Lorong rumah sakit tampak lengang dan sepi saat Daniel sampai di lantai lima tempat ruang ICU berada. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam, tapi pria tua itu berniat mengunjungi putrinya setelah lagi-lagi Delotta histeris dan terus menyalahkannya atas apa yang menimpa Ola. Dia tidak bisa melihat Delotta seperti itu terus. Bukan hanya perempuan itu yang terluka, dirinya pun sama terlukanya. Sejak Ola masuk rumah sakit keadaan rumah benar-benar berbeda, terutama sikap Delotta padanya. Wanita itu memang masih menyiapkan segala keperluannya, tapi interaksinya dengan ibu dari anak-anaknya itu sangat minim, bahkan nyaris tak pernah. Tidak ada lagi minum teh sore berdua di taman belakang. Tidak ada lagi candaan mesra yang seperti biasa istrinya lontarkan. Kebiasaan remeh temeh yang membuat cinta mereka masih tetap rimbun meski waktu menelan usianya, satu per satu menghilang.Genap satu bulan Daniel sefrustrasi ini. Puncaknya malam ini ketika Delotta melempar bingkai foto pernikahannya hing
Pintu terbuka lebar tepat ketika Bumi sedang menyuapi Ola potongan buah apel. Kedua manusia itu menoleh. Sosok Yara disusul Galen lantas muncul. Yara berjalan cepat dan langsung menghambur ke pelukan Ola hingga Bumi mundur seketika. "Yara?" Ola mengerjap dan sedikit tersentak mendapat dorongan tiba-tiba dari sahabatnya itu. Sejurus kemudian wanita itu kaget karena tiba-tiba Yara menangis histeris seperti anak kecil. "Gue takut banget! Takut lo nggak bangun! Kenapa lo tidur lama banget sih, La?! Lo beneran bikin gue takut! Pokoknya gue nggak mau. Gue nggak mau lo jadi putri tidur lagi!"Ola mengerling ke Bumi dan Galen berganti sambil mengangkat alis. Jarinya secara pelan menunjuk Yara yang masih saja menangis di pelukannya. Dagunya lantas mengedik ke arah Galen. Tatapan matanya seolah bertanya : apa yang terjadi? Namun Galen hanya membalas dengan senyuman kecil. Sejujurnya jika boleh, Galen juga ingin memeluk Ola erat-erat. Namun kondisi dan situasi jelas tidak memungkinkan. Apalag
Kerutan di kening Daniel makin kentara ketika kepalanya terus memikirkan berita yang Arfian bawa. Dia bahkan sengaja memanggil Gyan ke ruangannya untuk mendiskusikan perkara yang menurutnya aneh. Pria tua bermata biru itu mengusap dagu. Mengingat sekali lagi kaitan perusahaannya dengan Saguna Grup. Namun sekeras apa pun menggali, tidak ada jejak ingatan yang menghubungkan Blue Jagland dengan perusahaan mayor itu. "Selamat siang, Presdir," sapa Gyan begitu memasuki ruang kerja sang papi. Daniel yang duduk di balik meja kontan beranjak berdiri dan bergerak keluar dari rongga antara meja dan kursi. Langkahnya segera mungkin mengitari meja lalu meminta Gyan untuk duduk di sofa. "Ada hal penting, Pak?" tanya Gyan melihat wajah serius Daniel yang lain dari biasanya.Lipatan di dahi Daniel makin banyak. Dia menatap putranya dengan serius begitu keduanya duduk saling berhadapan. "Gyan, papi mau nanya sama kamu. Apa di belakang papi kamu diam-diam bekerja sama dengan Saguna Grup?" "Saguna
Bumi baru menutup pintu ketika mendengar gelak tawa Ola dari dalam kamar rawat inap bersama kedua teman wanita itu. Pria itu mengulum senyum lantas kembali menetapkan langkah menjauhi ruang VIP di mana Ola dirawat. Akhirnya dia bisa mendengar tawa wanita itu lagi setelah lebih dari satu bulan merasa frustrasi dan bahkan sempat kehilangan harapan. Bumi merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya yang berdering. Dia tahu itu pasti panggilan dari pamannya. Malam ini keluarga Gunadi dan keluarga ayah asuhnya akan bertemu dalam jamuan makan malam di salah satu restoran yang ada di bilangan Senayan. Priyo Gunadi bilang bahwa kakeknya, Praja Gunadi, sudah sampai Jakarta sejak pagi. Untuk itu dia meminta Yara dan Galen datang untuk menemani Ola selama beberapa dia pergi menemui dua keluarga itu. "Iya, Paman. Aku masih di jalan," ucap Bumi saat dia mengangkat panggilan itu. Bukan hanya Priyo Gunadi, Gyan pun ikut sibuk dengan mengiriminya beberapa pesan. Salah satunya menanyakan tentang k
"Lalu gimana dengan Bumi?" Bumi segera mengangkat wajah dan menatap Delotta. Kedua mata mereka bertemu, dia agak terkejut saat melihat raut tegang ibu asuhnya itu. "Apa kamu percaya begitu saja mereka keluargamu? Tiga puluh empat tahun usiamu sekarang, Bumi. Bagaimana mungkin mereka baru mencari kamu?" Kembali tatapan tajam Delotta mengarah kepada deretan keluarga konglomerat Surabaya itu. "Maaf, Pak Gunadi. Saya tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang Anda katakan. Anda tidak bisa mengklaim putra saya sebagai anak Anda hanya dengan bukti-bukti itu," ujar Delotta seakan tidak terima dengan apa yang mereka katakan. "Baby..." Daniel menyentuh lengan Delotta. "Keep calm oke?" "Keep calm, gimana? Berpuluh-puluh tahun, Pi. Separuh hidupnya di panti dan separuhnya lagi bersama kita, selama ini nggak ada yang nyari dia. Bisa-bisanya sekarang Anda sekalian mengklaim anak kami sebagai bagian dari Anda?" Napas berat Praja Gunadi berembus pelan. Dia menerima jika harus disalahkan se
Di ruang keluarga, selepas acara makan malam itu, semuanya kembali berkumpul. Meski begitu belum ada yang berani memulai angkat suara. Daniel pun terlihat masih mencerna apa yang sudah terjadi. Dia tidak pernah menyangka jika anak yang selama ini dia asuh ternyata memiliki keluarga yang tidak bisa dianggap remeh. Bukan seperti pikirannya selama ini yang selalu menganggap Bumi tidak memiliki asal usul yang jelas. Dan jika dulu Daniel tidak melihat potensi besar pada diri lelaki itu, mungkin dia tidak akan mempertimbangkan mengambil Bumi dari panti untuk tinggal bersamanya. Bumi remaja adalah salah satu siswa berprestasi. Bukan hanya dalam bidang akademik saja. Setelah tahu lelaki itu memiliki beberapa talenta yang berharga, Daniel pun memutuskan mengadopsi remaja tanggung itu. "Kalau hasil tes itu membuktikan kamu bagian dari mereka, apa kamu akan pergi dan ikut mereka?" tanya Delotta dengan pandangan nanar. Semua tahu pertanyaannya ditujukan untuk putra asuhnya. "Kita tidak berhak
Ola mendesah ketika melihat bagian kepala yang ditutupi perban. Bagian rambutnya ada yang sengaja dicukur oleh para medis saat menjahit lukanya. Dia tahu nantinya akan tumbuh bekas luka yang mungkin bisa sukar ditumbuhi rambut. "Kenapa muka kamu cemberut gitu?" tanya Bumi yang tengah sibuk mengeluarkan pasta gigi dari tube. Kegiatan rutin sehari-harinya, membantu Ola bersih-bersih. Dia bahkan baru saja selesai membersihkan muka Ola dengan facial wash. "Bekas luka di kepala nanti bakal jelek banget karena nggak bisa ditumbuhi rambut, Kak," ujar Ola dengan bibir cemberut. Bumi tersenyum kecil, lantas meminta wanita itu meringis agar dia bisa dengan mudah menggosok giginya. "Cuma sedikit. Kalau nggak tumbuh rambut nggak masalah buatku," sahutnya enteng sambil menggosok lembut gigi Ola. Namun jawaban pria itu membuat alis melintang Ola menyatu. Pangkal alisnya berkerut samar. Dia ingin menjawab, tapi buih-buih di dalam mulutnya membuat wanita itu kesulitan ngomong. "Buka mulut kamu,"
Praja Gunadi menepuk pundak Bumi, lalu memeluk pria itu. Hasil tes DNA baru saja keluar dan pengujian menggunakan sampel darah milik Bumi dan Kakek Praja secara akurat menyatakan bahwa Bumi positif cucu dari salah satu konglomerat Surabaya tersebut. "Tidak terbantahkan lagi, kalau kamu memang cucuku," ujar Praja Gunadi merasa bahagia luar biasa. Bukan hanya pria tua itu yang memeluk erat Bumi, Priyo juga ikut merasa senang dengan hasil yang didapatkan. "Saya sangat yakin. Kamu memang anak Riana dari sejak pertama kita bertemu," ujar Priyo saat memeluk keponakannya itu. "Welcome to The Gunadi Kingdom, My Brother," seru Ara ikut merentangkan tangan dan memeluk Bumi juga setelah ayahnya. "Kita perlu ngadain acara syukuran di rumah ntar. Iya nggak, Kek." "Pasti itu, pasti."Meski reaksi Bumi tidak se-excited mereka dia juga tampak bahagia karena pada akhirnya benar-benar menemukan keluarganya. Setidaknya dia memiliki garis keturunan yang jelas. Kontras dengan kebahagiaan keluarga Gun
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m