Dulu Laila yakin Zidan mencintainya dengan tulus, karena saat dirinya hamil, Zidan begitu baik memperlakukannya. Tapi semua ini seakan bertolak belakang saat dirinya melahirkan putranya.
"Oeeek, oeeek." Anak bayi itu kembali menangis. Kali ini Laila sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia langsung menyusui putranya yang sudah sangat kelaparan."Maafkan Ibu Nak," lirihnya. Mengusap lembut wajah bayi mungil itu. Wajahnya begitu mirip Zidan. Ia tampan dan memiliki hidung bangir seperti Zidan.Bayi yang malang. Seharusnya sekarang ia tengah berada di gendongan sang ayah dan dipeluk oleh ayahnya. Tapi kenyataannya, semua itu tidak dirasakan bayi itu. Justru ia terasingkan di usianya yang belum genap sehari.Melihat bayinya yang malang, Laila kembali menangis lagi. Hati dan raganya begitu sakit, bukan karena pasca melahirkan beberapa jam yang lalu, namun karena perlakuan yang tak mengenakan ini. Ia merasa Tuhan tak adil, begitu mudah membalikan kehidupannya hingga di jurang yang dalam. Sakit teramat sakit."Bu, Ayah akan ke rumah mereka! Ayah tidak terima putri kita diperlakukan begini. Kita memang miskin Bu, tapi kita masih punya harga diri!" teriak pak Anton. Ada bulir bening mengalir di pipinya."Jangan Yah, Laila mohon," cegah Laila langsung. Ia tidak mau kejadian dirinya terulang kepada Ayahnya."Kenapa Nak? Kenapa Ayah tidak boleh kesana?" tanya pak Anton."Laila takut Ayah diperlukan buruk oleh mereka. Laila mohon jangan Yah" cegahnya terus-menerus."Betul Yah. Biarlah, kita jaga dan rawat anak dan cucu kita saja. Jika mereka tidak mau mengakui dan menerimanya. Masih ada kita Yah, orang tuanya," ucap Bu Susi ikut mencegah."Tidak! Ayah akan tetap kesana. Tidak akan aku biarkan kita di injak-injak begini. Ayah akan ke sana dan meminta penjelasan atas perlakuan mereka terhadap putri kita!""Jangan Yah! Ayaaah!"Pak Anton tidak mendengar panggilan Laila dan Bu Susi. Ia terus melangkah meninggalkan gubuknya menuju rumah pak Fernando."Bu, susul Ayah. Laila takut Ayah nekat, mereka bukan orang sembarangan Bu," pinta Laila memohon.Bu Susi mengangguk, ia lantas berlari menyusul suaminya. Ia sendiri sama, khawatir jika suaminya akan diperlakukan tidak baik oleh keluarga Zidan."Pak! Ibu mohon, jangaaaan!" teriak Susi. Namun, sama saja, itu tak berarti apa-apa. Kalimatnya terabaikan begitu saja oleh pak Anton. Ia tetap berangkat ke kediaman apk Fernando dengan sepeda ontelnya."Aku tidak akan membiarkan siapapun merendahkan Putriku. Kami memang miskin, tapi bukan berarti tidak punya harga diri!" ucapnya dengan geram sambil mengayuh sepeda ontel dengan kemarahan yang sudah tak terbendung.****Di rumah, Bu Susi nampak khawatir dengan sikap suaminya. Ia takut, jika suaminya dalam keadaan marah seperti tadi, akan membuat penyakitnya kambuh."La bagaimana ini? Ayahmu sudah kesana dengan sepeda ontelnya," cemas Susi."Bu, Laila mohon. Cepat susul Ayah Bu ..." mohon Laila."Laila takut mereka memperlakukan Ayah buruk," sambungnya lagi. Air mata seakan menjadi saksi, berapa Laila mengkhawatirkan Ayahnya."Iya, iya. Ibu kesana sekarang," balas Susi tanpa menunda.Ia mulai berjalan menuju kediaman pak Fernando dengan sedikit berlari, hingga sampai pertengahan jalan. Ia bertemu seorang pegawai perkebunan yang rumahnya tidak jauh dari pak Fernando. Ia berlari ke arah Susi yang membuat langkah Susi terhenti karena bingung."Sus ... Sus! huh, huh." Ia membuang nafas kasar karena kelelahan berlari."Ada apa Mira? Kenapa kamu lari-lari seperti itu?" tanya Susi heran."U-dah, lebih baik kamu cepat ke rumah Pak Fernando. Suamimu, Sus. Suamimu," ucapnya tersengal-sengal.Mata Susi membulat sempurna kala mendengar suaminya disebut, hati Susi tak karuan. ia cemas, takut jika suaminya dalam masalah besar."Kenapa Suamiku Mir?" tanya Susi lagi."Sudah! Kamu cepat ke rumahnya. SEKARANG!" teriak Mira yang membuat Susi semakin cemas.Tak ada lagi pertanyaan, Susi segera berlari ke arah rumah pak Fernando, untuk menyusul