Sore ini Claudia dan Dirga jadi pergi ke sebuah restoran ayam yang terletak di salah satu mall. Jaraknya setengah jam lebih dari rumah.“Biar Mbak yang traktir,” ucap Claudia sesaat setelah masuk ke dalam dan sedang melihat-lihat menu.Meskipun uang pegangan Claudia sudah sangat menipis, dia berniat mentraktir Dirga karena pemuda itu sudah baik padanya.“Apaan, sih, gue aja yang bayar,” tolak Dirga tidak terima. Egonya terluka sebagai seorang pria sejati jika sampai sang wanita yang membayar makanannya.“Nggak usah, Mbak–“Tolong ya, gue cuma mau makan ayam sama Mbak, nggak minta dibayarin pula!” sela Dirga memasang wajah dinginnya.“Oke oke, galak banget, sih,” cibir Claudia tidak habis pikir. Dia menurut saja apa kata Dirga daripada membuat pemuda itu mengeluarkan taringnya.Keduanya memesan ayam satu paket untuk dua orang, pesanan diambil dan langsung bayar, Claudia mengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk. Tersisa beberapa meja yang kosong. Pandangan Claudia tertuju pada s
Dibandingkan kemarin-kemarin, Claire berangkat lebih pagi kali ini. Entah mengapa dia merasa … bersemangat. Dia bahkan tidak cukup tidur semalam karena tak sabar menunggu pagi. Sepanjang menelusuri koridor, Claire tidak berpapasan dengan siapa pun. Ruangan dosen juga lengang. Kaki jenjang Claire segera melangkah menuju meja kerjanya berada. Tapi, langkahnya melambat seiring netranya mendapati sebuah buket bunga Peony cantik tergeletak tak berdaya di meja sebelahnya. Ya, buket itu ada di atas meja Claudia. “Cish … siapa yang mengirimi Clau bunga?” Claire tergelak di akhir kalimatnya. Namun, dia melewatkan satu hal penting. Untuk memastikannya, Claire tak lekas ke mejanya, malah mampir pada meja Claudia. “Mungkinkah … dia?” gumam Claire sambil menarik catatan kecil yang tersemat di tengah buket tersebut. Hanya ada satu nama yang terlintas dibenak Claire. Pria yang sempat datang bersama Claudia ke apartemennya; Ryuga Daksa. Claire mendengus saat membaca isi catatannya, ‘Semangat b
Claire masih setia menunggu jawaban Claudia. Wanita itu tampak tidak baik-baik saja.“A-aku oke,” jawab Claudia singkat. Dia memutuskan duduk di kursinya dengan firasat buruk. Apalagi setelahnya, Claudia terus bersin dan tangannya mulai merasakan gatal.“Claudia.”Panggilan itu membuat Claudia tersentak. Sosok Claire kini sudah ada di sampingnya. Wanita itu mendorong kursinya agar lebih dekat dengan Claudia.“K-kenapa?” sahut Claudia tanpa menatap Claire.Sesaat Claudia mencoba tampak tenang.“Harusnya gue yang tanya itu sama lo. Lo kenapa, Clau? Lo beneran marah sama gue gara-gara yang kemarin itu?”Claire menghela napas, dia menyentuh atas permukaan tangan Claudia.Saat itu juga Claudia refleks menepisnya. Dia terus menekankan pada dirinya jika sejak kemarin, hubungan pertemanannya bersama Claire tidak bisa sama lagi seperti dahulu. Selain itu, tangannya juga sedang gatal. “Ekhem, Claire … Claudia.”Tiba-tiba saja Bu Desi sudah ada di hadapan meja Claudia. Jelas Claudia tidak menya
Lahir dari keluarga terpandang, memiliki tunangan yang diidolakan banyak orang, dan memiliki kakak pria yang mendukungnya membuat Claire tampak menjadi sosok yang sangat beruntung di dunia. Sedikit saja wanita itu terluka, Claudia yakin jika banyak pihak yang akan pasang badan untuk melindungi Claire Lee. “Kamu setuju, Claudia?” Bu Yuli bertanya, memastikan sekali lagi. Ekor mata Claudia melirik Claire. Wanita itu masih mempertahankan senyumnya. Senyum yang bisa membuat siapa pun luluh padanya. Tapi, kini tidak lagi bagi Claudia. “Seandainya aku boleh menolak, bisa?” tanya Claudia memberanikan diri. Perlahan tangan Claire yang menggelayut di lengan Claudia mengendur. Dia langsung memasang raut wajah sedih. “Claudia, kenapa?” lirihnya. Pun, sepasang manik cokelat Liam yang menatapnya tajam. “Apa alasanmu menolak Claire untuk dijadikan wakil ketua?!” Bu Yuli hanya memandang Claudia, menunggu jawaban apa yang akan dikatakan wanita tersebut. Sejujurnya, semenjak kedatangan Liam Lee
Suara dalam nsn berat itu berjalan mendekat, masuk ke dalam ruangan. Bu Yuli yang melihat sosok tersebut langsung berdiri dari duduknya, “Pak Ryuga.”Mendengar nama itu membuat napas Claudia tercekat. Terlebih saat Claudia merasakan ada sebuah tangan yang menyambar lengannya lembut hingga wanita itu bangkit dari duduknya.Ryuga sempat melirik sebentar ke arah Claudia yang menundukkan wajah dan mengedarkan pandangan menatap sosok-sosok yang ada di sana, “Kalau bukan Claudia ketuanya, maka jangan harap pameran seni ini akan berjalan.”Siapa yang menyangka jika Ryuga akan datang? Claire terkejut bukan main. Jantungnya kembali berdebar. Entah karena terkejut atau ada hal lain dibandingkan itu.“Pak Liam, beliau Pak Ryuga selaku Presdir Daksa Company yang saya maksud,” jelas Bu Yuli.Liam Lee tak bergeming. Dia jelas tahu betul sosok Ryuga dalam dunia bisnis, apalagi keduanya bergerak di bidang yang sama. Namun, selama ini Liam belum pernah menjalin kerjasama dengan Ryuga.Claire, Bu Rika,
HAPRyuga berhasil menangkap tangan Claudia dan menuntun arah ke mana wanita itu pergi. Satu-satunya tempat yang aman adalah mobil hitam miliknya.Claudia hanya menurut, tak ada pemberontakan bahkan sekadar bertanya. Energinya seakan terkuras habis di ruangan dekan tadi.Begitu sudah masuk ke dalam mobil, Ryuga menekan tombol pembatas antara kursi sopir dan penumpang. Pria itu sempat menyatakan tujuannya pergi, “Kita ke rumah sakit terdekat.”Barulah hal itu membuat Claudia penasaran. “Untuk apa kita ke sana?”Ryuga mendengus mendengar pertanyaan Claudia. Wanita itu membuat Ryuga hampir kehilangan kewarasannya.“Lihat tanganmu, Claudia. Apa yang terjadi?” desis Ryuga menunjuk lengan Claudia yang sudah dipenuhi bentol-bentol merah. Pria itu sempat melihatnya saat di ruangan dekan tadi dan bukan waktu yang tepat menanyakan keadaan Claudia.Ingin mengelak, tapi percuma saja. Ryuga sudah melihatnya. Claudia hanya dapat memeluk lengannya. “Alergiku kambuh,” beritahunya.Satu dua lima detik
Usai menebus obat, Ryuga kembali menemui Claudia yang untungnya wanita itu tidak pergi ke mana-mana. Diam-diam Ryuga menghela napas lega.“Sudah, Ryuga?” tanya Claudia.“Mmm … obatnya,” kata Ryuga seraya menyerahkan kantong kresek berisikan obat yang harus diminum Claudia. “Kalau kamu masih merasa gatal, oleskan salep juga, Claudia,” jelas Ryuga menyerahkan kresek obat ke tanClaudia menerima obatnya. “U-uangnya nanti aku ganti–“Apa aku tampak tidak punya uang sehingga kamu harus mengganti uangku, Claudia?”Ucapan Claudia menyinggung harga dirinya. Ryuga menatap Claudia dengan manik hitamnya yang menyorot tajam.“Aku cu-cuma nggak mau punya hutang budi,” jujur Claudia.“Tidak perlu merasa begitu. Sekarang, ayo ikut aku, Claudia!” Perkataan yang terucap dari bibir Ryuga adalah perintah.Tidak ingin memancing kemarahan pria itu, Claudia menuruti langkah Ryuga yang sangat cepat. Dia kesusahan mengejar langkah Ryuga yang besar-besar.Alhasil langkahnya yang terseok itu membuat Claudia te
