"Mbak kenapa ada disini?" tanya Laila bingung."Aku bekerja di sini La," jawab Vallen menunduk."Bekerja? Maksudnya bekerja bagaimana Mbak?" tanya Laila tak paham.Vallen pun menjelaskan semuanya pada Laila, bagaimana ia diusir oleh Anggraini karena tidak suka dengan sikap keluarganya yang masih tunduk dengan sebuah tradisi. Laila syok, begitu juga Malik ia juga tak menyangka jika keluarga mantan suami Laila memiliki tradisi yang mengerikan."La, aku Minta maaf atas semua kesalahanku dulu. Aku menyesal dulu ikut campur rumah tangga kamu dan Zidan! Bahkan, aku ikut-ikutan mengusirmu juga dari rumah," ucap Vallen."Sudahlah Mbak, lupakan saja. Mungkin aku dan Bang Zidan sudah tidak berjodoh. Aku tidak menyalahkan siapapun. Ini semua takdir, aku sudah berdamai dengan takdir itu," ucap Laila legowo.Mendengar kelapangan dan keikhlasan Laila, membuat Malik kembali kagum. Tak salah dirinya masih mencintai Laila. Karena sifat Laila selalu membuatnya takjub. Malik berjanji tidak akan melepas
"Sudah kubilang, jika kamu melahirkan anak laki-laki. Kamu harus terima akibatnya!" Dengan wajah penuh amarah, Zidan berkacak pinggang dan menatap Laila tajam."Tapi Bang ...? Abang tidak bisa menyudutkanku begini! Aku melahirkan anak laki-laki atau perempuan, itu sudah menjadi takdir ilahi. Aku tidak bisa memilih Bang," balas Laila membela diri. Ia tak suka dengan kalimat sang suami."Cukup! Aku tak butuh alasanmu! Yang jelas, aku tidak akan menerimanya. Kamu ingat kan? Bagaimana perjanjian kita? Jika kamu melahirkan anak laki-laki, maka siap-siap untuk keluar dari rumah ini!" ucap Zidan tegas."Tapi Bang ..." Laila masih bersikukuh membantah kalimat suaminya. Ia tak bisa disalahkan seperti ini. Laki-laki atau perempuan, itu semua sudah ketetapan. Bagaimana bisa Zidan menyalahkan sepihak seperti ini."Sudahlah Zidan. Apa lagi yang kamu tunggu! Cepat usir dia," timpal Anggraini, mamah mertua Laila."Betul! Dia itu tidak berguna Bang! Sejak awal aku memang tak setuju kau menikah dengann
"Bang! Aku mohon, jangan usir aku dan anak kita. Apa yang akan aku katakan pada Ayahku!" mohon Laila, ia berharap sang suami masih memiliki rasa perduli, minimal pada anaknya."Itu bukan urusanku! Memang kamu tidak bilang pada Ayahmu, saat kita baru selesai melangsungkan akad nikah? Aku bilang, kamu harus bisa melahirkan keturunan untuk keluargaku dengan jenis kelamin perempuan. Jika kamu tidak cerita, itu deritamu! Aku tidak perduli! Yang jelas, jika tidak sesuai harapan, maka kamu harus angkat kaki dari rumahku!" ungkapnya enteng, seakan ia tetap pada pendiriannya."Tega kamu Bang! Jika aku tahu isi dari kertas itu mengharuskan aku melahirkan anak dengan jenis kelamin perempuan, mungkin aku tidak akan menerima pinanganmu!" balas Laila murka."Itulah bodohnya kamu! Dasar Gadis desa! Salah aku memilihmu menjadi Istriku. Aku kira kamu berbeda dari Gadis desa lainnya, dan akan melahirkan anak yang aku inginkan. Tapi kenyataannya sama saja! Tidak berguna sama sekali," cibir Zidan seraya
"Sejak dulu aku 'kan sudah peringatkan,.jangan terima tawaran Suami saya. Dasar Gadis bodoh!" hina Anggraini.Sejak awal menikah, Anggraini dan kedua anaknya tak suka dengan Laila. Baginya, Laila hanya benalu dalam keluarganya. Gadis desa yang berharap jadi tuan putri di rumahnya sama sekali tidak diharapkan. Kehadirannya hanya akan mengancam posisinya. Anggraini benar-benar beruntung ketika Laila melahirkan anak perempuan. Tak perlu membujuk Zidan menceraikan, ia diceraikan dan di usir langsung oleh anaknya.Laila keluar rumah membawa luka teramat dalam. Sakit pasca melahirkan saja belum pulih, ini ditambah dengan sakitnya diusir dan dicampakkan oleh suami sendiri. Hanya menangis, meratapi nasib Laila menerima semuanya."Tunggu! Ini untukmu. Biar tidak sedih-sedih sekali hidupmu!" Anggraini menghampiri Laila yang sudah keluar dari pekarangan keluarga Fernando itu. Ia melempar beberapa lembar seratusan ribu di wajah Laila. Sontak, perbuatannya membuat si bayi menangis histeris.Setelah
"Kamu kenapa Nak?" tanya Ibu Susi sekali lagi. Ia nampak iba melihat putrinya pulang sengaja keadaan yang sulit dijelaskan. Sebenarnya orang tua itu sudah sadar jika anaknya sedang tidak baik-baik. Hanya saja, mereka ingin mendengar langsung dari bibir Laila."Bawa Laila masuk Bu," pinta pak Anton, ayah Laila sadar putrinya butuh ketenangan."Iya Yah," Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Masih dengan keadaan awal, Laila nampak tak sanggup berucap. Hanya air mata yang semakin merembes membasahi kedua pipi putihnya."Oeek, oeeek." Bayi mungil itu menangis lagi, membuat siapapun terenyuh mendengar tangisannya. Bayi mungil nan tampan itu, lantas berpindah tempat ke pangkuan sang nenek, ia dekap hangat cucu pertamanya itu."Cup, cup. Sayang," ujar Susi, menenangkan sang bayi.Laila sendiri, masih belum bisa menjelaskan apa yang terjadi. Seakan paham dengan kondisi anaknya. Pak Anton dan Bu Susi tetap diam menunggu anaknya berbicara.Bu Susi lantas memberikan bayi mungil itu pada suaminya, sed
Dengan menutup mulut karena syok dengan pernyataan yang putrinya bawa. Bu Susi mulai menitihkan air mata, seakan dirinya ikut merasakan sakit dengan apa yang putrinya rasakan. Orang tua mana yang bisa tegar jika mendengar pernyataan yang begitu menyayat hati."Kurang ajar! Apa salahmu sampai diusir dan diceraikan? Bukankah kamu baru melahirkan keturunan mereka?" hardik pak Anton tak terima. Ada segurat kekecewaan besar di wajahnya. Rahangnya mengeras dan terlihat beberapa gambar urat dilehernya, menandakan ia begitu marah."Laila, Laila ...""Jawab Nak. Jangan takut." Bu Susi memegang pundaknya, berusaha menguatkan putrinya. Ia tahu, bagaimana perasaan putrinya saat ini. Antara takut dan sakitnya diperlukan seperti itu saling bersahutan."Laila di usir Bang Zidan karena Laila melahirkan anak laki-laki, Bu. Laila ..."Mengalir lah cerita Laila didepan ayah dan ibunya. Mereka seakan memberi ruang untuk Laila bercerita dan mendengar tanpa memotong."Wong gendeng! Perjanjian macam apa itu
Dulu Laila yakin Zidan mencintainya dengan tulus, karena saat dirinya hamil, Zidan begitu baik memperlakukannya. Tapi semua ini seakan bertolak belakang saat dirinya melahirkan putranya."Oeeek, oeeek." Anak bayi itu kembali menangis. Kali ini Laila sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia langsung menyusui putranya yang sudah sangat kelaparan."Maafkan Ibu Nak," lirihnya. Mengusap lembut wajah bayi mungil itu. Wajahnya begitu mirip Zidan. Ia tampan dan memiliki hidung bangir seperti Zidan.Bayi yang malang. Seharusnya sekarang ia tengah berada di gendongan sang ayah dan dipeluk oleh ayahnya. Tapi kenyataannya, semua itu tidak dirasakan bayi itu. Justru ia terasingkan di usianya yang belum genap sehari.Melihat bayinya yang malang, Laila kembali menangis lagi. Hati dan raganya begitu sakit, bukan karena pasca melahirkan beberapa jam yang lalu, namun karena perlakuan yang tak mengenakan ini. Ia merasa Tuhan tak adil, begitu mudah membalikan kehidupannya hingga di jurang yang dalam. Sakit t
Diruang tamu yang penuh dengan kemewahan dunia, Zidan duduk santai sambil meneguk kopi yang ada di depannya. Tak ada rasa penyesalan atas apa yang baru saja terjadi di rumahnya. Ia santai sambil sesekali memainkan gawainya"Zi-dan. Seharusnya kamu tidak melakukan itu pada Laila. Kasian, dia baru saja melahirkan anakmu." Tiba-tiba Fernando mendekati anaknya untuk berbicara dari hati ke hati. Susah payah ia berbicara karena kondisinya yang sudah tidak bugar dan muda."Sudah lah Pah. Bukannya Papa sendiri yang memberikan surat perjanjian itu saat pernikahan kami. Kenapa sekarang Papa justru menyesal?" tanya Zidan bingung."Bukan begitu. Papa hanya tidak mau kamu mengikuti kebudayaan kita yang dulu. Sudah lah hidup normal saja. Papa tidak mau kamu menyesal. Jangan lagi ikuti tradisi kita yang menginginkan anak pertama perempuan itu. Papa tidak mau menyakiti hati banyak orang lagi," balas Fernando, meski ia terlihat lemah. Namun, berusaha menjelaskan perkataannya dengan baik agar mudah dip