Ini di luar kendali. Entah apa yang merasuki jiwanya saat ini. Seperti bergerak dengan sendirinya tahu-tahu wajah dan bibirnya sudah melekat tanpa jarak. Bumi tahu ini salah ketika dia mencoba mengambil udara dari celah bibir Ola. Namun dia tidak bisa menahan diri atau pun berhenti. Mulutnya lantas mulai terbuka, mengulum bibir gadis itu yang menyambutnya dengan ragu-ragu. Matanya terpejam merasakan sensasi luar biasa yang mendebarkan. Ini benar-benar di luar dugaan. Kendati dirinya yang memulai, tak pelak jantungnya berdetak begitu hebat. Mereka berciuman lembut, penuh dengan perasaan. Bahkan keduanya masih saling memejamkan mata ketika ciuman itu terurai. Dari jarak dekat begini Bumi bisa melihat ekspresi bingung Ola. Bukan hanya bingung, gadis itu pasti juga terkejut. Namun daripada itu, tatapannya malah jatuh ke bibir Ola yang masih setengah terbuka. Baru saja dia merasakan aroma manis di sana yang ternyata begitu memabukan. Brengsek memang, tapi.... "Aku dapat kado ultahku l
"Aku nguping?" Bumi mendengus. "Seperti orang kurang kerjaan aja. Suara kalian kencang. Jadi terdengar sampai bawah."Ola jelas tidak percaya begitu saja. Apalagi melihat muka merah lelaki itu. Mata Ola menyipit selama beberapa saat hingga sebuah pikiran jahil terlintas. "Oke kamu benar. Selain ke Braga sama anak-anak, aku juga berniat ke Maribaya sama Rean." Seperti yang dia duga. Bumi melebarkan mata dengan gerakan tak siap. "Apa? Nggak boleh!" "Apa maksudnya nggak boleh?" Ola yang saat ini tengah duduk di kursi depan meja belajar membalas tatapan Bumi. "Sebagai kakak aku nggak ngizinin kamu pergi." "Mana ada kakak nyium adiknya di bibir." Ola menyeringai. Merasa menang sudah membuat Bumi kontan gelagapan. "Ituā" "Apa? Mau bilang khilaf?" Decihan Ola terdengar. "Munafik," cibirnya. "Kali ini aku nggak mau dengerin kata Kak Bumi. Ujian udah selesai aku punya hak refreshing. Papi juga pasti ngizinin." "Ola, aku banyak kerjaan. Nggak mungkin aku ninggalin kerjaanku." "Loh emang
Kepala Bumi yang tengah merebah nyaman bergerak samar ketika mendengar bunyi dering ponsel. Refleks sebelah tangannya terayun, berusaha menggapai nakas meski matanya masih terkatup rapat. Namun dia hanya menemukan udara, dan lengannya kontan terhempas. Saat itulah matanya lantas terbuka. Dia mengangkat kepala guna mencari benda yang terus berdering itu. "Ah," lenguhnya ketika berusaha bangkit. Tubuhnya terasa kaku dan pegal. Tempat yang dia tiduri saat ini terlalu sempit untuk dirinya dan gadis yang tertidur nyaman di sebelahnya. Bumi membuang napas pelan ketika berhasil duduk, dan dia menemukan ponsel yang masih berdering itu tergeletak di lantai berdampingan dengan kemejanya. Sedikit membungkuk dia meraih benda itu. Di layar tertera nama sekretarisnya. "Ada apa, Mia?" tanya Bumi begitu dia menerima panggilan itu. "Pak Bumi di mana? Anda nggak lupa hari ini ada kunjungan proyek di Gedebage kan?" Mata Bumi memicing. Dia hampir melupakan itu. "Aku nggak lupa. Sekarang pukul berap
Ola tersenyum geli. Memulai saja tidak bagaimana bisa putus? "Kalau Rean nggak mau putus gimana?" Nyaris saja tawa Ola menyembur melihat dua alis tebal Bumi menukik tajam. Dia tahu Bumi kesal, tapi raut muka lelaki itu terlihat menggemaskan. "Apa pun alasannya, kamu harus bisa putus sama dia. Aku nggak mau jadi yang kedua," ujar pria itu dengan muka cemberut. Demi Tuhan! Ola sering melihat wajah marah Bumi, tapi dia belum pernah melihat wajah cemberut lelaki itu. Apalagi cemberut karena cemburu. Gimana Ola tidak ingin terus menerjangnya kalau semenggemaskan itu? "Kak Bumi lucu deh." Ujung jemarinya bergerak menyentuh jakun di leher Bumi yang terus saja bergerak naik turun. Sentuhan ringan itu lalu naik mendekati telinga. "Aku serius, nggak sedang melucu," balas pria itu dengan nada tegas. Dia menangkap tangan iseng Ola yang bermain nakal di area belakang telinganya. "Iya. Aku tau." Kembali Ola mendekat. Menjangkau bibir pria itu dan menyentuhnya. Keduanya kembali bercumbu. Men
"Maaf. Mungkin lain kali." Dua alis Bumi sontak menukik mendengar ucapan Ola. Gadis itu tengah menerima panggilan telepon dari Rean. Bumi menoleh sekilas sambil menggeram sebelum fokusnya kembali ke jalanan di depannya. "Ola, nggak ada lain kali ya," ucap lelaki itu memperingatkan. Di sampingnya Ola nyengir sebelum fokus ke panggilan teleponnya lagi. "Rean, aku tutup dulu ya. Bye." Ola menghela napas ketika panggilan singkat itu berakhir. Ujung matanya melirik pria di sampingnya yang berwajah masam. "Kok nggak diputusin sekalian?" Bibir mungil Ola menganga seketika. Detik berikutnya kekehannya meluncur. "Kak Bumi nggak sabaran amat sih. Nggak sopan tau mutusin orang lewat telepon," sahut Ola sambil mengulum senyum. Jika membahas Rean pria itu jadi mendadak kekanak-kanakan dan bersumbu pendek. "Terus kamu mau ketemu lagi sama dia?" Ola mengangguk-angguk dengan alis terangkat tinggi-tinggi. "Kamu harus ngasih tau aku kapan ketemu dan dimana tempatnya, biar aku bisa ne
"Aku mau rayain ultah berdua sama Kak Bumi aja." Bumi menoleh cepat dan langsung mendapati muka close up Ola yang sedang tersenyum manis padanya. Dia agak terkesiap. Kacamata bacanya sampai merosot lantaran jarak wajah gadis itu terlalu dekat dengan wajahnya. Pria tiga puluh tahun ini menelan ludah sebelum berdeham sambil memalingkan wajah. "Kenapa?" tanya pria itu mengalihkan pandangan ke layar laptop yang ada di pangkuannya. "Mami sama papi aja masih di Kanada. Kayaknya semesta emang merestui kita buat berduaan aja deh, Kak." Ola terkikik sendiri dengan pemikirannya yang absurd. Membuang napas pelan, Bumi akhirnya menutup laptop. Merevisi tesis ditemani Ola memang bukan ide bagus. Nyaris satu jam dia menekuri laptop satu paragraf pun belum ada yang dia kerjakan. Pasalnya selama itu Ola terus saja membuatnya salah fokus. Ada saja gangguan kecil yang gadis itu buat. "Ya kita lihat entar aja," ucap Bumi sambil melepas kacamata dan menyimpannya kembali di cover-nya. "Gimana kalau
"Masih lama?" Bumi yang sedang menghadapi layar laptop mendongak sejenak. Di ambang pintu dia melihat Ola berdiri sambil memeluk guling. Bumi pikir gadis itu sudah tidur pulas. "Sedikit lagi. Kamu bisa tidur lebih dulu," ucap Bumi sambil tersenyum lalu kembali melarikan jari jemarinya di atas keyboard laptop. "Aku nggak bisa tidur. Kak Bumi mau aku bikinin minuman?" "Nggak perlu. Ini sebentar lagi selesai." Gadis yang rambutnya sedikit kusut itu menyeret kaki, memasuki ruang kerja Bumi. Dan melempar gulingnya begitu saja. "Kamu sudah mau sidang tesis lagi ya?" "Iya. Doakan lancar ya." "Hu-um." Ola mengangguk, berdiri di samping kursi yang Bumi duduki dengan wajah kusut. Mata legamnya tertuju ke layar laptop meski tidak mengerti apa yang sedang lelaki itu tulis. Beberapa kali juga dia menguap. "Ngantuk kan? Sana balik ke kamar lagi aja.""Tapi kamu belum selesai." Kaki Ola bergerak. Dia memaksa masuk ke celah antara meja dan kursi Bumi. Saat gadis itu masih berumur belasan tah
"Kita nggak akan bisa begini kalau di rumah papi." Ola mengeratkan pelukannya. Tidak seperti di kosan, tempat tidur di kamar Bumi jauh lebih luas dan juga memiliki tempat tidur yang lebih lebar. Sehingga dia bisa lebih leluasa bergerak. "Pinter. Sebisa mungkin kamu harus jaga sikap." "Kok cuma aku?" Ola sedikit menjauhkan pelukannya dan mendongak. "Kamu juga dong." "Aku selalu bisa jaga sikap. Kamu yang sering sembrono." Dengan pelan Bumi mendorong dahi Ola. Senyumnya terulas lemah saat melihat bibir Ola mengerucut. "Satu lagi, hentikan kebiasaan kamu memonyongkan bibir begitu." "Memangnnya kenapa?" Lagi-lagi Bumi hanya tersenyum kecil. Dia tidak akan memberitahu kalau bibir Ola yang maju seperti itu sangat menggemaskan. Dulu saat otaknya sedang tidak beres, kadang pikiran liarnya berputar-putar membayangkan rasa bibir itu. "Pokoknya jangan biasakan begitu.""Jelek ya?" Ola nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. "Ya gitu deh. Jadi nggak manis." Namun Bumi terkesiap s
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m