“Abang bau keringat loh.”
“Gak pa pah, wangi kok keringatnya.”
Jessica tetap memaksa dan ini untuk pertama kalinya. Jessica terlihat kekeh dengan keinginannya, seperti sedang ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting. Dan Joandra yang merasakan itu hanya terdiam dan ikut berjalan ke arah sofa.
“Apa Jessica ingin mengatakan sesuatu?”
Setelah duduk Joandra langsung melontarkan pertanyaannya saat dia melihat wajah Jessica terlihat sedikit tegang. Ya, semenjak kepulangannya tadi, gadis kesayangannya itu memang terlihat agak berbeda dari biasanya.
Jessica menelan salivanya lagi. Sejak sore tadi dia sudah memikirkan semuanya dan sudah pula menyusun segala sesuatu yang ingin disampaikannya kepada Joandra. Hanya saja, entah kenapa setelah duduk berhadapan seperti saat ini membuatnya merasa begitu nervous, dan bibirnya juga seolah sulit untuk digerakkannya.
“Ehemm!”
Jessica berdehem untuk me
Tidak. Joandra tidak mengejarnya dan memohon pengertian dari gadis kecilnya itu. Joandra juga merasa sedikit kecewa karena tanggapan Jessica terhadapnya menjadi begitu terbalik, apa lagi gadisnya itu langsung melangkah pergi dan masuk ke dalam kamarnya begitu saja.Baru saja rasa senang yang didapatkannya tadi membuat hatinya berbunga-bunga, kini tangkai-tangkai yang sudah bermekaran itu kembali layu dalam sekelip mata. Joandra sadar gadis kecilnya itu memang terlalu polos dan terlalu baik hati, sehingga dia begitu gampang memaafkan seseorang meski sudah diperlakukan sedemikian rupa selama ini.Malam itu berlalu dengan kedua hati insan yang sebenarnya sama-sama sudah saling menyukai dan mencintai itu dalam keadaan yang dingin. Rasa kecewa pada hati kedua insan itu membuat malam panjang itu berlalu dengan begitu lambat karena keduanya sama-sama sulit untuk memejamkan mata mereka.Ketika pagi menjelang, kebetulan sekali pintu kamar mereka berdua sama-sama terbuka dalam waktu yang sama.
“Sudah Tuan Presdir. Saya sudah mengembalikannya secara langsung sebagian dari nilai Nominal yang sudah saya gunakan. Ini lampirannya.”Aleta Windy berkata santai sambil menyodorkan sebuah berkas yang dibawanya ke sana.Ricko membuka dokumen yang sudah disodorkan oleh wanita muda yang terlihat sangat berani itu, dan lalu mencocokkannya dengan apa yang sudah masuk dalam laporan kantor Pusat dalam minggu ini.“Tepat, Tuan Presdir. Semuanya sesuai laporan,” Ricko segera memberitahu Joandra.“Bagus jika memang demikian. Lalu ... untuk Nominal 1,5 M yang sudah terlanjur kamu gunakan itu, bagaimana caranya kamu mengembalikannya pada saya?” tanya Joandra terlihat tegas.“I-itu ... saya belum bisa menjamin, Tuan Presdir. Semua biaya itu memang sudah digunakan untuk biaya pengobatan ibu saya, dan proses pemakamannya.”Aleta Windy menjawab sambil mencengkeram kedua tangannya. Meremas tangannya sendiri te
Ya. Pria itu bernama Hermanto, dan putri mereka bernama Tasya.“Jangan sentuh Tasya dengan tangan kotormu, Aleta. Pantas kamu sering tidak pulang dengan alasan lembur dan keluar kota. Ternyata selama ini kamu melakukan ini di belakangku?”Terdengar suara parau Hermanto. Suara pertanyaan itu terdengar datar dan tak begitu membahana. Untuk kategori orang yang sedang disakiti, suara itu terdengar begitu pelan. Mungkin hati pria itu sudah terlanjur kecewa.Ya, jika sudah tidak pulang dan istrinya itu bermalam dengan prmuda yang terlihat bagai seorang brandalan itu, tentu saja hak sebagai seorang suami itu sudah dinodai. Hermanto yakin istrinya sudah tidur dan memberikan apa yang seharusnya hanya boleh menjadi miliknya selama ini. Dan itu membuat kekecewaan yang begitu dalam terlihat nyata dengan suara parau dan juga bibir tebalnya yang terlihat bergetar.Sebenarnya ini menjadi salah satu alasan Joandra tidak membiarkan Aleta Windy dan pemuda pemai
Ya, saat ini semua kemarahan Joandra sedang bercampur aduk. Semua kemarahannya sedang berkecamuk dan berbaur dengan perasaan galaunya yang saat ini sedang menghadapi masa sulit dengan Jessica.Kedua tangan Aleta Windy saat ini juga sudah dipegang oleh dua orang anggota polisi. Dan sepertinya kedua polisi itu masih sedang menunggu perintah Joandra yang selanjutnya.Joandra menoleh ke arah Hermanto yang sedang mendekap putri kecilnya dan sedang mencium sayang gadis kecil yang sejak tadi berada di dalam gendongannya. Mata pria itu juga sudah terlihat basah oleh rasa panik dan mungkin juga rasa harunya karena putrinya masih dalam keadaan baik-baik saja.Sejak awal Joandra sudah mencari tahu bagaimana tentang Hermanto dan bagaimana latar belakang pria yang ternyata merupakan anggota dari pada salah satu kepala bagian konstruksi di bawah naungan perusahaannya. Ya, pria itu memang pria yang sangat pekerja keras dan terlihat sangat berdedikasi dalam menjalankan segala m
Ketika mendengarkan perkataan Joandra kali ini, wajah Hermanto langsung terlihat memerah. Ya, dalam beberapa bulan ini hudupnya memang agak terasa sulit. Apa lagi setelah istrinya tidak pernah lagi memberikan uang hasil kerjanya untuk biaya terapi putri mereka yang harus dilakukan setiap akhir pekan. Semua hasil kerja istrinya ternyata sudah diberikannya pada selingkuhannya, dengan alasan dia sedang ada keperluan pribadi.“Baik, Tuan Presdir. Terima kasih banyak sekali lagi. Saya tidak akan pernah melupakan bantuan Tuan Presdir. Saya berjanji akan selalu bekerja dengan baik.”“Tidak masalah. Pulanglah. Leonal akan mengantarkanmu.”“Terima kasih Tuan Presdir. Terima kasih. Kami pamit dulu.”Hermato menunduk hormat dengan begitu dalam, dan lalu memutar tubuhnya mengikuti langkah Leonal yang sudah berjalan pergi terlebih dahulu.“Kita meeting darurat sekarang, Ricko. Panggil semuanya ke sini sekarang juga.”Terdengar perintah Joandra sambil dia mendudukkan tubuhnya di atas kursi kebesara
Tidak ada lagi kata-kata yang mampu keluar dari dalam mulut Joandra. Dan itu memang menjadi kebiasaannya tak mampu mengungkapkan isi hatinya di hadapan ibunya, sama seperti ketika ibunya masih hidup. Joandra membiarkan air matanya itu terus bergulir seiring bibirnya membaca berbagai kalimat yang dibacanya dari dalam buku kecil itu dengan khusyuknya.Joandra terus membaca berulang kali buku yang dipegangnya, hingga dia merasa sesaknya berkurang dan hatinya menjadi mulai plong dan nyaman lagi. Ya, itu memang sangat sederhana.Setelah Joandra merasa tenang dan lega, Joandra menutup buku itu dan meletakkan kembali pada tempatnya. Joandra lalu kembali mengecup dan meraba batu nissan yang tak berdebu sama sekali itu sambil tersenyum tulus.“Joan pergi dulu, Mama. Waalaikumsalam.”Joandra kembali melajukan mobilnya dan langsung melewati gedung mewahnya. Joandra tidak berhenti di kediaman sultannya itu untuk makan siangnya yang sudah tertunda tadi. Pria itu langsung melajukan mobilnya keluar
Srett!Sudah sedemikiannya Joandra menahan rasa sakitnya dalam beberapa waktu ini, dan ternyata kali ini gadis kecilnya itu mulai berani dan ingin pergi dengan pria lain?! Dan pria itu adalah pria yang paling dibencinya sekaligus menjadi musuh tersembunyinya selama ini?!Atau ... benarkah gadis pujaan hatinya itu sudah menjalin hubungan dengan saudara tirinya itu dalam beberapa hari ini?! Dan itu artinya Jessica memang tidak menyukainya, sehingga dia sudah jatuh cinta pada lelaki jahanam tersebut.Sungguh Joandra tidak lagi bisa mentorerir hal ini.“Kita pulang sekarang!”Joandra berkata pelan penuh nada tekanan sambil menyambar lengan Jessica dan akan langsung menarik gadis kecilnya itu pergi. Tapi, ternyata Kenrick juga melakukan hal yang sama! Dan pria itu juga menarik lengan Jessica yang satunya lagi.“K-kalian kenapa?!” kaget Jessica tersentak kaget ketika kedua tangannya sudah ditarik oleh kedua pria yang sedang
Ya, Kenrick memang memiliki tubuh proposional yang terlihat begitu tegap dan juga kekar, meski tak sebagus tubuh yang dimiliki oleh Joandra. Selain itu, pria yang terlihat lebih dewasa dari pada Joandra itu terlihat tak pernah marah sama sekali di depan mata Jessica, bahkan melihat wajah itu sedang marah saja Jessica tidak pernah. Entah itu memang watak aslinya, atau kah hanya sedang menjadi sesuatu keharusannya saat ini sebagai seorang Dosen di kampus? Entahlah, dan Jessica mulai terlihat nyaman berdekatan dengan Kenrick selama beberapa hari terakhir ini.“Apa pun itu?” tanya Jessica spontan setelah pikirannya terpikir dengan masalah utamanya saat ini. “Tentu saja.”“Apa ... Mister punya—,” ujar Jessica terpotong.“Kent. Panggil aku Kent saja. Atau kamu mau panggil Mas, Abang juga boleh, apa lagi kalau mau panggil sayang. Aku sangat welcome sekali,” potong Kenrick sambil tersenyum manis dan menatap sekilas ke arah Jessica sambil tetap terus menyetir mobilnya.“Huh?! Eh, oh i-iya. Ap