suaminya.Diruang tamu yang penuh dengan kemewahan dunia, Zidan duduk santai sambil meneguk kopi yang ada di depannya. Tak ada rasa penyesalan atas apa yang baru saja terjadi di rumahnya. Ia santai sambil sesekali memainkan gawainya"Zi-dan. Seharusnya kamu tidak melakukan itu pada Laila. Kasian, dia baru saja melahirkan anakmu." Tiba-tiba Fernando mendekati anaknya untuk berbicara dari hati ke hati. Susah payah ia berbicara karena kondisinya yang sudah tidak bugar dan muda."Sudah lah Pah. Bukannya Papa sendiri yang memberikan surat perjanjian itu saat pernikahan kami. Kenapa sekarang Papa justru menyesal?" tanya Zidan bingung."Bukan begitu. Papa hanya tidak mau kamu mengikuti kebudayaan kita yang dulu. Sudah lah hidup normal saja. Papa tidak mau kamu menyesal. Jangan lagi ikuti tradisi kita yang menginginkan anak pertama perempuan itu. Papa tidak mau menyakiti hati banyak orang lagi," balas Fernando, meski ia terlihat lemah. Namun, berusaha menjelaskan perkataannya dengan baik agar mudah dip
Di sisi lain, Fernando diam tak membalas perkataan istrinya. Baginya percuma menjelaskan apapun pada istrinya, ia akan salah dan menganggap perbuatannya yang salah. Padahal, ia hanya ingin kebahagiaan untuk anak-anaknya."Lebih baik kamu urus saja kesehatanmu! Kamu tahu Pah. Kamu itu hanya menyusahkanku saja!" balas Anggraini dengan perkataan yang menyakitkan.Fernando mulai menjauhi istrinya dan tak lagi beradu argumen dengannya. Ia sadar, ia tetap salah dan kalah jika sudah berbicara dengan sang istri yang tidak pernah mau sadar akan hal itu.Bukan kali pertamanya pernikahan anaknya gagal oleh masalah yang sama. Anak yang lain pun, Jonathan, kakak dari Zidan, sama-sama mengalami kegagalan karena prahara melahirkan anak laki-laki.Dulu, istri Jonathan pun mengalami hal yang sama di ceraikan dan di usir setelah melahirkan anak laki-laki yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun saat itu kondisinya Fernando sehat, ia masih begitu kental mengikuti tradisi yang sudah turun-temurun i
"Kurang ajar! Berani sekali dia datang mengacau! Minggir kamu! Saya mau ke depan!" ucap Anggraini memerah menahan amarah.Ia pun berjalan cepat menuju pintu depan. Wajahnya tak bisa disembunyikan, ia begitu marah. Karena menganggap Anton tidak sopan di rumahnya. Sedangkan pak Fernando gegas mengikuti langkah istrinya di belakang, meski kepayahan karena terhalang kursi roda. Namun, tak menyurutkan niatnya untuk melihat keadaan di depan sana.Dor, dor, dor!"Pak Fernando buka pintunya! Saya mau bicara dengan Bapak! Buka Pak!"Dor, dor, dor!Anggraini semakin geram dengan perbuatan mantan besannya itu. Ia segera mempercepat langkahnya dan ..."Hey! Kamu tak punya otak yah! Seenaknya menggedor pintu rumah orang! Apa kamu tidak punya sopan santun sama sekali, hah!" Anggraini berucap bak petasan beruntun. Tidak ada jeda sedikit pun, matanya mendelik seakan ingin keluar dari tempatnya."Anda yang seharusnya saya pertanyakan soal itu. Di mana hati nurani Anda sebagai perempuan yang membiarkan
"Karena saya tidak butuh dia lagi Pak! Jadi saya kembalikan saja!" jawabnya enteng dan tidak ada rasa bersalah sama sekali.Plak!Kekesalan pak Anton memuncak. Ia tak segan mengangkat tangannya ke udara dan melayangkan sebuah tamparan pada Zidan. Mata Anggraini mendelik, begitu juga dengan Zidan. Nafasnya memburu karena perlakuan mantan ayah mertuanya itu. Sedangkan Fernando, hanya diam menyaksikan perbuatan Anton yang dirasa sudah benar karena melindungi anaknya."Kurang ajar! Brengsek! Berani kamu menamparku. Tangan kotormu itu berani sekali menyentuh pipiku!" teriak Zidan murka, ia mulai melotot ke arah Anton seperti siap menikam mangsanya."Heh kamu! Berani sekali menampar anakku!" sambung Anggraini menarik kasar baju lusuh Anton. Sedangkan Anton masih diam tak bergeming, matanya tetap awas menatap Zidan dengan kemarahan."Itu tidak sebanding dengan perlakuanmu terhadap anakku!" tunjuk Anton."Kamu ...."Buuugh! Buuugh!"Rasakan ini!" Zidan terus menghajar Anton tanpa ampun. Sedik
Sejak kejadian pak Anton di buat babak belur oleh Zidan. Laila memutuskan untuk tidak lagi terlibat dengan keluarga pak Fernando, ia tak mau orang tuanya lebih menderita. Baginya, mereka segalanya. Tidak ada yang lebih berharga saat ini selain keluarga, meski harga dirinya sudah diinjak-injak."La, ambilkan Ayah cangkul. Sepertinya sudah saatnya kita gunakan lagi lahan kecil di belakang rumah itu. Kita gunakan untuk menanam sayuran, sebagai penyambung hidup kita, selebihnya bisa kita jual di pasar," ucap pak Anton kepada putrinya."Iya Yah," balas Laila tanpa membatah, ia lantas berjalan ke arah samping rumah untuk mengambil cangkul itu."Yah, tunggu dulu. Lebih baik Ayah sarapan dulu, begitu juga denganmu La, sarapanlah dulu, biar ASI-mu banyak. Kasian Fatih jika kekurangan ASI," ajak Bu Susi yang sudah menghidangkan semua masakannya di dipan yang terbuat dari bambu."Iya Bu," balas Laila. Ia pun duduk di samping ibunya sedangkan ayah di samping Laila. Mereka mulai menikmati menu sede
Satu bulan berlalu, setelah Anton dan Susi menggarap tanah itu dan merubahnya menjadi lahan yang dipenuhi aneka sayur, Anton dan Susi mulai menekuni usaha baru mereka. Mereka rajin merawatnya, kini usaha kecil itu membuahkan hasil. Sayur-sayuran yang mereka tanam, kini sudah siap untuk di panen. Mereka berdua tersenyum bahagia, karena hasil yang mereka dapatkan, jauh dari bayangan mereka.Hasil panen itu melimpah, Anton dan Susi yakin jika hasil panennya di bawah ke pasar, maka hasilnya akan cukup untuk mereka bertahan hidup sampai beberapa bulan ke depan. Dengan senang hati, Anton dan Susi mulai memetik dan menyusun sayur-sayur itu ke dalam bakul keranjang yang terbuat dari anyaman bambu."La, Ibu sama Ayah mau ke pasar dulu. Jaga dirimu yah, doakan Ibu sama Ayah, agar sayur ini bisa di beli oleh orang pasar," ucap Susi."Iya Bu. Hati-hati, maafkan Laila tak bisa membantu kalian. Laila hanya menyusahkan saja," ucap Laila sedih, ia menunduk tak berani menatap kedua orang tuanya.Anto
"Keterlaluan sekali Zidan Yah, sekarang hasil panen kita sudah hancur," ratap Bu Susi menatap sedih sayuran yang sudah hancur tak beraturan."Sudahlah Bu. Ikhlaskan saja. Mungkin belum rezeki kita untuk menerima hasil dari panen kali ini," ucap Anton memberi pengertian pada istri tercintanya agar tetap lapang.Bu Susi hanya diam, matanya masih terus menatap nanar sayuran yang sudah rusak itu. Di saat ia dan suaminya sudah semangat akan menjual hasil dari panennya, orang lain dengan mudahnya menghancurkan.Mungkin bagi Zidan itu hal kecil yang tak berharga, tapi bagi keluarga Laila, itu sangat berharga. Bahkan, Anton dan Susi sudah memprediksi hasil yang akan mereka dapatkan dari menjual sayur-sayur itu ke pasar. Ya, hasilnya bisa untuk hidup mereka beberapa bulan ke depan. Namun sekarang, semua hanya bisa diikhlaskan begitu saja."Bu, kita pulang saja," ajak Anton."Tapi Pak," sanggah Bu Susi."Sudah. Kita pulang," ajak Anton sekali lagi.Meraka berjalan bersama, mata para penduduk me
"Bagaimana bisa Ibu menjual bakul itu Nak, kamu tahu La, Ibu saja tak punya uang untuk membeli bakul baru," jawab Bu Susi datar. Namun, gurat kesedihan tak bisa hilang dari wajahnya."Lantas?" tanya Laila lagi.Bu Susi tak menjawab langsung, ia terdiam sejenak. Laila tak mau memaksa, ia putuskan mengambil minum untuk kedua orang tuanya dulu. Mungkin dengan minum, mereka mau bicara.Laila berjalan ke arah dapur mengambil dua gelas air putih untuk kedua orang tuanya. Setelah itu, ia letakan di depan mereka. Bu Susi dan pak Anton pun meminum air yang dibawa putrinya. Saat gelas berada tepat di bibir pak Anton, tiba-tiba mata Laila menangkap sesuatu yang berdarah di ujung sikunya. Ia lantas mengambil tangan kiri ayahnya."Astagfirullah. Siku Ayah kenapa? Kenapa lecet seperti ini Yah?" teriak Laila kaget, pak Anton mengernyit kesakitan kala sikunya disentuh oleh Laila."Aduh, aduh," ringis pak Anton menyingkirkan tangannya menjauhi