Usai menebus obat, Ryuga kembali menemui Claudia yang untungnya wanita itu tidak pergi ke mana-mana. Diam-diam Ryuga menghela napas lega.“Sudah, Ryuga?” tanya Claudia.“Mmm … obatnya,” kata Ryuga seraya menyerahkan kantong kresek berisikan obat yang harus diminum Claudia. “Kalau kamu masih merasa gatal, oleskan salep juga, Claudia,” jelas Ryuga menyerahkan kresek obat ke tanClaudia menerima obatnya. “U-uangnya nanti aku ganti–“Apa aku tampak tidak punya uang sehingga kamu harus mengganti uangku, Claudia?”Ucapan Claudia menyinggung harga dirinya. Ryuga menatap Claudia dengan manik hitamnya yang menyorot tajam.“Aku cu-cuma nggak mau punya hutang budi,” jujur Claudia.“Tidak perlu merasa begitu. Sekarang, ayo ikut aku, Claudia!” Perkataan yang terucap dari bibir Ryuga adalah perintah.Tidak ingin memancing kemarahan pria itu, Claudia menuruti langkah Ryuga yang sangat cepat. Dia kesusahan mengejar langkah Ryuga yang besar-besar.Alhasil langkahnya yang terseok itu membuat Claudia te
“Tidakkah seharusnya sesekali kamu berkunjung ke kantorku, Claudia?”Alih-alih menjawab, Ryuga malah menimpali dengan pertanyaan. Pria itu menambahkan, “Agar orang-orang di kantorku tahu jika aku sudah punya tunangan, Claudia. Jadi, tidak ada lagi wanita-wanita yang berusaha merayuku.”Ucapan Ryuga itu terdengar percaya diri sekali. Claudia sampai menyipitkan mata sambil memandangi Ryuga.“Apa itu nggak masalah?” tanya Claudia berikutnya. Wanita itu mengedikkan bahu, “Maksudku, orang-orang akan membicarakan hubungan kita kalau kita putus, Ryuga.”Membayangkannya saja membuat Claudia sudah merasa lelah.“Kamu sudah membayangkan kita akan putus, Claudia?” tanya Ryuga dengan suara ketusnya.Mulut Claudia terbuka dan tertutup. “Seandainya hubungan sandiwara ini berakhir, itu akan merepotkan jika orang-orang di kantormu mengetahuinya,” jelas Claudia yang tidak ingin Ryuga salah paham padanya.“Nggak masalah,” dengus Ryuga. Lagipula orang-orang yang dimaksud Claudia tidak akan berani bergos
Katakanlah Claudia norak, karena ini kali pertamanya menginjakkan kaki di gedung pencakar langit dengan gaya arsitektur yang terlihat mewah.Belum lagi saat menuju lobby perusahaan, terdapat furniture yang bernilai artistik di matanya. Padahal eksistensi Claudia mulai diperhatikan oleh orang-orang sekitar.Siapa wanita itu? Mengapa dia bersama Ryuga dan memakai jasnya? Kira-kira begitulah pertanyaan karyawan Ryuga saat menatap wajah cantik Claudia.“Berhentilah menatap sekitar, Claudia,” tegur Ryuga pada calon tunangannya itu.“M-maaf, aku hanya–Ucapan Claudia terputus karena tanpa aba-aba Ryuga merangkul pundaknya. Seketika mode sandiwaranya kembali aktif.“Lakukan dengan baik,” titah Ryuga berbisik di telinganya.Tindakan kecil Ryuga membuat beberapa karyawan di lobby perusahaan memekik kecil. Mereka tidak pernah melihat wanita yang berada di samping Ryuga. Pun, melihat Ryuga yang tiba-tiba mengelus pundak Claudia dengan sayang.“Tentu, Ryuga. Aku takkan mengecewakanmu.”Apalagi se
“Om Rudi,” sapa Claudia segera ke luar dari lift disusul Ryuga. Tanpa ragu, Claudia menyodorkan tangan untuk menyalami punggung tangan pria paruh baya itu. Claudia tidak tahu saja jika tindakan kecilnya itu berhasil membuat Rudi tersenyum meski tipis. “Kalian kencan di pagi hari?” Rudi langsung bertanya tanpa berbasa-basi dahulu. Dia sempat mendengar dari asisten Ryuga mengenai keterlambatan Ryuga pagi itu. Padahal biasanya, jarang-jarang Ryuga menunda rapat jika tidak ada kaitannya dengan Aruna. Pertanyaan Rudi sukses membuat Claudia tersedak air ludahnya sendiri. ‘Kencan!?’ “Pa,” tegas Ryuga memprotes. “Eng-enggak Om, a-aku mampir aja kebetulan– “Nggak apa-apa, Om paham,” potong Rudi. Pria itu menatap Ryuga penuh selidik, “Papa dengar kamu ada rapat sebentar lagi. Mau yang lain saja untuk menggantikanmu, Ryuga? Jadi, kamu bisa kencan dengan Claudia.” Bagi Claudia itu seperti sebuah sindiran. Padahal Rudi tidak bermaksud demikian. “Om-om Rudi, bu-bukan begitu. Ryuga tetap bek
Sebelum pergi rapat, Ryuga menunjukkan sebuah ruangan pribadinya pada Claudia. Pria itu menyuruh Claudia beristirahat di sana dan memintanya untuk menghubunginya jika membutuhkan sesuatu.Claudia tak banyak membantah, wanita itu menurut. Dia bertekad tak akan mengganggu Ryuga.“Aku nggak akan lupa sama kebaikanmu, Ryuga,” gumam Claudia sambil menatap langit-langit kamar.Beberapa menit yang lalu, Claudia memilih membaringkan tubuhnya. Dia kehabisan energi dan satu-satunya yang bisa dilakukannya sekarang adalah tidur untuk mengisi saya tubuhnya. Claudia juga akan kembali ke kampus untuk mengajar di kelas malam.Wanita itu memiringkan tubuhnya, menaruh satu lengan di bawah bantal dan tersenyum saat netra matanya tertuju pada pigura foto yang ada di nakas.“Ryuga … Aruna … aku senang bisa bertemu kalian,” gumam Claudia perlahan mulai memejamkan mata dan tak lama Claudia benar-benar tertidur nyenyak.Berbeda dengan aktivitas Ryuga yang tengah rapat. Pria itu beberapa kali menanyakan hal k
Masih setengah sadar, Claudia samar-samar melihat wajah Ryuga yang semula dekat menjadi jauh. Wanita itu mengangkat tangannya untuk menutupi mulutnya yang hendak menguap.“Ryuga,” panggil Claudia dengan suara yang parau, khas bangun tidur. Matanya mengedip lambat. “Sudah selesai rapatnya?”Diam-diam Ryuga bersyukur Claudia lebih dulu bangun. Jika tidak, Ryuga pasti akan benar-benar merealisasikan keinginannya.“Jika belum, aku tidak mungkin ada di sini bersamamu sekarang.” Ryuga menyahut dengan ketus. Padahal Claudia bertanya baik-baik.Wanita itu segera mendudukkan dirinya, “Maaf, aku tidur terlalu lama. Nanti aku bereskan tempat tidurnya, aku juga akan bawa ke laundry–“Cukup, Claudia. Bangun,” potong Ryuga dengan suara dingin yang berhasil membuat nyawa Claudia terkumpul sepenuhnya.“O-oke, sebentar.” Wanita itu menyibak selimut lantas turun dari ranjang tidur. Hampir saja dirinya oleng karena tubuhnya tidak seimbang.Ryuga dengan cepat menahan pundak Claudia. Pria itu menaikkan s
Kesadaran Claudia benar-benar pulih saat dia berhasil mengisi perutnya dengan kenyang. Ryuga mencukupi nutrisinya.“Ryuga, aku ingin mentraktirmu kapan-kapan,” ucap Claudia setelah menghabiskan dua jeruk di atas meja. “Kamu sudah begitu baik, jadi aku ingin membalas kebaikanmu,” bubuh Claudia berikutnya.Dia mengambil tissue basah dan mengelap tangannya. Namun sampai Claudia selesai, tak ada tanda-tanda Ryuga meresponsnya. Jadi, Claudia menolehkan wajah untuk melihat Ryuga yang duduk di sampingnya.Pria itu menyimpan setengah jeruk yang belum dihabiskannya lalu mengelapnya dengan tissue basah. Claudia hanya diam memperhatikan.“Aku tidak mau ditraktir,” tolak Ryuga tegas. Dia baru menolehkan wajah untuk melihat Claudia yang sudah menaikkan satu alisnya. Ryuga pun menambahkan, “Tapi, sebagai gantinya, aku menginginkan yang lain.”“Y-yang lain?” cicit Claudia. “Kamu ingin aku memberimu uang?”Jika menyangkut uang, Claudia akan menyerah saja. Dia baru masuk bekerja, mengais pendapatannya
