"Kurang ajar! Berani sekali dia datang mengacau! Minggir kamu! Saya mau ke depan!" ucap Anggraini memerah menahan amarah.Ia pun berjalan cepat menuju pintu depan. Wajahnya tak bisa disembunyikan, ia begitu marah. Karena menganggap Anton tidak sopan di rumahnya. Sedangkan pak Fernando gegas mengikuti langkah istrinya di belakang, meski kepayahan karena terhalang kursi roda. Namun, tak menyurutkan niatnya untuk melihat keadaan di depan sana.Dor, dor, dor!"Pak Fernando buka pintunya! Saya mau bicara dengan Bapak! Buka Pak!"Dor, dor, dor!Anggraini semakin geram dengan perbuatan mantan besannya itu. Ia segera mempercepat langkahnya dan ..."Hey! Kamu tak punya otak yah! Seenaknya menggedor pintu rumah orang! Apa kamu tidak punya sopan santun sama sekali, hah!" Anggraini berucap bak petasan beruntun. Tidak ada jeda sedikit pun, matanya mendelik seakan ingin keluar dari tempatnya."Anda yang seharusnya saya pertanyakan soal itu. Di mana hati nurani Anda sebagai perempuan yang membiarkan
"Karena saya tidak butuh dia lagi Pak! Jadi saya kembalikan saja!" jawabnya enteng dan tidak ada rasa bersalah sama sekali.Plak!Kekesalan pak Anton memuncak. Ia tak segan mengangkat tangannya ke udara dan melayangkan sebuah tamparan pada Zidan. Mata Anggraini mendelik, begitu juga dengan Zidan. Nafasnya memburu karena perlakuan mantan ayah mertuanya itu. Sedangkan Fernando, hanya diam menyaksikan perbuatan Anton yang dirasa sudah benar karena melindungi anaknya."Kurang ajar! Brengsek! Berani kamu menamparku. Tangan kotormu itu berani sekali menyentuh pipiku!" teriak Zidan murka, ia mulai melotot ke arah Anton seperti siap menikam mangsanya."Heh kamu! Berani sekali menampar anakku!" sambung Anggraini menarik kasar baju lusuh Anton. Sedangkan Anton masih diam tak bergeming, matanya tetap awas menatap Zidan dengan kemarahan."Itu tidak sebanding dengan perlakuanmu terhadap anakku!" tunjuk Anton."Kamu ...."Buuugh! Buuugh!"Rasakan ini!" Zidan terus menghajar Anton tanpa ampun. Sedik
Sejak kejadian pak Anton di buat babak belur oleh Zidan. Laila memutuskan untuk tidak lagi terlibat dengan keluarga pak Fernando, ia tak mau orang tuanya lebih menderita. Baginya, mereka segalanya. Tidak ada yang lebih berharga saat ini selain keluarga, meski harga dirinya sudah diinjak-injak."La, ambilkan Ayah cangkul. Sepertinya sudah saatnya kita gunakan lagi lahan kecil di belakang rumah itu. Kita gunakan untuk menanam sayuran, sebagai penyambung hidup kita, selebihnya bisa kita jual di pasar," ucap pak Anton kepada putrinya."Iya Yah," balas Laila tanpa membatah, ia lantas berjalan ke arah samping rumah untuk mengambil cangkul itu."Yah, tunggu dulu. Lebih baik Ayah sarapan dulu, begitu juga denganmu La, sarapanlah dulu, biar ASI-mu banyak. Kasian Fatih jika kekurangan ASI," ajak Bu Susi yang sudah menghidangkan semua masakannya di dipan yang terbuat dari bambu."Iya Bu," balas Laila. Ia pun duduk di samping ibunya sedangkan ayah di samping Laila. Mereka mulai menikmati menu sede