“Tidakkah seharusnya sesekali kamu berkunjung ke kantorku, Claudia?”Alih-alih menjawab, Ryuga malah menimpali dengan pertanyaan. Pria itu menambahkan, “Agar orang-orang di kantorku tahu jika aku sudah punya tunangan, Claudia. Jadi, tidak ada lagi wanita-wanita yang berusaha merayuku.”Ucapan Ryuga itu terdengar percaya diri sekali. Claudia sampai menyipitkan mata sambil memandangi Ryuga.“Apa itu nggak masalah?” tanya Claudia berikutnya. Wanita itu mengedikkan bahu, “Maksudku, orang-orang akan membicarakan hubungan kita kalau kita putus, Ryuga.”Membayangkannya saja membuat Claudia sudah merasa lelah.“Kamu sudah membayangkan kita akan putus, Claudia?” tanya Ryuga dengan suara ketusnya.Mulut Claudia terbuka dan tertutup. “Seandainya hubungan sandiwara ini berakhir, itu akan merepotkan jika orang-orang di kantormu mengetahuinya,” jelas Claudia yang tidak ingin Ryuga salah paham padanya.“Nggak masalah,” dengus Ryuga. Lagipula orang-orang yang dimaksud Claudia tidak akan berani bergos
Karena pertolongan dua pemuda itu, Aruna dibaringkan di sisi lapangan tepat di bawah pohon yang cukup rindang sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung.Usai membaringkan Aruna, Aland menatap ke arah gadis yang diduga sebagai teman larinya Aruna.“Kenapa Aruna bisa sampai pingsan segala?!” protesnya.Ditodong pertanyaan seperti itu, siapa yang tidak kesal? Anjani tidak merasa dirinya salah, alhasil dia menyahut santai. “Mana aku tahu. Kamu tanya Aruna saja.”Aland yang hendak menyahut lagi tertahan karena tangannya disentuh oleh pemuda yang bersamanya. “Tidak perlu marah-marah segala, Al. Mending kamu belikan Aruna minuman hangat.”“Sekalian sama minyak kayu putih, ya!” tambah Anjani. Takut disemprot lagi, Anjani menambahkan, “Biar Aruna cepet sadar ‘kan?!”Kalau bukan untuk Aruna, Aland mana mau. Mengembuskan napas berat, Aland pun berdiri lalu pergi meninggalkan keduanya.Entah kenapa Anjani merasa lucu melihat wajah kesal Aland yang tertahankan. Namun, fokusnya langsun
Tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir libur sebelum masuk perkuliahan, Aruna dan Anjani pagi-pagi sekali sudah siap dengan setelan training dan sweater rajut.Ya, keduanya memutuskan untuk berjalan sehat mengitari lapangan lari yang jaraknya tidak jauh dari kampus.“Nggak diantar Daddy kamu, Runa?” tanya Anjani begitu melihat Aruna yang datang turun dari ojek online.Aruna menggelengkan kepalanya. “Daddy lagi nggak ada.”“Emang Daddy kamu ke mana?” tanya Anjani lagi. Dia merasa penasaran. Anjani mengimbangi langkah Aruna untuk berjalan santai. Bukan berarti Anjani memutuskan tidak berlari seperti orang-orang di sekitarnya karena tahu Aruna memiliki asma, tapi itu karena Anjani malas saja. Dasar.Mata besar Aruna melirik teman dekatnya dengan senyum yang terlihat mengerikan. “Cari Mommy baru buat aku.”TUKKK“Aww, Anjani sakit!” ringis Aruna saat mendapatkan jitakan di pinggir dahinya.Tidak ada tanda-tanda Anjani menunjukkan perasaan bersalahnya. Dia malah mengajukan pertanyaan lag
Jika bukan karena alarm yang sudah menjerit-jerit, sepasang pria dan wanita yang tidur dalam satu ranjang itu tidak akan terbangun dalam bersamaan.Sang wanita berhasil membuka matanya lebih dulu. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya yang memang tidak begitu besar.Begitu menoleh, dia mendapati sesosok pria tampan yang tanpa mengenakan atasan juga tengah menolehkan kepalanya. Keduanya bertukar pandangan.“Saya bisa jelaskan–“Nggak perlu, gue inget apa yang terjadi semalam kok,” selanya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia kembali berucap, “Gue nggak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari lo.” Nada bicaranya terdengar sangat serius sehingga membuat Sang pria mengerutkan dahinya samar.“Seharusnya saya bisa membantu Anda dengan cara yang lain, Nona Lilia.” Sang pria menyebutkan nama wanita yang terbaring di sebelahnya.‘Cara lain?’ batin Lilia sambil mendengus kasar. Satu-satunya cara yang ampuh untuk melep
Dilihat dari sudut mana pun, jika dari luar Claudia tampak baik-baik saja. Wanita itu baru saja berdiri dari kursi meja riasnya dan tengah memunguti kapas kotor untuk dibuangnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan.Namun, belum sempat beranjak pergi, ada sepasang tangan yang melingkari perutnya.“Ryuga,” tegur Claudia dengan suara yang mengalun lembut.Alih-alih mengerti maksud teguran halus itu, Ryuga malah sengaja mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Claudia.“Biarkan seperti ini dulu. Aku masih merindukanmu, Claudia.” Suara rendah Ryuga yang berbisik tepat di belakang cuping telinga Claudia membuat wanita itu merasa kegelian.Pandangan keduanya beradu tatap melalui cermin rias milik Claudia. Manik hitam pria itu menyorotnya lembut. Dan sudah bisa dipastikan itu memicu debar di dada Claudia.Untuk mengalihkan itu, Claudia memutuskan bertanya selagi dirinya teringat, “Apa aku tidak salah dengar kamu menyebut nama Lilia, Ryuga? Apa terjadi sesuatu padanya?”Ryuga mende
Dibalik Ryuga dan Claudia yang kini sudah tiba di flat, lain lagi Riel yang harus terjebak bersama Idellia. Pria itu kesulitan mencari celah untuk melarikan diri sebab Idellia yang kini setengah mabuk tampak gelonjotan di lengannya.Kewarasan Idellia pasti berkurang sebab dia dengan berani menyentuh lengan bisep Riel yang tampak berotot. Idellia bergumam, “Wow, ototmu besar juga!”Ekspresi Riel menunjukkan kerisihannya. Dia belum pernah bertemu wanita seagresif Idellia. Maka, sehalus mungkin Riel mencoba menepis lengan Idellia.Selain dia tidak suka bersikap kasar pada wanita, Idellia adalah teman dari Claudia.“Saya harus pergi, Nona Idellia. Sepertinya Pak Ryuga dan Bu Claudia juga sudah tidak lagi di Club,” beritahu Riel sambil menundukkan wajah untuk melihat ke arah kepala Idellia yang sekarang tengah bersandar di sebelah pundaknya.Pria itu mengembuskan napas beratnya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya agar dia pergi?“Kamu … pergi?” lirih Idellia. “Jangannnn~,” jawabnya denga
Untuk apa menghindar jika tidak mempunyai salah? Lagipula … percuma saja menghindari Ryuga. Ditambah posisi untuk Claudia kabur sangat tidak memungkinkan karena kedua tangan Ryuga mencengkram sisi-sisi kursi yang diduduki Claudia. Wanita itu merasakan detak jantungnya meningkat kala bersinggungan mata dengan manik hitam Ryuga. Sesaat Claudia memejamkan matanya, ‘Astaga … jantungku.’ Rasanya seperti ingin meledak. Bertepatan Claudia membuka mata, suara berat Ryuga mengudara, “Ikut aku sekarang, Claudia!” Ucapannya jelas tidak ingin dibantah. Begitu tangan kiri Ryuga menyentuh lengannya, pandangan Claudia turun untuk melihat. Entah sejak kapan gips di tangan Ryuga berhasil dilepaskan. Tapi, yang pasti Claudia merasa bersyukur. Claudia tidak terlalu memperhatikan saat acara pameran berlangsung tadi. Sekarang, tahu-tahu saja Ryuga melepaskan lengan Claudia. Manik hitamnya menyorot Claudia tajam. “Mau aku gendong atau berjalan sendiri, Claudia?” tanyanya tidak sabar. Ditambah kedua
