"Aku jadi bingung mau ninggalin kamu di sini." Gyan menatap Ola dan Bumi berganti. Hari ini rencananya dia bakal balik ke Jakarta lagi karena ada urgensi yang menuntut kehadirannya. Namun saat melihat adegan panas di teras antara adiknya dan Bumi dia dilanda kebingungan. "Kenapa bingung? Mas Gyan kan emang udah ninggalin aku dari kemarin," sahut Ola dengan kening berkerut. Aneh, pake acara drama segala. Dia memutar bola mata.Kembali Gyan menatap mereka berdua. Lantas menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Kami nggak sampai sejauh itu," celetuk Bumi tiba-tiba. Seolah tahu apa yang ada di pikiran Gyan. Walaupun tahu persis gaya pacaran pria itu dulu, Bumi tidak menduga kalau Gyan akan sekhawatir itu. Mata biru Gyan berkedip beberapa kali saat menatap Bumi. "Serius kalian belum....terus kalian ngapain aja?" tanyanya malah terlihat penasaran. "Mas!" tegur Ola cepat, merasa tidak suka dengan kekepoan kakaknya. "Kita mau ngapain juga bukan urusan kamu, Mas." "Aku kan cuma mau ma
Sepanjang perjalanan menuju bandara, sejengkal pun Ora enggan berjauhan dari Bumi. Bahkan wanita itu meminta Bumi untuk tidak mengendarai mobil sendiri, agar dirinya bisa lebih leluasa bergelayut di lengan pria itu. "Kapan kamu ke Jakarta?" tanya Ola mendongak dengan pipi yang masih erat menempel di lengan atas Bumi. "Sebulan atau dua bulan lagi mungkin. Sampai urusan pekerjaan di sini selesai." Bibir Ola mencebik kecewa. "Lama banget. Apa aku di sini aja ya, sampe kamu balik ke Jakarta. Bisa WFA kan?" Mendengar itu Bumi terkekeh sambil menyentil dahi Ola. "Kamu mau dipecat dari divisi kamu? Kerjaan kamu nggak bisa dikerjain di mana aja. Divisi kamu menuntut fisik kamu ada di sana." Wanita yang saat ini menggerai rambut ombrean cokelat dan hitamnya itu mendesah. "Nggak seru," kesahnya makin mengeratkan pelukan pada lengan Bumi. Rasanya enggan berpisah lagi. Lima hari seperti terlewat begitu saja layaknya kedipan mata. "Aku masih nggak ngerti kenapa papi nggak setuju sama hubungan
Sejak memutuskan silent treatment, Ola menjadi jarang berinteraksi dengan Daniel. Setiap kali papinya ingin membangun obrolan, Ola langsung menghindar. Jujur dia rindu. Rindu bermanja dengan pria tua itu. Rindu dijajanin pakai kartu kredit papi. Namun demi restu yang harus dia dapat, Ola rela menjauh dari kebiasaan itu. Dan sekarang, manajernya baru saja mengatakan kalau dirinya dipanggil presdir di kantornya. Sebagai bawahan, bukan sebagai anak, Ola harus patuh. Bagaimana pun juga Daniel adalah atasannya, yang memegang kekuasaan tertinggi di perusahaan ini. Sebisa mungkin Ola akan bersikap formal menghadapi pria bermata biru itu nanti. Galen : Pulang jam berapa? Pesan dari Galen masuk saat Ola berada di lift. Sejak perusahaan keluarga Galen bekerjasama dengan perusahaan keluarganya, mereka menjadi makin dekat. Tidak jarang Galen menjemput Ola lalu berkumpul bersama Yara di coffee shop. Jari tangan Ola bergerak menekan layar ponsel dengan cepat. Memberi balasan singkat. Dan tidak
Bumi tercenung di depan sebuah makam. Makam dengan batu nisan yang terukir tinta keperakan. Nama Riana Gunadi tertulis di sana lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Cukup lama Bumi terdiam. Tangannya masih memeluk erat buket bunga dafodil putih yang bagian tengahnya berwarna kuning. Kata Praja Gunadi, kakeknya, semasa hidupnya Riana sangat menyukai bunga tersebut. Bunga yang mirip dengan sinar matahari. Ya, Bumi akhirnya memutuskan menemui kakeknya di Surabaya setelah Priyo Gunadi terus menghubunginya. Dan dia tidak mengira jika sambutan sang kakek ternyata akan sehangat itu. Praja Gunadi masih terlihat sehat meskipun selalu ada tongkat di tangannya. Rambutnya yang sudah memutih dipangkas rapi. Wajahnya bersih walaupun kulit tuanya sudah mengendur di sana-sini. Sampai detik ini pelukan pria tua itu masih saja terasa hangat di sanubari Bumi. Permintaan maaf sang kakek juga terus terngiang. Bumi bisa melihat wajah penyesalan Praja Gunadi. Bahkan air mata kakek itu sampai
Sudah lebih dari lima belas menit Bumi menunggu kedatangan Ola di area parkir basemen kantor. Namun batang hidung wanita itu belum juga muncul. Menurut info yang dia dapat, hari ini Ola pulang agak malam. Itu dibenarkan dengan adanya mobil milik wanita itu yang masih terparkir aman di sana. Bumi bergerak menyembunyikan diri di salah satu pilar besar saat mendengar langkah ketukan sepatu. Kepalanya sedikit melongok untuk memastikan siapa yang datang. Senyum kecilnya kontan terbit ketika melihat wanita cantik dengan rambut tergerai melangkah mendekat. Itu Ola. Wanita itu mengenakan kemeja panjang berwarna krem disambung bawahan rok span sebatas lutut. Tungkai mulusnya terayun cantik dengan heels senada warna rok yang dia pakai. Wanita itu berjalan cepat sendirian menuju ke arah tempat mobilnya berada. Bumi menyeringai. Diam-diam dia mengikuti Ola yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Dan tepat saat bunyi sensor mobil terdengar, dengan cepat dia menarik lengan Ola. Ola cukup ter
Helaan napas serta bunyi-bunyian keyboard yang diketuk sedikit mengganggu lelap Ola. Wanita itu menggeliat pelan. Kepalanya menoleh ke sisi kanan, lalu secara perlahan kelopak matanya terbuka. Tatapnya langsung menemukan Bumi yang ternyata sudah terjaga lebih dulu. Pria itu tengah sibuk mengutak-atik ponsel. "By the way, kamu belum ngasih tau aku nomor ponsel baru kamu," ucap Ola dengan suara serak ciri khas orang bangun tidur. Bumi refleks menoleh mendengar suara kekasihnya. "Kamu sudah bangun?" Ola menggeser tubuh agar makin rapat ke Bumi. Tangannya lantas terjulur, memeluk pria itu. "Masih ngantuk sebenarnya." "Kamu bisa tidur lagi. Ini masih pagi." Bumi kembali menekuri ponsel dan membiarkan wanitanya kembali menutup mata. Ya, dia pikir begitu. Sampai kaki Ola menindih pusakanya di bawah sana. Kontan dia berjengit kaget dan memelotot melihat senyum kekasihnya. "Ola, singkirkan kaki kamu dari sana." "Ini udah besar banget, Kak," sahut Ola dan dengan sengaja menggesek-gesekkan
Saat ini Bumi berada di ruang kerja pribadi Daniel. Berusaha bersikap tenang meski dadanya terasa bergemuruh. Sudah lima menit berlalu, tapi Daniel belum juga mengeluarkan suara. Entah apa yang menarik di layar laptop pria itu. "Pi..." Bumi mengerjap ketika tangan Daniel terangkat. Dia kontan membungkam mulutnya kembali dan menunduk. Tidak berapa lama, pria tua itu membalik layar laptop ke hadapan Bumi. "Kamu tahu perusahaan ini?" tanya Daniel menunjukkan sebuah salah satu profil perusahaan. "Tahu, Pi. Itu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan bahan makanan." Bumi agak bingung maksud papinya menunjukkan perusahaan itu. Namun sebuh pemikiran kemudian melintas. "Papi mau mengakuisisi perusahaan itu?" Daniel mengangguk. "Papi ingin kamu yang melakukannya. Jika berhasil, perusahaan itu akan menjadi milikmu." Kening Bumi mengernyit. Dia tidak pernah memantau laju saham perusahaan itu. Kalau tidak salah, perusahaan tersebut hanyalah anak cabang sebuah grup besar. Namun Bumi
"Feli-sya Ta-ma-ra Dermawan?" Gyan mengeja nama yang lumayan familiar dalam dunia bisnis itu. Matanya terbelalak. "Papi kali ini nggak main-main jodohin kamu. Dia putri almarhum Pak Dermawan, kan? Yang punya Mayaka Grup?" Bumi mengangkat bahu tak peduli. Tidak tertarik sama sekali. Bahkan yang membuka amplop cokelat pertama kali Gyan, bukan dirinya. Dari semalam dia sudah pusing sendiri memikirkan cara untuk menolak wanita itu. Atau mungkin memprovokasi agar Felisya-Felisya itu enggan dijodohkan dengannya. Gyan benar. Papi kali ini tidak main-main, bahkan tidak mau mendengar pendapatnya. "Cantik sih, tatapannya juga tajam. Tapi kelihatan sekali kalau dia jutek dan tipe wanita dominan. Denger-denger ibunya menikah lagi sama konglomerat Surabaya. Kalau kamu jadi sama si Felisya ini, makmur sampai beranak pinak kalian."Demi apa pun Bumi tidak tertarik. Sehebat apa pun wanita yang Daniel pilih, itu tidak akan mengubah apa pun. Dia hanya menginginkan Ola. Bumi hanya menggeleng mendengar
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m