Saat ini Bumi berada di ruang kerja pribadi Daniel. Berusaha bersikap tenang meski dadanya terasa bergemuruh. Sudah lima menit berlalu, tapi Daniel belum juga mengeluarkan suara. Entah apa yang menarik di layar laptop pria itu. "Pi..." Bumi mengerjap ketika tangan Daniel terangkat. Dia kontan membungkam mulutnya kembali dan menunduk. Tidak berapa lama, pria tua itu membalik layar laptop ke hadapan Bumi. "Kamu tahu perusahaan ini?" tanya Daniel menunjukkan sebuah salah satu profil perusahaan. "Tahu, Pi. Itu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengolahan bahan makanan." Bumi agak bingung maksud papinya menunjukkan perusahaan itu. Namun sebuh pemikiran kemudian melintas. "Papi mau mengakuisisi perusahaan itu?" Daniel mengangguk. "Papi ingin kamu yang melakukannya. Jika berhasil, perusahaan itu akan menjadi milikmu." Kening Bumi mengernyit. Dia tidak pernah memantau laju saham perusahaan itu. Kalau tidak salah, perusahaan tersebut hanyalah anak cabang sebuah grup besar. Namun Bumi
"Feli-sya Ta-ma-ra Dermawan?" Gyan mengeja nama yang lumayan familiar dalam dunia bisnis itu. Matanya terbelalak. "Papi kali ini nggak main-main jodohin kamu. Dia putri almarhum Pak Dermawan, kan? Yang punya Mayaka Grup?" Bumi mengangkat bahu tak peduli. Tidak tertarik sama sekali. Bahkan yang membuka amplop cokelat pertama kali Gyan, bukan dirinya. Dari semalam dia sudah pusing sendiri memikirkan cara untuk menolak wanita itu. Atau mungkin memprovokasi agar Felisya-Felisya itu enggan dijodohkan dengannya. Gyan benar. Papi kali ini tidak main-main, bahkan tidak mau mendengar pendapatnya. "Cantik sih, tatapannya juga tajam. Tapi kelihatan sekali kalau dia jutek dan tipe wanita dominan. Denger-denger ibunya menikah lagi sama konglomerat Surabaya. Kalau kamu jadi sama si Felisya ini, makmur sampai beranak pinak kalian."Demi apa pun Bumi tidak tertarik. Sehebat apa pun wanita yang Daniel pilih, itu tidak akan mengubah apa pun. Dia hanya menginginkan Ola. Bumi hanya menggeleng mendengar
"Serius dia sudah punya istri?"Bumi mendorong pelan muka Ara hingga wanita itu duduk dengan benar kembali. "Bukan hanya sudah punya istri. Gyan juga sebentar lagi akan jadi seorang ayah. Istrinya sedang hamil besar." Alis melintang Ara mengeriting, bibirnya mencebik, sementara mukanya sudah seperti orang mau menangis. "Kenapa sih nggak dari dulu-dulu ayah nemuin kamu. Coba kalau dari dulu ketemu, mungkin aku juga bisa lebih awal ketemu Gyan." Bumi hanya menggeleng melihat drama Ara. Baru dua kali bertemu tapi sikap sodara sepupunya itu tampak tidak risih sama sekali berkeluh kesah seperti itu padanya. "Itu artinya dia bukan jodoh kamu. Sesimpel itu." Wanita cantik itu tiba-tiba menggelosor ke atas meja dan mengerang. "Ini semua salah ayah. Kalau dia nggak telat aku pasti bisa menikah sama Gyan." "Di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik dari Gyan. Nggak perlu seputus asa itu." Bumi menatap heran perempuan itu. Ingin mengusir, tapi tidak tega. "Tapi, dia satu-satuny
Kita tinggalkan scene Ola sejenak ya dan beralih ke scene Bumi dulu. Moga tidak bingung. =======Bumi agak terlambat memenuhi undangan makan malam dari papinya. Dia sudah tidak peduli orang nomor satu di Blue Jagland itu nanti akan memarahinya. Yang pasti malam ini dia tetap datang, meski bukan berarti dia menyetujui perjodohan yang ayah asuhnya itu buat. Diantar oleh salah seorang pegawai restoran, dia mendatangi private table yang keluarganya pesan. Saat Bumi datang semua tampak sudah berkumpul. Total ada lima orang yang sudah duduk di meja itu termasuk mami dan papinya. Daniel yang melihatnya lebih dulu langsung tersenyum lebar. "Putra saya sudah datang," ujarnya. "Maaf, saya datang terlam--" ucapan Bumi terjeda kala netranya menangkap keberadaan seorang lelaki paruh baya yang dia kenal. Dia agak terkejut, begitu pun lelaki itu saat tatapan mereka bertemu. Bumi segera mencerna situasi ini setelah melihat dua orang wanita yang duduk di sisi lelaki itu. Lelaki yang tak lain dan t
Delotta di tempatnya menghela napas. Punggungnya mundur ke sandaran kursi. Apakah seperti ini wanita yang harus Bumi nikahi? Terlalu angkuh dan sombong. Dia memang tidak menemukan track record yang buruk, tapi sikapnya benar-benar menyebalkan sebagai seorang wanita. Jika Bumi menikahinya, Delotta yakin Bumi hanya akan dikendalikan wanita itu. Dia melirik putranya itu. Menunggu jawaban apa yang akan Bumi berikan pada wanita yang kepercayaan dirinya sampai menyundul langit itu. "Tentu saja, tanpa ditanya pun, Bumi pasti setuju menikahi Feliysa. Iya, kan Bumi?" Hampir-hampir Delotta mendengus mendengar suaminya lebih dulu menimpali. Namun, seolah belum puas, wanita bernama Felisya itu terus menatap Bumi seakan menuntut jawaban dari mulut pria itu langsung. "Maaf, Pak Daniel. Saya hanya ingin mendengar jawaban Bumi langsung. Siapa tahu saja isi hatinya berbeda dengan keinginan Anda."Meskipun angkuh, ternyata Felisya cukup rasional. Bumi menyunggingkan senyum samar. "Thanks, saya cum
"Bro!" Bumi yang tengah duduk terpekur di depan ruang tindakan mengangkat wajah ketika seseorang menepuk pundaknya. Dalam perjalanan ke rumah sakit dia sempat menghubungi Gyan, dan pria itu akhirnya sampai tak lama kemudian. "Gimana Ola?" tanya Gyan dengan wajah tanpa ekpresi. Dia bisa melihat bagaimana kacaunya keadaan Bumi sekarang. "Ola masih ada di dalam," sahut Bumi lirih lalu menekan muka dengan telapak tangan dan mendesah kasar. Gyan bergerak duduk di sebelah pria itu. "Ini salahku. Harusnya aku bisa mencegahnya pergi. Tapi kamu tau gimana keras kepalanya gadis itu kalau memiliki keinginan. Apalagi itu ada hubungannya dengan kamu." "Maksudnya?" "Ola baru saja keluar dari kantor saat kami bertemu. Dia sempat nanyain kamu. Aku yang nggak bisa bohong akhirnya ngasih tau dia di mana kamu dan sedang apa kamu. Dia pergi, berniat menyusul kamu."Tidak heran ada beberapa panggilan tak terjawab di ponsel Bumi sebelumnya. Hanya saja, Bumi tidak sadar. Kembali Bumi membuang napas ka
Satu minggu berlalu, tapi sampai saat ini Ola belum sadarkan diri. Wanita malang itu harus menjalani perawatan intensif di ICU akibat melambatnya aliran darah menuju organ vital. Cedera di kepala Ola ternyata tidak main-main. Bahkan dokter mengatakan wanita itu dalam kondisi koma. Selama itu pula Bumi tak pernah sedetik pun absen menjaga wanita itu. Dia benar-benar melepas semua pekerjaannya di kantor Blue Jagland demi tetap bersama Ola. Tidak ada yang berubah sedikit pun dari wanita yang saat ini berbaring di ranjang pesakitan dengan beberapa alat medis yang menyambung ke tubuhnya. Ola tetap terlihat cantik dalam kondisi apa pun. Hanya saja dia belum mau membuka mata. "Don't you miss me?" tanya Bumi seraya menyentuh tangan Ola, dan membawanya ke pipinya sendiri. "Aku kangen kamu. Kangen kenakalan kamu, kangen manjanya kamu, kangen omelan kamu, kangen keras kepala kamu. Segalanya yang ada di kamu aku kangen. Katakan apa yang kamu mau, asal kamu bangun sekarang aku pasti akan mengabu
Lorong rumah sakit tampak lengang dan sepi saat Daniel sampai di lantai lima tempat ruang ICU berada. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam, tapi pria tua itu berniat mengunjungi putrinya setelah lagi-lagi Delotta histeris dan terus menyalahkannya atas apa yang menimpa Ola. Dia tidak bisa melihat Delotta seperti itu terus. Bukan hanya perempuan itu yang terluka, dirinya pun sama terlukanya. Sejak Ola masuk rumah sakit keadaan rumah benar-benar berbeda, terutama sikap Delotta padanya. Wanita itu memang masih menyiapkan segala keperluannya, tapi interaksinya dengan ibu dari anak-anaknya itu sangat minim, bahkan nyaris tak pernah. Tidak ada lagi minum teh sore berdua di taman belakang. Tidak ada lagi candaan mesra yang seperti biasa istrinya lontarkan. Kebiasaan remeh temeh yang membuat cinta mereka masih tetap rimbun meski waktu menelan usianya, satu per satu menghilang.Genap satu bulan Daniel sefrustrasi ini. Puncaknya malam ini ketika Delotta melempar bingkai foto pernikahannya hing
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari