Apa ada yang masih melek? Ramaikan yak malam-malam hihi.============"Kamu tau nggak, Kak. Hari ini aku berhasil menarik perusahaan papanya Galen buat kerjasama dengan perusahaan kita," ujar Ola penuh semangat ketika dia baru mendaratkan bokongnya ke jok mobil Bumi. "Surya Cipta Mandiri?" Ola mengangguk agresif. "Ya, mereka ada program pengadaan rumah bagi karyawan tetap. Aku melobi mereka agar mau mengambil cluster di kita dengan beberapa penawaran yang menarik. Memang sih ada campur tangan Galen. Dia membantuku mengajukan proposal ke papanya." "Good, kamu memang memiliki abilitas itu." Bumi tersenyum tipis, sebelah tangannya mengusap kepala Ola pelan sebelum kembali fokus menyetir. Malam ini dia akan langsung membawa Ola pulang ke rumah alih-alih ke apartemen. Dari sikapnya, Ola sepertinya belum tahu apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. "Loh kita nggak ke apartemen kamu?" tanya Ola ketika menyadari kendaraan yang mereka tumpangi tidak mengarah ke jalan menuju apart
"Aku nggak ngerti deh kenapa tiba-tiba papi mau mutasi Kak Bumi ke Sulawesi." Ola menatap Daniel. Tidak ada clue sama sekali pada wajah sang papi. Ketika melirik Gyan pun sama saja. Sementara Delotta masih terus diam dengan pandangan kosong. "Ada yang bisa jelasin?" tanya Ola. Dia kembali melirik Gyan. "Mas, Kak Bumi kan aspri kamu, kenapa kamu diam aja asprinya mau mutasi?" "Bumi harus mutasi," ujar Daniel lagi dengan suara lebih tegas, seakan tidak ingin dibantah atau dipertanyakan lagi keputusannya. "Iya tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba gini? Ada masalah urgent apa di sana? Dan kenapa mesti Kak Bumi? Orang papi lainnya kan banyak." Ola masih tampak tidak terima dengan keputusan semena-mena papi. Mentang-mentang Bumi penurut, papi jadi bertindak seenaknya. Ola cukup kesal ketika tiba-tiba papi meminta Bumi jadi asisten Gyan di saat pria itu sedang nyaman-nyaman menghandle perusahaan di Bandung. Sekarang pun sama saja. Papi selalu sesuka hati kepada Bumi. "Papi nggak bisa gitu don
Bumi sedang mengepak baju-bajunya ketika Ola datang. Gadis itu tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar dengan napas terengah. Bukan hanya itu, wajah ayunya juga terlihat sembab. "Ola?" Gadis itu segera menghampiri Bumi dan menubruk lelaki itu. Memeluknya erat-erat, membuat Bumi agak terkesiap. "Kenapa kamu nggak bilang kalau papi udah tau semuanya?" tanya Ola menenggelamkan diri di pelukan pria itu. Sudah Bumi duga kedatangan Ola selarut ini pasti karena gadis itu sudah tahu semuanya. Bukan tanpa sebab Bumi tidak memberitahu Ola. Jika kekasihnya tahu reaksi Daniel tentang hubungan mereka, gadis itu pasti akan mengonfrontasi papinya. Bumi tidak mau Ola bertengkar atau ribut dengan Daniel karena dirinya. "Mas Gyan udah kasih tau semuanya," ucap Ola lagi. "Kak, kamu nggak harus pergi memenuhi perintah papi. Kita bakal hadapi ini sama-sama." Dia mengurai pelukan tanpa melepaskan diri. Tatapnya bergulir ke atas untuk melihat wajah Bumi. Pria itu tampak tenang, tapi raut sedihnya bisa O
Bu Tina terkejut ketika melihat Bumi datang ke panti dengan membawa dua kantong plastik besar. Anak-anak yang lebih dulu menyambut kedatangan pria itu dengan antusias. Setelah pekerja panti menggiring mereka, bersama dua kantong plastik besar itu ke balai, Bumi baru bisa bergerak menghampiri Bu Tina yang sudah menunggunya. Bumi dengan sopan menyalami wanita tua itu. Sebelum terbang ke Manado, dia memutuskan untuk bertemu Bu Tina sekaligus pamit. "Neng Ola nggak ikut?" tanya Bu Tina sembari mencari seseorang di balik punggung lelaki itu. "Nggak, Bu. Ola nggak ikut. Dia lagi sibuk." Meski diucapkan sambil tersenyum, Bu Tina tahu ada sesuatu yang tidak beres saat melihat wajah Bumi. Lagi pula, belum ada sebulan sejak kedatangan lelaki itu ke panti. Kemunculan Bumi yang tiba-tiba membuatnya jelas bertanya-tanya. "Kamu ada masalah di Jakarta, Nak?" tanya Bu Tina hati-hati. Namun Bumi menggeleng pelan dan kembali menarik sudut bibirnya. Sudah Bu Tina duga. Bumi bukan anak yang suka ber
Satu bulan berlalu dengan sangat lambat. Selama itu pula tidak ada yang mendengar tangis Ola tiap malam karena rindunya pada Bumi makin menyiksa. Bumi benar-benar memenuhi apa yang Daniel minta. Setelah malam panas itu, dia pergi meninggalkan Ola yang masih terlelap tanpa pamit lagi. Saat itu menyadari Bumi tidak ada lagi di sisinya, Ola menangis sejadi-jadinya. Dadanya terasa sesak hingga tak tahan dan meledak. Yang membuatnya makin tidak karuan, nomor ponsel Bumi pun mendadak tidak aktif lagi. Jika bukan karena janjinya pada lelaki itu, mungkin waktu itu Ola sudah mengamuk di depan papinya. Ola mendesah malas saat menemukan kedua orang tuanya di meja makan. Alih-alih ikut bergabung atau sekedar membalas sapaan selamat pagi mereka, gadis itu memilih beranjak ke dapur untuk mengambil tumbler yang dia simpan semalam di kulkas. "Ola, kamu nggak sarapan dulu?" tanya Delotta ketika Ola melewati meja mereka lagi. "Nggak," sahut Ola singkat tanpa melirik sedikit pun, lalu melenggang per
"Papi serius?" Gyan menatap Daniel tak percaya. Pasalnya saat ini papinya itu sedang menunjukan potret perempuan yang katanya akan menjadi istri Bumi. "Kali ini papi serius. Bahkan papi sudah bertemu dengan keluarga mereka. Papi akan pastikan perjodohan kali ini tidak akan gagal seperti sebelumnya." Daniel mengembangkan senyum. Dia sangat yakin pilihannya kali ini tepat. "Tapi, Pi. Gimana dengan Ola?" Pertanyaan Gyan berhasil menyurutkan senyum Daniel. "Ola? Papi lebih setuju kalau dia sama Galen. Mereka sahabat dekat, akan lebih mudah papi rasa." Di tempatnya Gyan menganga tak menyangka. Ini mengingatkan dirinya dulu. Papi juga gencar mencarikannya jodoh, meski akhirnya pilihan papi salah. "Papi yakin kali ini nggak akan salah? Papi ingat kan kasus Amanda dulu?" "Kali ini papi yakin. Felisia tidak seperti Amanda. Orang tuanya mendidiknya begitu ketat. Mereka sangat menjunjung adat dan tradisi. Bumi akan cocok bersanding dengannya. Papi sudah merelakan kamu menikahi wanita dar
Bumi menghela napas saat baru menyelesaikan panggilannya dengan Daniel. Ayah asuhnya itu meminta dirinya untuk pulang ke Jakarta. Entah apa lagi yang diinginkan Daniel padanya. Enam bulan terjebak di kota yang tidak terlalu padat penduduk membuatnya bisa menenangkan diri. Setidaknya di tengah masalah yang Daniel berikan, di sini dia masih bisa menghirupp udara segar. Bukan apartemen atau rumah mewah yang Bumi tinggali selama enam bulan terakhir, melainkan rumah petak yang posisinya sedikit melipir ke pinggir kota. Tempatnya tidak mewah, tapi lumayan bersih. Dan yang terpenting masih ada sinyal internet untuk mengakses semua pekerjaannya. Hari ini dia berencana bertemu dengan seseorang. Seseorang yang Bumi abaikan lantaran dia merasa tidak perlu lagi tahu lebih jauh tentang keluarganya. Beberapa hari lalu pria bernama Priyo Gunadi menghubunginya. Bumi tebak, orang itu mendapatkan nomor barunya dari Bu Tina. Dan siapa sangka dia akan sampai di momen ini. Bertemu orang yang mungkin aka
"Saya tidak memiliki anak laki-laki. Sementara kakekmu sangat menginginkan cucu laki-laki sebagai penerusnya. Saya harap, kamu mau berkunjung ke Surabaya untuk bertemu dengan kakekmu. Beliau sangat terpukul dengan kepergian ibumu, Bumi. Selama ibumu sakit, beliaulah yang selalu menjaganya siang malam. Sampai detik ini beliau masih saja hidup dalam penyesalan."Kata-kata Priyo Gunadi di restoran satu jam lalu masih terngiang di benak Bumi. Dalam perjalanannya kembali pulang ke rumah, dia terus memikirkan permintaan pria itu yang menginginkan dirinya datang ke Surabaya. Namun Bumi belum memberi jawaban pasti. Sejujurnya, dia juga ingin mengenal keluarga ibunya itu. Tapi sekarang-sekarang ini sepertinya bukan waktu yang tepat. Bumi memarkirkan mobil di sebidang tanah yang dekat dengan rumah petak sewaannya. Rumah yang dia sewa tidak memiliki carport, sehingga pemilik rumah menyediakan sebidang tanah sebagai fasilitas tambahan parkir mobil sederhana yang atapnya menggunakan asbes. Setel
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari