"Aku mau rayain ultah berdua sama Kak Bumi aja." Bumi menoleh cepat dan langsung mendapati muka close up Ola yang sedang tersenyum manis padanya. Dia agak terkesiap. Kacamata bacanya sampai merosot lantaran jarak wajah gadis itu terlalu dekat dengan wajahnya. Pria tiga puluh tahun ini menelan ludah sebelum berdeham sambil memalingkan wajah. "Kenapa?" tanya pria itu mengalihkan pandangan ke layar laptop yang ada di pangkuannya. "Mami sama papi aja masih di Kanada. Kayaknya semesta emang merestui kita buat berduaan aja deh, Kak." Ola terkikik sendiri dengan pemikirannya yang absurd. Membuang napas pelan, Bumi akhirnya menutup laptop. Merevisi tesis ditemani Ola memang bukan ide bagus. Nyaris satu jam dia menekuri laptop satu paragraf pun belum ada yang dia kerjakan. Pasalnya selama itu Ola terus saja membuatnya salah fokus. Ada saja gangguan kecil yang gadis itu buat. "Ya kita lihat entar aja," ucap Bumi sambil melepas kacamata dan menyimpannya kembali di cover-nya. "Gimana kalau
"Masih lama?" Bumi yang sedang menghadapi layar laptop mendongak sejenak. Di ambang pintu dia melihat Ola berdiri sambil memeluk guling. Bumi pikir gadis itu sudah tidur pulas. "Sedikit lagi. Kamu bisa tidur lebih dulu," ucap Bumi sambil tersenyum lalu kembali melarikan jari jemarinya di atas keyboard laptop. "Aku nggak bisa tidur. Kak Bumi mau aku bikinin minuman?" "Nggak perlu. Ini sebentar lagi selesai." Gadis yang rambutnya sedikit kusut itu menyeret kaki, memasuki ruang kerja Bumi. Dan melempar gulingnya begitu saja. "Kamu sudah mau sidang tesis lagi ya?" "Iya. Doakan lancar ya." "Hu-um." Ola mengangguk, berdiri di samping kursi yang Bumi duduki dengan wajah kusut. Mata legamnya tertuju ke layar laptop meski tidak mengerti apa yang sedang lelaki itu tulis. Beberapa kali juga dia menguap. "Ngantuk kan? Sana balik ke kamar lagi aja.""Tapi kamu belum selesai." Kaki Ola bergerak. Dia memaksa masuk ke celah antara meja dan kursi Bumi. Saat gadis itu masih berumur belasan tah
"Kita nggak akan bisa begini kalau di rumah papi." Ola mengeratkan pelukannya. Tidak seperti di kosan, tempat tidur di kamar Bumi jauh lebih luas dan juga memiliki tempat tidur yang lebih lebar. Sehingga dia bisa lebih leluasa bergerak. "Pinter. Sebisa mungkin kamu harus jaga sikap." "Kok cuma aku?" Ola sedikit menjauhkan pelukannya dan mendongak. "Kamu juga dong." "Aku selalu bisa jaga sikap. Kamu yang sering sembrono." Dengan pelan Bumi mendorong dahi Ola. Senyumnya terulas lemah saat melihat bibir Ola mengerucut. "Satu lagi, hentikan kebiasaan kamu memonyongkan bibir begitu." "Memangnnya kenapa?" Lagi-lagi Bumi hanya tersenyum kecil. Dia tidak akan memberitahu kalau bibir Ola yang maju seperti itu sangat menggemaskan. Dulu saat otaknya sedang tidak beres, kadang pikiran liarnya berputar-putar membayangkan rasa bibir itu. "Pokoknya jangan biasakan begitu.""Jelek ya?" Ola nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. "Ya gitu deh. Jadi nggak manis." Namun Bumi terkesiap s
GPS mobil menunjukkan saat ini Ola dan Bumi memasuki wilayah Bandung Barat. Sepagi ini keduanya sudah memasuki kawasan Kota Lembang. Ola yang sejak tadi tertidur agak kaget saat membuka mata. Jika bukan karena perutnya yang keroncongan mungkin dia akan lanjut tidur sampai tidak sadar Bumi memboyongnya ke tempat yang berbeda. "Kita mau ke mana, Kak?" tanya Ola menatap pria di sisinya, lalu kembali menatap jalanan di sekitarnya. Kendaraan yang mereka tumpangi melaju turun. Beberapa kali Ola juga melewati tempat wisata kota. "Ke tempat yang kamu mau.""Lembang. Kita mau ke vila yang waktu itu?" tanya Ola tampak antusias. Mata mengantuknya hilang tak berbekas saat melihat senyum penuh arti pria di sebelahnya. "Katanya nggak mau ke vila. Bilangnya : Kita mau merayakan ultah kamu, bukan bulan madu," ujar Ola lagi sambil menirukan gaya bicara Bumi waktu itu. Tapi Bumi di sebelahnya malah makin tersenyum bukannya membalas sindiran Ola. Dia memutar kemudi dan menepikan kendaraannya di pingg
Kemunculan Rean dan ayahnya sama sekali tidak terlintas di kepala Bumi. Dan itu memang tidak ada dalam agenda rencana yang lelaki itu buat. Jadi dia agak terkejut dengan kemunculan keduanya. Namun yang menyebalkan, Ola sepertinya bahagia dengan kedatangan lelaki itu. Gadis itu tertawa senang sambil melambaikan tangan penuh semangat ketika melihat Rean. Bumi belum memastikan lagi apakah Ola sudah putus dari salah satu mahasiswa jebolan perguruan tinggi di NYC itu."Kok kamu bisa ke sini?" tanya Ola heran begitu Rean menghampirinya."Kenapa nggak bisa?" sahut Rean sambil melirik Daniel yang ternyata tengah senyum-senyum sendiri melihat mereka."Jangan heran ya, Ola. Om dan Rean kemarin bertemu papi kamu. Lalu papi kamu mengundang Om dan Rean buat ikut acara family camp kalian dalam rangka rayain ultah kamu."Ucapan Danudirja barusan membuat Ola paham. Gadis itu membulatkan mulut seraya mengangguk."Kamu seneng kan ada Rean di sini?" goda Daniel sambil menggerak-gerakan kedua alisnya. "B
Senyum Ola terbit ketika akhirnya dia menemukan Bumi. Pria itu tengah duduk sendirian di pinggiran sungai jernih di dekat tenda. Di saat yang lain tengah berkumpul di kebun stroberi, pria itu malah memisahkan diri. Dengan pelan Ola jalan mengendap-ngendap, melipir ke pinggir tenda. Dan ketika tepat berada di belakang Bumi, dua lengannya langsung merangkul leher pria itu. Serta-merta tindakan itu membuat Bumi terkejut bukan main. Hampir saja pria itu jatuh ke sungai kalau kaki panjangnya tidak segera menyangga bobot tubuhnya. "Ola!" Tanpa merasa bersalah gadis itu malah tersenyum lebar. "Kak Bumi lagi mikirin apa? Kok nggak ikut berkebun?" Tidak seperti Ola yang terlihat santai, raut terkejut Bumi berubah panik. Dengan enggan dia mencoba melepaskan rangkulan lengan Ola. "Ola, jaga sikap. Nanti ada yang lihat," bisik Bumi sembari celingukan, takut ada yang memergoki mereka. "Mereka jauh, Kak. Ada di ujung sana. Nggak mungkin tiba-tiba langsung ke sini." "Iya, tapi jangan begini."
"Jadi, kalian dari tadi main berdua aja di sungai?" Bumi dan Ola kompak mengangguk sambil memaksakan tersenyum. Degup jantung keduanya yang menggila belum sempat mereda. Keduanya bahkan masih susah payah mengatur napas. "Kalian lagi nangkap ikan ya?" Wajah penuh tanda tanya Gyan kontan berbinar-binar. "Kenapa nggak ngajak-ngajak sih?" Sekonyong-konyong Gyan ikut menceburkan kakinya ke sungai berair jernih itu. "Kan seru kalau nangkap ikan rame-rame." Bumi dan Ola tertawa kaku melihat reaksi Gyan yang tidak terduga itu. Dalam hati, mereka merasa lega karena Gyan tidak curiga. Ola sampai memukul-mukul punggung Bumi untuk meyakinkan tawa terpaksanya itu. "Iya, gimana sih Kak Bumi kok nggak ngajak-ngajak Mas Gy nyari ikan," seru Ola lantas tertawa lagi dengan ekspresi aneh. Dengan gerakan mata dia memberi isyarat agar Bumi menimpali ucapannya. Bumi mengusap belakang kepala sambil meringis kaku. "Sori, Gy. Lupa." "Aduh ayo kita berburu lagi. Lumayan kan buat acara ntar malam kalau dap
Senyum lebar Gyan kontan buyar ketika suapan ketiga cake yang Ola potong mampir ke mulut Bumi lebih dulu alih-alih dirinya. Dua alis tebalnya tertaut seketika. Baru saja lelaki itu hendak melayangkan protes, adik bungsunya langsung menyumpal mulutnya dengan potongan cake. "Nggak usah protes. Mas Gy sama Kak Bumi kedudukannya sama." Gyan kontan manyun sambil mengunyah. Tapi sejurus kemudian dia tersenyum lebar. "Kue buatan May kok bisa selezat ini ya?" Mayrosa, alias pacar Gyan yang baru sempat menyusul, tersenyum. Dia terlalu sibuk dengan kegiatan syuting acaranya sehingga baru datang satu jam sebelum puncak acara camping ground ini dimulai. "Itu bukan buatan aku, Gy. Tapi buatan tanteku," sahut wanita itu. Setengah tahun tidak bertemu membuat wanita itu terus menempeli Gyan. "By the way happy birthday, Ola. I hope that whatever you want will come true soon.""Makasih, Mbak." Ola tersenyum tipis. Tatapnya melirik Bumi sesaat. Ola yakin pria itu tadi tersenyum juga, tapi kenapa men
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m