Semula Claudia tidak begitu memikirkan alasan Ryuga yang tidak mengantarnya ke kampus, tapi saat jam pulang pun Ryuga malah mengutus Riel pada Claudia. Apa Ryuga sibuk?“Kalau Ryuga sibuk, aku tidak perlu dijemput. Aku bisa pulang sendiri,” ucap Claudia pada Riel yang sudah siap mengantarkan pulang. Dia merasa tidak enak pada Riel, merasa hal itu merepotkannya.Asisten pribadi Ryuga itu menggeleng tegas. “Ini perintah Pak Ryuga, saya harus mengantarkan Anda pulang sampai selamat, Bu Claudia.”Claudia mengembuskan napas lelah. Dia memeluk erat dokumen yang dibawanya. Itu proposal pameran gelar seni yang berhasil dikerjakannya sedikit saat menunggu kelas malamnya dimulai. Claudia akan membawanya pulang dan mengerjakan di rumah.“Baiklah.” Wanita itu menyetujuinya dengan masuk ke dalam mobil yang biasa Ryuga gunakan untuk menjemputnya.“Bagus, Claudia,” ucap seseorang yang sedari tadi memperhatikan diam-diam di dalam mobil lain. Dia menghela napas lega Claudia tidak mencoba membantah.Sa
Claudia gamang. Dia ingin menjawab, tapi takut salah. Tapi, tidak dijawab sepertinya lebih salah lagi. Ekor mata Claudia melirik Ryuga, ‘Bisa-bisanya Ryuga menanyakan itu di saat seperti ini?’Kepala Ryuga menatap lurus ke depan. Dia mendengus tidak percaya. Rasa-rasanya Ryuga tidak akan berpikir selama itu jika Claudia menanyakan hal yang serupa.“Akan aku pikir-pikir dulu, Ryuga,” jawab Claudia pada akhirnya. Tepat setelah Claudia meluruskan pandangannya, matanya memicing untuk melihat dua orang gadis yang terlihat duduk di bawah pohon, lebih tepatnya yang satu tengah berbaring.Mulut Ryuga terbuka, hendak menimpali. Namun, tertahan oleh suara Claudia. Wanita itu juga mengarahkan jari telunjuknya ke depan, membuat manik hitam Ryuga bergerak mengikutinya.“I-itu Aruna dan Anjani, Ryuga!” seru Claudia. Wanita itu sama sekali tidak sedang berusaha mengalihkan topik. Karena untuk sekarang, lebih baik fokus pada Aruna.Ryuga memarkirkan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari tempat Aruna
Karena pertolongan dua pemuda itu, Aruna dibaringkan di sisi lapangan tepat di bawah pohon yang cukup rindang sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung.Usai membaringkan Aruna, Aland menatap ke arah gadis yang diduga sebagai teman larinya Aruna.“Kenapa Aruna bisa sampai pingsan segala?!” protesnya.Ditodong pertanyaan seperti itu, siapa yang tidak kesal? Anjani tidak merasa dirinya salah, alhasil dia menyahut santai. “Mana aku tahu. Kamu tanya Aruna saja.”Aland yang hendak menyahut lagi tertahan karena tangannya disentuh oleh pemuda yang bersamanya. “Tidak perlu marah-marah segala, Al. Mending kamu belikan Aruna minuman hangat.”“Sekalian sama minyak kayu putih, ya!” tambah Anjani. Takut disemprot lagi, Anjani menambahkan, “Biar Aruna cepet sadar ‘kan?!”Kalau bukan untuk Aruna, Aland mana mau. Mengembuskan napas berat, Aland pun berdiri lalu pergi meninggalkan keduanya.Entah kenapa Anjani merasa lucu melihat wajah kesal Aland yang tertahankan. Namun, fokusnya langsun
Tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir libur sebelum masuk perkuliahan, Aruna dan Anjani pagi-pagi sekali sudah siap dengan setelan training dan sweater rajut.Ya, keduanya memutuskan untuk berjalan sehat mengitari lapangan lari yang jaraknya tidak jauh dari kampus.“Nggak diantar Daddy kamu, Runa?” tanya Anjani begitu melihat Aruna yang datang turun dari ojek online.Aruna menggelengkan kepalanya. “Daddy lagi nggak ada.”“Emang Daddy kamu ke mana?” tanya Anjani lagi. Dia merasa penasaran. Anjani mengimbangi langkah Aruna untuk berjalan santai. Bukan berarti Anjani memutuskan tidak berlari seperti orang-orang di sekitarnya karena tahu Aruna memiliki asma, tapi itu karena Anjani malas saja. Dasar.Mata besar Aruna melirik teman dekatnya dengan senyum yang terlihat mengerikan. “Cari Mommy baru buat aku.”TUKKK“Aww, Anjani sakit!” ringis Aruna saat mendapatkan jitakan di pinggir dahinya.Tidak ada tanda-tanda Anjani menunjukkan perasaan bersalahnya. Dia malah mengajukan pertanyaan lag
Jika bukan karena alarm yang sudah menjerit-jerit, sepasang pria dan wanita yang tidur dalam satu ranjang itu tidak akan terbangun dalam bersamaan.Sang wanita berhasil membuka matanya lebih dulu. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya yang memang tidak begitu besar.Begitu menoleh, dia mendapati sesosok pria tampan yang tanpa mengenakan atasan juga tengah menolehkan kepalanya. Keduanya bertukar pandangan.“Saya bisa jelaskan–“Nggak perlu, gue inget apa yang terjadi semalam kok,” selanya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia kembali berucap, “Gue nggak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari lo.” Nada bicaranya terdengar sangat serius sehingga membuat Sang pria mengerutkan dahinya samar.“Seharusnya saya bisa membantu Anda dengan cara yang lain, Nona Lilia.” Sang pria menyebutkan nama wanita yang terbaring di sebelahnya.‘Cara lain?’ batin Lilia sambil mendengus kasar. Satu-satunya cara yang ampuh untuk melep
Dilihat dari sudut mana pun, jika dari luar Claudia tampak baik-baik saja. Wanita itu baru saja berdiri dari kursi meja riasnya dan tengah memunguti kapas kotor untuk dibuangnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan.Namun, belum sempat beranjak pergi, ada sepasang tangan yang melingkari perutnya.“Ryuga,” tegur Claudia dengan suara yang mengalun lembut.Alih-alih mengerti maksud teguran halus itu, Ryuga malah sengaja mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Claudia.“Biarkan seperti ini dulu. Aku masih merindukanmu, Claudia.” Suara rendah Ryuga yang berbisik tepat di belakang cuping telinga Claudia membuat wanita itu merasa kegelian.Pandangan keduanya beradu tatap melalui cermin rias milik Claudia. Manik hitam pria itu menyorotnya lembut. Dan sudah bisa dipastikan itu memicu debar di dada Claudia.Untuk mengalihkan itu, Claudia memutuskan bertanya selagi dirinya teringat, “Apa aku tidak salah dengar kamu menyebut nama Lilia, Ryuga? Apa terjadi sesuatu padanya?”Ryuga mende
Dibalik Ryuga dan Claudia yang kini sudah tiba di flat, lain lagi Riel yang harus terjebak bersama Idellia. Pria itu kesulitan mencari celah untuk melarikan diri sebab Idellia yang kini setengah mabuk tampak gelonjotan di lengannya.Kewarasan Idellia pasti berkurang sebab dia dengan berani menyentuh lengan bisep Riel yang tampak berotot. Idellia bergumam, “Wow, ototmu besar juga!”Ekspresi Riel menunjukkan kerisihannya. Dia belum pernah bertemu wanita seagresif Idellia. Maka, sehalus mungkin Riel mencoba menepis lengan Idellia.Selain dia tidak suka bersikap kasar pada wanita, Idellia adalah teman dari Claudia.“Saya harus pergi, Nona Idellia. Sepertinya Pak Ryuga dan Bu Claudia juga sudah tidak lagi di Club,” beritahu Riel sambil menundukkan wajah untuk melihat ke arah kepala Idellia yang sekarang tengah bersandar di sebelah pundaknya.Pria itu mengembuskan napas beratnya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya agar dia pergi?“Kamu … pergi?” lirih Idellia. “Jangannnn~,” jawabnya denga
Untuk apa menghindar jika tidak mempunyai salah? Lagipula … percuma saja menghindari Ryuga. Ditambah posisi untuk Claudia kabur sangat tidak memungkinkan karena kedua tangan Ryuga mencengkram sisi-sisi kursi yang diduduki Claudia. Wanita itu merasakan detak jantungnya meningkat kala bersinggungan mata dengan manik hitam Ryuga. Sesaat Claudia memejamkan matanya, ‘Astaga … jantungku.’ Rasanya seperti ingin meledak. Bertepatan Claudia membuka mata, suara berat Ryuga mengudara, “Ikut aku sekarang, Claudia!” Ucapannya jelas tidak ingin dibantah. Begitu tangan kiri Ryuga menyentuh lengannya, pandangan Claudia turun untuk melihat. Entah sejak kapan gips di tangan Ryuga berhasil dilepaskan. Tapi, yang pasti Claudia merasa bersyukur. Claudia tidak terlalu memperhatikan saat acara pameran berlangsung tadi. Sekarang, tahu-tahu saja Ryuga melepaskan lengan Claudia. Manik hitamnya menyorot Claudia tajam. “Mau aku gendong atau berjalan sendiri, Claudia?” tanyanya tidak sabar. Ditambah kedua
Pencahayaan lampu yang berkelap-kelip itu tidak terbiasa dilihat oleh netra mata Claudia sehingga dia membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi. Selain itu, ada hal lain yang membuat Claudia tiba-tiba saja menolak bergabung ke lantai dansa.“Nanti aku menyusul. Aku merasa haus, ingin pesan minuman,” beritahu Claudia beralibi.Untung saja yang lain tidak curiga. Zoya menyahut, “Oke, Clau.” Lantas Zoya, Praya, dan Fanya berlalu pergi. Meninggalkan Claudia dan Lilia yang berdiri bersisian.Claudia menolehkan wajahnya ke arah Lilia. “Kamu … mau pesan minuman juga, Lilia?”Wanita itu merespons dengan menganggukkan kepala. Lalu Lilia baru menolehkan wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dia menyambar lengan Claudia dan menariknya pergi menuju meja bartender.Claudia pasrah saja tangannya ditarik karena sejujurnya dia sudah tidak memiliki energi apa pun. Pandangannya tampak kosong dan Claudia tidak memperhatikan kondisi sekitar, termasuk ekspresi wajah Lilia yang tampak berubah sedikit gelisah.
Miwa Club.Claudia kedapatan menghela napas saat melihat papan nama dari tempat Club tersebut."Masih memikirkan Ryuga, Clau?"Mendengar pertanyaan itu, Claudia menolehkan kepalanya ke arah sesosok wanita seusianya yang menunjukkan raut wajah polosnya. Begitulah Idellia.Kedua sudut bibir Claudia tersenyum tipis. "Kenapa aku harus memikirkan Ryuga?" jawabnya dengan pertanyaan lagi.Idellia belum sempat memprotes karena Claudia kembali menyambung ucapannya. "Ah, gara-gara ucapanku tadi, ya?" tebaknya. Kepala Claudia mengangguk. "Aku memang merindukannya. Tapi, itu tadi."Tentu lain lagi tadi dan sekarang. Claudia kembali tersenyum. Pandangannya turun dan tangannya menyambar lengan Idellia. Dengan santainya, Claudia berucap, "Let's go, Idel. Kita akan bersenang-senang 'kan malam ini?"Setengah tidak percaya dengan jawaban dan sikap Claudia, Idellia hanya mengangguk pasrah dan diam saja ketika Claudia setengah menyeret langkahnya.Wanita itu membatin sambil menatap punggung Claudia lamat