Selamat Idul Fitri teman2 yg merayakan. Mohon maaf lahir dan batin 🙏
"Apa ini tidak terlalu berlebihan?" tanya Anna sembari berputar menatap cermin yang sedikit lebih tinggi dari tubuhnya. "Oh, ayolah Nyonya. Ini pesta ulang tahun cucu gubernur." Darcy langsung mengeluh ketika mendengar ucapan sang nyonya. "Tapi itu adalah pesta ulang tahun anak remaja bukan? Tidakkah menggunakan gaun malam terlalu berlebihan?" Anna kembali bertanya. "Justru karena ini adalah pesta ulang tahun anak remaja." Kali ini Astrid yang menjawab. "Lebih tepatnya, ini adalah pesta perkumpulan kaum atas berkedok pesta ulang tahun anak remaja." "Coba pakai anting ini." Astrid menyerahkan benda yang dia sebutkan. Walau dengan wajah cemberut, Anna tetap mengambil anting yang diberikan padanya. Anting panjang yang terlihat sangat cocok dengan gaun putih dengan model kimono yang dia pakai. "Coba aku lihat." Astrid menjauh untuk menatap iparnya yang sudah siap itu, untuk melihat apakah ada yang kurang. Dia memang bertugas mendandani perempuan yang jauh lebih muda darinya
"Wah, Alaric. Calon perdana menteri kita yang tampan, akhirnya memperlihatkan pasangannya pada dunia." "Selamat malam," gumam Anna yang setengah bersembunyi di balik tubuh suaminya. "Maaf, tapi dia anak yang sangat pemalu." Mau tidak mau, Alaric segera mengambil alih pembicaraan. "Lalu ini juga pesta yang sangat luar biasa. Aku yakin cucumu akan sangat bahagia." "Terima kasih atas ucapan manis itu, tapi apakah istrimu atau pacarmu ini akan terus bersembunyi di belakangmu?" tanya si pemilik acara dengan kening yang sedikit berkerut. "Bukankah kau setidaknya harus memperkenalkan dia?" Alaric tidak bisa langsung menjawab dan memilih untuk melirik istrinya terlebih dulu. Jujur saja, dia tidak berpikir kalau Anna akan terlihat setakut ini. Hal itu tentu saja membuat Alaric kebingungan, apalagi ini hanya pesta biasa saja bukan? "Kau tidak apa-apa?" Alaric memilih untuk bertanya lebih dulu, dengan cara berbisik. "Aku ... tidak apa-apa." Walau sempat ragu, Anna pada akhirnya mengg
Alaric menatap ke depan dengan kening bekerut. Dia melihat Marjorie yang sedang tertawa entah bersama dengan siapa di sana. Yang jelas, Alaric belum pernah melihat lelaki yang tertawa bersama dengan mantannya itu. Rasanya ada yang aneh, tapi Alaric tidak tahu apa hal aneh yang dia rasakan. Yang jelas, ini berbeda dengan apa yang dulu dia rasakan. "Al." Tiba-tiba saja terdengar suara yang begetar. "Ada apa?" Alaric refleks menoleh dan menemukan istrinya yang sekarang ini gemetar. "Kau kenapa?" Tentu saja Alaric akan bertanya dengan kening berkerut. "Kenapa gemetar?" Sayangnya, Anna tidak bisa menjawab. Dia hanya menatap ke satu arah, kemudian tiba-tiba saja menutup matanya dengan sangat rapat. "Ada apa di sana?" Penasaran, Alaric pun melihat ke arah yang dilihat istrinya. Tidak jauh di belakang Marjorie. "Aku tidak melihat apa pun di sana, apa ada seseorang yang aneh?" "Tidak ada lelaki tua di sana?" tanya Anna masih dengan mata yang terpejam. "Lelaki tua seperti apa?"
"Ada keributan apa itu di luar?" Alaric langsung menoleh ketika mendengar suara bernada tanya barusan. Dia yang entah bagaimana merasa penasaran, segera mengeringkan tangan dengan tisu dan keluar dengan langkah yang tidak buru-buru. "Anna?" Kening Alaric langsung berkerut, ketika dia melihat dan mendengar suara teriakan sang istri. "Ada apa ini?" Tentu saja Alaric segera mendekat. "Tidak tahu Tuan." Darcy menggeleng keras. "Nyonya tadi terjatuh dan menabrak seseorang, lalu tiba-tiba dia berteriak," lanjutnya menjelaskan dengan cepat. "Sialan," desis Alaric sangat pelan, kemudian menatap sekitarnya. "Maaf, tapi bisakah kalian menjauh?" lanjutnya pada semua orang. "Dia istriku dan aku bisa menangani ini." Alaric dengan cepat menahan kedua tangan sang istri yang memberontak dibantu oleh Darcy, kemudian meraih tubuh Anna ke dalam dekapannya. "Hei, Anna." Setelah semua orang agak menjauh, Alaric berusaha menyadarkan sang istri. "Ini aku, Alaric." "Tidak aku mohon." Bukannya
"Apakah Tuan mengkhawatirkan Nyonya Anna?" Caspian yang baru datang bertanya, ketika melihat tuannya yang terlihat cemas. "Tentu saja aku akan memikirkannya," jawab Alaric tanpa ragu. "Biar bagaimana, aku tidak merencanakan adanya anak." "Kehamilan Nyonya belum dipastikan." Caspian mengulurkan tangan yang membawa segelas kopi panas. "Jika sudah dikonfirmasi, baru kita bisa memikirkan jalan keluar yang baik." "Memangnya ada jalan keluar apa lagi?" Alaric bertanya dengan sebelah tangan memegang cangkir kertas dan tangan lainnya terulur mengambil sandwich yang diberikan sang asisten. "Aku tidak mungkin membuangnya bukan?" "Tentu saja tidak, tapi mungkin ada hal baik lain yang bisa kita lakukan." Sang asisten, kemudian duduk di samping sang tuan, sama-sama menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan aktivitas bandara. Sesuai yang dikatakan Alaric semalam, pagi ini dia sudah harus berangkat lagi. Kali ini, Alaric memilih pesawat komersil dan tentu saja harus datang dan menung
Alaric memijat pangkal hidungnya. Dia sudah mendapat kabar dari rumah tentang Anna, tapi itu malah membuatnya makin sakit kepala. Siapa yang menyangka kalau sekali kesalahan akan membuatnya sakit kepala seperti sekarang ini. "Apa istrimu membuat masalah?" tanya Marjorie yang mendatangi mantannya dengan senyum lebar dan segelas minuman dingin. "Ya." Alaric tidak ragu mengangguk. "Dia membuat masalah yang cukup membuatku sakit kepala," lanjutnya menerima minuman yang diberikan oleh sang mantan. Alaric merasa butuh sesuatu yang segar. Apalagi, dia baru saja menyampaikan pidato kampanye yang membuat tenggorokannya terasa kering. "Kali ini, apa lagi yang dia lakukan?" tanya Marjorie duduk di depan Alaric, sambil menopang dagu di meja. "Dia mengamuk di jalan?" "Anna hamil," jawab Alaric tanpa perlu berpikir panjang. "Padahal aku sedang sibuk kampanye dan mungkin tidak bisa terus menemaninya. Itu tentu saja membuatku sakit kepala." "Apa maksudmu?" Alih-alih mengerti, Marjorie m
"Tuan?" Caspian memanggil, sembari menatap ke sekeliling ruangan. "Apakah kau pergi ke toilet?" Tidak mendapat jawaban, sang asisten langsung pergi mencari ke toilet. Dia bahkan sampai pergi mencari ke tempat yang memiliki mesin penjual otomatis, karena berpikir kalau Alaric akan pergi beli kopi atau camilan. Dia melakukan semua itu, sembari menelepon sang tuan. "Kenapa malah tidak diangkat?" gumam Caspian dengan kening berkerut. "Oh, Ian kebetulan kau muncul." Tiba-tiba saja, Marjorie muncul. "Apa kau melihat Alaric? Aku mencarinya sejak tadi, tapi dia tidak ditemukan." "Aku juga sedang mencari Tuan," jawab Caspian dengan kening berkerut. Entah kenapa dia merasa ada yang salah. "Loh, jadi kita harus bagaimana?" Marjorie malah terlihat sedikit terkejut. "Memang sudah tidak ada jadwal setelah ini, tapi nanti malam? Bukankah kita akan pergi makan malam bersama?" "Makan malam bersama bisa ditunda, Nyonya Jackson." Caspian makin mengerutkan kening. "Lagi pula tim kita tidak ak
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marjorie dengan bola mata yang membulat karena terkejut. "Bukankah harusnya itu pertanyaanku?" tanya Caspian dengan senyum lebar. "Kau seharusnya mencari di dalam gedung dan bukan di dalam kamar hotel seperti sekarang." "Oh, soal itu." Marjorie menyelipkan rambut di telinga, berusaha untuk tetap tenang. "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak badan dan perlu untuk segera pulang dan beristirahat." "Tapi kenapa kau tidak memberitahu?" tanya Caspian dengan kedua alis terangkat dan sebelah tangan menahan pintu, sementara yang lainnya bertengger di kusen pintu. "Padahal kita sedang mencari Tuan Alaric yang menghilang loh." "Aku tidak memberitahu?" tanya Marjorie pura-pura bodoh. "Rasanya tadi aku sudah mengirimkan pesan." Sayangnya, Caspian tidak terlihat ingin membalas ucapan perempuan di depannya. Dia justru melihat penampilan Marjorie yang sebenarnya sudah cukup berantakan. Hal yang membuatnya mendengus geli. "Apa kau habis bercinta? K
"Eh, ketemu dengan teman Papa?" tanya Anna yang kala itu baru menginjak usia delapan belas tahun. "Untuk apa?" "Mereka penasaran denganmu, sekalian saja temani Papa ke tempat pertemuan." Sang ayah berbicara dengan lembut. "Lagi pula, sekarang kau kan sudah lulus." "Benar." Anna mengangguk pelan. "Aku lulus tepat saat baru berumur delapan belas." "Jadi tentu tidak masalah bukan?" tanya sang ayah dengan lembut. "Maksud Papa, kau tidak sedang belajar dan tidak masalah kalau harus begadang selama beberapa hari bukan?" "Tidak masalah sih." Anna kembali mengangguk. "Aku akan pergi menemani Papa." "Anak baik." Sang ayah mengelus pelan kepala sang putri yang kini tersenyum cerah. Anna tentu saja akan senang jika ayahnya senang. Biar bagaimana, sekarang hanya ada mereka berdua saja. Anna pasti akan berusaha untuk melakukan apa pun yang terbaik untuk menyenangkan lelaki yang sudah bersamanya sejak lahir. Kecuali mungkin satu hal. "Maaf, tapi tolong sedikit menjauh." Anna memberita
"Apa maksud berita ini Alaric?" Seseorang memukul meja. "Aku sama sekali tidak mengerti." Sayangnya, Alaric harus menggeleng. Bukan tidak tahu apa-apa, tapi dia sedang berusaha menghindar. "Ini berita tentang istrimu, bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?" hardik orang yang lain dan membuat Alaric menghela napas. Pagi ini, Alaric memang buru-buru ke kantor karena menerima tentang berita sang istri. Dia bahkan nyaris saja melewatkan sapaan selamat pagi sang istri yang hari ini bangun sedikit lebih terlambat. Jujur, ini membuatnya sakit kepala. "Dengar." Setelah cukup lama terdiam, Alaric akhirnya berbicara juga. "Apa pun yang kalian baca itu tidak benar. Sekali pun itu benar, aku yakin istriku adalah korbannya. Bahkan selama ini pun dia adalah korban grooming." "Kalau begitu berikan bukti dan cepat klarifikasi." Seseorang memberitahu. "Tidak semua orang bisa menerima kenyataan itu." "Sekarang perempuan akan lebih banyak mendukung sesama perempuan." Levi yang biasanya
"Calon perdana menteri Alaric Bastian Crawford akhirnya memperkenalkan istrinya pada khalayak umum." Anna membaca judul berita yang ada pada layar ponselnya. "Siapakah sebenarnya Nyonya muda Crawford yang terlihat polos bak malaikat." "Oh, yang benar saja." Anna memekik dan nyaris saja melempar ponselnya. "Kenapa bahasanya menjijikkan begini?" "Kata siapa menjijikkan?" Elizabeth langsung melotot ketika mendengar ucapan menantunya. "Lagi pula, kenapa lompat-lompat? Kau menakuti bayinya." "Mom, bayi di dalam dilindungi plasenta." Astrid memberitahu. "Dia tidak akan takut." "Tapi bukan berarti Anna tidak bisa jatuh kan?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Kalau dia jatuh dengan keras, bayinya bisa kenapa-kenapa." Mendengar ucapan orang tua itu, Anna dan Astrid langsung terdiam. Mereka dengan cepat memperbaiki duduknya, tidak ingin diceramahi lagi. "Tapi kenapa kalian berdua ada di sini?" Anna kembali bersuara, dengan kening berkerut dan melihat dua orang yang duduk di ki
"Bagaimana kalau kita mendengar sepatah atau dua kata dari Nyonya Muda Crawford?" "Ya?" Anna melotot mendengar pertanyaan yang dilemparkan padanya itu. Padahal tadi Alaric bilang dia hanya perlu duduk cantik di studio, bersama dengan ipar dan mertuanya. Katanya paling hanya perlu sedikit menyapa, tapi kenapa sekarang dia ditanyai begini. "Ambil saja mic-nya." Astrid berbisik pada sang ipar, agar tidak terlalu lama terdiam. "Tidak masalah kan kalau kami menanyai istri Pak Alaric yang baru terlihat ini?" Pembawa acara debatnya bertanya. "Untuk yang satu itu, tanyakan saja langsung pada istriku. Dia yang akan kalian tanyai bukan?" Alaric memilih jawaban yang paling aman. "Jika dia tidak mau, tentu saja kau tidak boleh bertanya." "Jadi bagaimana?" Pembawa acara kembali bertanya pada Anna. "Tentu saja bisa." Mau tidak mau, Anna mengangguk. "Tapi aku jadi takut dengan pertanyaannya." "Tenang saja, kami hanya ingin tahu tentang dirimu." Anna menaikkan kedua alis mendengar u
"Kenapa harus pada saat Anna sedang hamil muda?" tanya Elizabeth dengan mata melotot. "Kenapa tidak sebelumnya atau selepas trisemester pertama?" "Aku ingin melindungi Anna dari dekat," balas Alaric dengan tegas. "Dia memang bisa dilindungi dari dunia politik jika terus di dalam rumah, tapi tidak dalam kehidupan sosial dan sehari-hari. Contoh kecilnya saja pada saat Anna bekerja di butik tempo hari." "Itu benar, tapi ...." "Tolong jangan katakan kalau itu bukan hal yang besar." Alaric memotong ucapan sang ibu. "Sekarang mungkin tidak masalah, tapi bukan berarti suatu hari nanti hal ini tidak akan menjadi besar." Padahal Anna baru saja ingin mengatakan kalau kejadian dulu itu bukan apa-apa, tapi dia batal mengatakannya. Apalagi, sang ibu mertua juga tidak lagi bisa berkata apa-apa. Sepertinya, keputusan Alaric sudah bulat. "Kalau begitu, tolong setidaknya kau perhatikan Anna." Pada akhirnya, Elizabeth memilih untuk menyerah saja. "Jaga dia dengan baik, kalau perlu tambah pen
