kamar hotel. Senyumnya merekah saat memegang lingerie merah muda dan piyama tipis berwarna hijau soft. Ia sendiri yang menyiapkan busana seksi itu untuk menghabiskan malam-malam indah bersama Keenan di Bali.Mereka memutuskan pergi berbulan madu. Altan yang sudah berusia dua tahun dititipkan bersama nenek dan tantenya. Hanya tiga hari waktu yang akan mereka lewati di Bali karena Altan tidak mau ditinggal lama oleh mama dan papanya. Khanza juga tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pasien membutuhkan pertolongannya.Napas lembut Keenan menderu di leher Khanza. Diam-diam Keenan mengendap ke kamar dan mendekati Khanza."Sayang," bisik Keenan di telinga Khanza. "Kenapa nggak dipakai ini?" Keenan meraih lingerie di tangan Khanza.Khanza terkikik geli dan menyembunyikan lingerie dari Keenan."Ini kan surprise buat malam. Kamu jangan lihat, Mas." Khanza dengan manja mendorong Keenan.
Beberapa waktu telah berlalu. Sejak menikah dengan Vino, Mila sudah pergi dari rumah Bu Ida membawa Endaru.Seperti janji Mila, ia tetap mengirimkan ASIP untuk Altan, karena kondisi Altan membaik. Sudah mau dibujuk minum dengan dot oleh Keenan.Terbukti kekhawatiran Khanza selama ini bisa diatasi. Harus sabar dan kuat. Memang sulit, tapi jika percaya dengan kekuatan doa, semua akan selesai dengan baik.Khanza mulai tenang dan semakin sabar. Walaupun belum sembuh, masih lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa, keluarga di sekeliling Khanza tidak pernah meninggalkannya. Terutama Keenan selalu men-support-nya.Seperti hari ini, Khanza sudah mulai bisa menggerakkan telapak kakinya. Keenan teramat senang. Berulangkali dia mencium Khanza atas kemajuan itu."Alhamdulillah. Yakin sebentar lagi bisa jalan. Bismillah, Sayang," ucap Keenan menyemangati Khanza.Khanza tersenyum. "Aamii
Khanza masuk ke kamar Mila. Mila inisiatif menutup pintu kamar, karena Khanza ingin bicara padanya dari hati ke hati.Tidak ada senyuman di wajah Khanza. Hanya kemuraman. Begitu Mbak ART meninggalkan Khanza dan Mila berdua saja, mereka lama terdiam. Khanza tampak sulit memilih kata-kata."Mbak, doain aja ya biar pernikahanku lancar," ujar Mila memulai pembicaraan.Khanza menatap Mila penuh arti. "Tapi kenapa, Mila?"Mila tersenyum. "Aku juga ingin Endaru bahagia, Mbak. Vino menyayangi Endaru.""Lalu bagaimana dengan kamu?" Khanza menatap Mila tajam.Mila membuang pandangan. Ada kegetiran tergambar di wajahnya. Dijelaskan juga mungkin tidak akan ada yang mengerti. Itu yang dipikirkan Mila.Berat bagi Mila untuk menerima Vino. Seorang korban perkosaaan jarang menerima pemerkosanya sebagai pasangan. Namun, Mila punya alasan lain. Vino memang sudah berbuat jah
Mila duduk melamun di kamar tamu, tempat di mana ia menetap selama tinggal di rumah Khanza dan Keenan. Endaru dan Altan keduanya sedang bermain dengan anggota keluarga yang lain.Pikiran Mila sendiri jadi tidak menentu. Makan pun jadi tidak enak. Suasana saat ini benar-benar tidak nyaman bagi Mila. Setiap kali Mila berpapasan dengan Khanza, wanita itu pasti bertanya apa keputusannya.Masalahnya, menikah dengan lelaki beristri bukan perkara mudah. Meskipun Keenan adalah laki-laki yang dicintai Mila, bahkan hingga saat ini, tapi Mila bukan tipe wanita yang sanggup menjadi madu."Pikirkan Endaru, Mila. Kami berjanji, kalau kamu mau menikah sama Mas Keenan, Endaru akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Altan. Endaru juga akan diberikan pendidikan agama dan sekolah yang terbaik."Kata-kata Khanza itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Mila. Memang benar Keenan menyayangi anaknya. Namun ... setuju dipoligami?Keenan lewa
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak