Ola kembali berguling ke sisi kanan. Saat ini dirinya tengah berbaring di kasur milik Bumi yang menghampar di lantai. Tidak ada dipan atau sejenisnya yang mengalasi kasur itu. Yang Bumi pakai ini sejenis kasur busa lesehan yang bisa Ola perkirakan tingginya kurang dari sepuluh senti. Setelah diajak berkeliling wilayah sekitar plus lapor pada petugas setempat tentang Ola yang akan menginap di rumah sewaan itu, Ola langsung merebahkan diri di kasur busa ruang tengah. Sekedar informasi rumah petak ini disekat menjadi tiga bagian. Bagian pertama ruang tamu, bagian kedua ruang tidur yang saat ini Ola tempati, dan terakhir kamar mandi. Tapi dasar orang rajin. Tempat sesempit ini pun bisa disulap menjadi tempat yang nyaman oleh Bumi. Sehingga Ola merasa kerasan tiduran di sana. Ola menyahut rambut Bumi yang agak panjang. "Kak..." Bumi yang tengah memejamkan mata di sisinya hanya menggumam menanggapi. "Kamu kangen aku nggak sih?" tanya Ola sembari memainkan rambut legam Bumi, menyisirnya
Bumi berbaring miring menghadap Ola yang tiduran dalam posisi tengkurap. Dia masih menikmati membelai lembut punggung halus Ola yang terpampang di hadapannya. Hampir semua bagian tubuh Ola, dia menyukainya dan entah sejak kapan menjadi candu setiap kali menyentuhnya. "Ola...," panggil Bumi dengan suara lirih. Panggilan itu membuat Ola membalik posisi kepala, menghadap ke sisi Bumi berbaring. Dan wajah kemerahan wanita itu bisa langsung Bumi tangkap. "Ya?" "Masih lemas?" tanya pria itu. "Udah enggak. Tapi di bawah sana rasanya masih geter-geter terus." Ucapan jujur Ola membuat tawa kecil Bumi seketika meluncur. Dengan gemas pria itu menunduk, dan menyasar bibir Ola, serta melumatnya. Masih dengan posisi tengkurap, tangan Ola terangkat, menekan tengkuk Bumi agar pria itu makin memperdalam ciuman. Saat ciuman keduanya makin panas, Ola memutar badan. Selimut yang menutupi tubuh bagian atasnya secara otomatis melorot. Dia mendorong Bumi, hingga dirinya sukses berada di atas pria itu.
Waktu cuti yang terbatas membuat Ola harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin bersama Bumi. Ini definisi melepas rindu yang sesungguhnya. Nyaris tiap waktu wanita itu terus menempeli Bumi, seolah-olah takut berpisah lagi. "Aku disuruh papi pulang lagi," ucap Bumi saat dia dan Ola sedang bersantai di teras samping rumah. Ya, rumah kecil itu memiliki teras depan yang menyambung ke sisi samping. Di teras samping itu terdapat kolam ikan emas koi yang dirawat dengan baik oleh lelaki itu. Ola yang tengah scrolling reels media sosial sambil bersandar di bahu Bumi, kontan menjauhkan diri. Punggungnya menegak, dan keningnya berkerut dalam. "Sekarang papi mau apa lagi?" Bumi mengangkat bahu. "Aku nggak tau. Tugasku cuma mematuhi perintah papi.""Kak, ya ampun. Kapan sih kamu nggak patuh sama papi? Pas kuliah, di saat kamu ingin masuk jurusan mesin, papi nyuruh kamu masuk bisnis pun nurut.""Tapi setelah itu aku bisa kuliah mesin juga kan?" "Iya, tapi prosesnya kan ribet."Bumi tersenyum seol
"Aku jadi bingung mau ninggalin kamu di sini." Gyan menatap Ola dan Bumi berganti. Hari ini rencananya dia bakal balik ke Jakarta lagi karena ada urgensi yang menuntut kehadirannya. Namun saat melihat adegan panas di teras antara adiknya dan Bumi dia dilanda kebingungan. "Kenapa bingung? Mas Gyan kan emang udah ninggalin aku dari kemarin," sahut Ola dengan kening berkerut. Aneh, pake acara drama segala. Dia memutar bola mata.Kembali Gyan menatap mereka berdua. Lantas menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Kami nggak sampai sejauh itu," celetuk Bumi tiba-tiba. Seolah tahu apa yang ada di pikiran Gyan. Walaupun tahu persis gaya pacaran pria itu dulu, Bumi tidak menduga kalau Gyan akan sekhawatir itu. Mata biru Gyan berkedip beberapa kali saat menatap Bumi. "Serius kalian belum....terus kalian ngapain aja?" tanyanya malah terlihat penasaran. "Mas!" tegur Ola cepat, merasa tidak suka dengan kekepoan kakaknya. "Kita mau ngapain juga bukan urusan kamu, Mas." "Aku kan cuma mau ma
Sepanjang perjalanan menuju bandara, sejengkal pun Ora enggan berjauhan dari Bumi. Bahkan wanita itu meminta Bumi untuk tidak mengendarai mobil sendiri, agar dirinya bisa lebih leluasa bergelayut di lengan pria itu. "Kapan kamu ke Jakarta?" tanya Ola mendongak dengan pipi yang masih erat menempel di lengan atas Bumi. "Sebulan atau dua bulan lagi mungkin. Sampai urusan pekerjaan di sini selesai." Bibir Ola mencebik kecewa. "Lama banget. Apa aku di sini aja ya, sampe kamu balik ke Jakarta. Bisa WFA kan?" Mendengar itu Bumi terkekeh sambil menyentil dahi Ola. "Kamu mau dipecat dari divisi kamu? Kerjaan kamu nggak bisa dikerjain di mana aja. Divisi kamu menuntut fisik kamu ada di sana." Wanita yang saat ini menggerai rambut ombrean cokelat dan hitamnya itu mendesah. "Nggak seru," kesahnya makin mengeratkan pelukan pada lengan Bumi. Rasanya enggan berpisah lagi. Lima hari seperti terlewat begitu saja layaknya kedipan mata. "Aku masih nggak ngerti kenapa papi nggak setuju sama hubungan
Sejak memutuskan silent treatment, Ola menjadi jarang berinteraksi dengan Daniel. Setiap kali papinya ingin membangun obrolan, Ola langsung menghindar. Jujur dia rindu. Rindu bermanja dengan pria tua itu. Rindu dijajanin pakai kartu kredit papi. Namun demi restu yang harus dia dapat, Ola rela menjauh dari kebiasaan itu. Dan sekarang, manajernya baru saja mengatakan kalau dirinya dipanggil presdir di kantornya. Sebagai bawahan, bukan sebagai anak, Ola harus patuh. Bagaimana pun juga Daniel adalah atasannya, yang memegang kekuasaan tertinggi di perusahaan ini. Sebisa mungkin Ola akan bersikap formal menghadapi pria bermata biru itu nanti. Galen : Pulang jam berapa? Pesan dari Galen masuk saat Ola berada di lift. Sejak perusahaan keluarga Galen bekerjasama dengan perusahaan keluarganya, mereka menjadi makin dekat. Tidak jarang Galen menjemput Ola lalu berkumpul bersama Yara di coffee shop. Jari tangan Ola bergerak menekan layar ponsel dengan cepat. Memberi balasan singkat. Dan tidak
Bumi tercenung di depan sebuah makam. Makam dengan batu nisan yang terukir tinta keperakan. Nama Riana Gunadi tertulis di sana lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Cukup lama Bumi terdiam. Tangannya masih memeluk erat buket bunga dafodil putih yang bagian tengahnya berwarna kuning. Kata Praja Gunadi, kakeknya, semasa hidupnya Riana sangat menyukai bunga tersebut. Bunga yang mirip dengan sinar matahari. Ya, Bumi akhirnya memutuskan menemui kakeknya di Surabaya setelah Priyo Gunadi terus menghubunginya. Dan dia tidak mengira jika sambutan sang kakek ternyata akan sehangat itu. Praja Gunadi masih terlihat sehat meskipun selalu ada tongkat di tangannya. Rambutnya yang sudah memutih dipangkas rapi. Wajahnya bersih walaupun kulit tuanya sudah mengendur di sana-sini. Sampai detik ini pelukan pria tua itu masih saja terasa hangat di sanubari Bumi. Permintaan maaf sang kakek juga terus terngiang. Bumi bisa melihat wajah penyesalan Praja Gunadi. Bahkan air mata kakek itu sampai
Sudah lebih dari lima belas menit Bumi menunggu kedatangan Ola di area parkir basemen kantor. Namun batang hidung wanita itu belum juga muncul. Menurut info yang dia dapat, hari ini Ola pulang agak malam. Itu dibenarkan dengan adanya mobil milik wanita itu yang masih terparkir aman di sana. Bumi bergerak menyembunyikan diri di salah satu pilar besar saat mendengar langkah ketukan sepatu. Kepalanya sedikit melongok untuk memastikan siapa yang datang. Senyum kecilnya kontan terbit ketika melihat wanita cantik dengan rambut tergerai melangkah mendekat. Itu Ola. Wanita itu mengenakan kemeja panjang berwarna krem disambung bawahan rok span sebatas lutut. Tungkai mulusnya terayun cantik dengan heels senada warna rok yang dia pakai. Wanita itu berjalan cepat sendirian menuju ke arah tempat mobilnya berada. Bumi menyeringai. Diam-diam dia mengikuti Ola yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Dan tepat saat bunyi sensor mobil terdengar, dengan cepat dia menarik lengan Ola. Ola cukup ter
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m