Pencahayaan lampu yang berkelap-kelip itu tidak terbiasa dilihat oleh netra mata Claudia sehingga dia membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi. Selain itu, ada hal lain yang membuat Claudia tiba-tiba saja menolak bergabung ke lantai dansa.“Nanti aku menyusul. Aku merasa haus, ingin pesan minuman,” beritahu Claudia beralibi.Untung saja yang lain tidak curiga. Zoya menyahut, “Oke, Clau.” Lantas Zoya, Praya, dan Fanya berlalu pergi. Meninggalkan Claudia dan Lilia yang berdiri bersisian.Claudia menolehkan wajahnya ke arah Lilia. “Kamu … mau pesan minuman juga, Lilia?”Wanita itu merespons dengan menganggukkan kepala. Lalu Lilia baru menolehkan wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dia menyambar lengan Claudia dan menariknya pergi menuju meja bartender.Claudia pasrah saja tangannya ditarik karena sejujurnya dia sudah tidak memiliki energi apa pun. Pandangannya tampak kosong dan Claudia tidak memperhatikan kondisi sekitar, termasuk ekspresi wajah Lilia yang tampak berubah sedikit gelisah.
Miwa Club.Claudia kedapatan menghela napas saat melihat papan nama dari tempat Club tersebut."Masih memikirkan Ryuga, Clau?"Mendengar pertanyaan itu, Claudia menolehkan kepalanya ke arah sesosok wanita seusianya yang menunjukkan raut wajah polosnya. Begitulah Idellia.Kedua sudut bibir Claudia tersenyum tipis. "Kenapa aku harus memikirkan Ryuga?" jawabnya dengan pertanyaan lagi.Idellia belum sempat memprotes karena Claudia kembali menyambung ucapannya. "Ah, gara-gara ucapanku tadi, ya?" tebaknya. Kepala Claudia mengangguk. "Aku memang merindukannya. Tapi, itu tadi."Tentu lain lagi tadi dan sekarang. Claudia kembali tersenyum. Pandangannya turun dan tangannya menyambar lengan Idellia. Dengan santainya, Claudia berucap, "Let's go, Idel. Kita akan bersenang-senang 'kan malam ini?"Setengah tidak percaya dengan jawaban dan sikap Claudia, Idellia hanya mengangguk pasrah dan diam saja ketika Claudia setengah menyeret langkahnya.Wanita itu membatin sambil menatap punggung Claudia lamat
Bohong jika tidak satu hari pun Ryuga tidak memikirkan Claudia. Bahkan ketika Ryuga tertidur, dia sampai memimpikannya.Apa yang Claudia katakan hari itu masih membekas dalam ingatan Ryuga. Setiap ucapan yang terucap dari bibir cherry Claudia dan juga air wajah yang diperlihatkan wanita itu.‘Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi, Ryuga. Aku ingin … kita selesai.’“Kita sudah sampai, Pak Ryuga.” Perkataan Riel menyudahi aksi lamunan Ryuga yang sedikit menggores permukaan hatinya. Selain mengenai Aruna, hal yang bisa menyakitinya adalah Claudia.Ryuga berdehem lalu bertanya, “Claudia dan teman-temannya belum sampai ‘kan?”Manik hitamnya melirik Riel yang kini tengah duduk dibalik stir kemudi. Pria yang lebih muda darinya itu meraih ponsel di saku kemeja dan mengotak-atiknya sesaat sebelum menatap Ryuga dan memberikan jawaban.“Belum, Pak Ryuga. Idellia bilang mereka baru saja berangkat dari restoran menuju club,” papar Riel. “Idellia bilang dia sudah menyiapkan sesuatu. Kita han