"Biarkan aku menyentuhmu, Anna," bisik Alaric, tepat di telinga sang istri. "Sebentar saja dan aku akan melakukannya dengan pelan tanpa menyakitimu dan anak kita." "Tapi tidak bisa begitu, Al." Anna melenguh pelan, karena merasakan tangan sang suami mulai merajalela. "Kau masih dipengaruhi obat dan mungkin tidak bisa mengendalikan diri." "Aku tahu, tapi aku yakin bisa mengendalikan diri." Sayangnya, Alaric tidak mengindahkan sang istri. "Aku menginginkanmu." Kedua mata Anna yang tadi terpejam, kini membuka. Dia yang baru saja terbangun dari mimpi nakalnya, kemudian melihat ke sisi ranjang yang lain. Di sana, dia bisa melihat sang suami yang tertidur pulas tanpa mengenakan busana. "Oh, sialan!" Anna menyugar rambut panjangnya secara asal. "Padahal aku pikir itu hanya mimpi basah, tapi ternyata sungguhan." Padahal Anna hanya bicara pelan, tapi sang suami menggeliat pelan dan membuka matanya dengan perlahan. Lelaki itu bahkan bangun dari posisi tidurnya, menatap sang istri deng
"Tunggu dulu, Al." Anna mendorong bahu suaminya dengan cukup keras, sambil berusaha merangkak mundur di atas ranjang. "Aku ini sedang hamil muda loh." "Lalu memangnya kenapa kalau sedang hamil muda?" tanya Alaric dengan tatapan menerawang. "Kita masih bisa bercinta kan?" "Menurut yang pernah kupelajari dan yang baru saja kubaca di internet, trisemester awal sangat rentan dan tidak disarankan untuk bercinta. Apalagi dengan keadaanmu yang seperti sekarang." "Kenapa denganku?" Alih-alih mendengarkan, Alaric malah melepas kancing kemejanya satu per satu. "Kau dipengaruhi obat, jadi tidak mungkin bisa melakukannya pelan-pelan." Anna memekik cukup keras. "Aku akan pelan." "Tidak mungkin kau bisa pelan dalam keadaan seperti ini." Tidak tahan lagi, Anna memilih berteriak. Dia makin panik karena kini sang suami mulai membuka celana. "Tuan aku minta maaf." Padahal Alaric sudah setengah jalan membuka celananya, tapi tiba-tiba saja terdengar suara di belakangnya. Setelah itu, dia
"Maafkan aku Nyonya." Tiba-tiba saja, Darcy datang dan membungkuk. "Aku melakukan kesalahan dan pantas dihukum." "Tunggu dulu." Anna yang sedang bersantai sambil mengunyah biskuit, langsung menghentikan aktifitasnya. "Memangnya kau melakukan kesalahan apa?" "Ini tentang pil pencegah kehamilan yang pernah Nyonya minum." Darcy tentu saja akan menjelaskan. "Rupanya itu bukan morning pill, tapi hanya pil KB biasa saja." "Ah, begitu toh." Anna mengangguk paham. "Pantas saja aku tetap hamil walau sudah minum pil, ternyata memang salah ya." "Ya." Darcy ikut mengangguk. "Seharusnya Nyonya meminum morning pill, yang memang diminum sekali saja setelah berhubungan. Kalau pil KB biasa, itu harus diminum rutin baru berfungsi." "Aku juga tahu itu Darcy, tapi terima kasih sudah menjelaskan." Untungnya, Anna sama sekali tidak marah atas keteledoran sang asisten. "Nyonya tidak marah?" "Lalu apa kau sengaja membeli pil yang salah?" Tentu saja Darcy akan menggeleng sebagai jawabannya. It
"Ian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marjorie dengan bola mata yang membulat karena terkejut. "Bukankah harusnya itu pertanyaanku?" tanya Caspian dengan senyum lebar. "Kau seharusnya mencari di dalam gedung dan bukan di dalam kamar hotel seperti sekarang." "Oh, soal itu." Marjorie menyelipkan rambut di telinga, berusaha untuk tetap tenang. "Aku tiba-tiba saja merasa tidak enak badan dan perlu untuk segera pulang dan beristirahat." "Tapi kenapa kau tidak memberitahu?" tanya Caspian dengan kedua alis terangkat dan sebelah tangan menahan pintu, sementara yang lainnya bertengger di kusen pintu. "Padahal kita sedang mencari Tuan Alaric yang menghilang loh." "Aku tidak memberitahu?" tanya Marjorie pura-pura bodoh. "Rasanya tadi aku sudah mengirimkan pesan." Sayangnya, Caspian tidak terlihat ingin membalas ucapan perempuan di depannya. Dia justru melihat penampilan Marjorie yang sebenarnya sudah cukup berantakan. Hal yang membuatnya mendengus geli. "Apa kau habis bercinta? K