Satu bulan berlalu, setelah Anton dan Susi menggarap tanah itu dan merubahnya menjadi lahan yang dipenuhi aneka sayur, Anton dan Susi mulai menekuni usaha baru mereka. Mereka rajin merawatnya, kini usaha kecil itu membuahkan hasil. Sayur-sayuran yang mereka tanam, kini sudah siap untuk di panen. Mereka berdua tersenyum bahagia, karena hasil yang mereka dapatkan, jauh dari bayangan mereka.Hasil panen itu melimpah, Anton dan Susi yakin jika hasil panennya di bawah ke pasar, maka hasilnya akan cukup untuk mereka bertahan hidup sampai beberapa bulan ke depan. Dengan senang hati, Anton dan Susi mulai memetik dan menyusun sayur-sayur itu ke dalam bakul keranjang yang terbuat dari anyaman bambu."La, Ibu sama Ayah mau ke pasar dulu. Jaga dirimu yah, doakan Ibu sama Ayah, agar sayur ini bisa di beli oleh orang pasar," ucap Susi."Iya Bu. Hati-hati, maafkan Laila tak bisa membantu kalian. Laila hanya menyusahkan saja," ucap Laila sedih, ia menunduk tak berani menatap kedua orang tuanya.Anto
"Keterlaluan sekali Zidan Yah, sekarang hasil panen kita sudah hancur," ratap Bu Susi menatap sedih sayuran yang sudah hancur tak beraturan."Sudahlah Bu. Ikhlaskan saja. Mungkin belum rezeki kita untuk menerima hasil dari panen kali ini," ucap Anton memberi pengertian pada istri tercintanya agar tetap lapang.Bu Susi hanya diam, matanya masih terus menatap nanar sayuran yang sudah rusak itu. Di saat ia dan suaminya sudah semangat akan menjual hasil dari panennya, orang lain dengan mudahnya menghancurkan.Mungkin bagi Zidan itu hal kecil yang tak berharga, tapi bagi keluarga Laila, itu sangat berharga. Bahkan, Anton dan Susi sudah memprediksi hasil yang akan mereka dapatkan dari menjual sayur-sayur itu ke pasar. Ya, hasilnya bisa untuk hidup mereka beberapa bulan ke depan. Namun sekarang, semua hanya bisa diikhlaskan begitu saja."Bu, kita pulang saja," ajak Anton."Tapi Pak," sanggah Bu Susi."Sudah. Kita pulang," ajak Anton sekali lagi.Meraka berjalan bersama, mata para penduduk me
"Bagaimana bisa Ibu menjual bakul itu Nak, kamu tahu La, Ibu saja tak punya uang untuk membeli bakul baru," jawab Bu Susi datar. Namun, gurat kesedihan tak bisa hilang dari wajahnya."Lantas?" tanya Laila lagi.Bu Susi tak menjawab langsung, ia terdiam sejenak. Laila tak mau memaksa, ia putuskan mengambil minum untuk kedua orang tuanya dulu. Mungkin dengan minum, mereka mau bicara.Laila berjalan ke arah dapur mengambil dua gelas air putih untuk kedua orang tuanya. Setelah itu, ia letakan di depan mereka. Bu Susi dan pak Anton pun meminum air yang dibawa putrinya. Saat gelas berada tepat di bibir pak Anton, tiba-tiba mata Laila menangkap sesuatu yang berdarah di ujung sikunya. Ia lantas mengambil tangan kiri ayahnya."Astagfirullah. Siku Ayah kenapa? Kenapa lecet seperti ini Yah?" teriak Laila kaget, pak Anton mengernyit kesakitan kala sikunya disentuh oleh Laila."Aduh, aduh," ringis pak Anton menyingkirkan tangannya menjauhi
"Sudah Nak. Jangan datang ke sana! Ayah tidak mau kamu diperlakukan buruk lagi! Cukup Nak. Biarkan saja." Kini pak Anton juga mencegah putrinya, ia berusaha bangkit menahan Laila meski kesakitan."Tapi Yah. Mereka sudah keterlaluan!" jerit Laila."Ayah tahu. Biarkan saja! Ayah tidak mau kamu kesana. Bukannya di ganti, justru mereka menyakitimu! Ayah tak mau melihat kamu di sakiti lagi Nak. Sudah, tolong. Dengarkan Ayah!" pinta Anton memohon.Raut wajah Laila berubah, ia melunak mendengar kalimat yang diucapkan ayahnya. Laila terduduk dan menangis, sungguh manusia tak punya hati. Bahkan, ketika terlepas darinya pun, mereka masih menyakiti hati dan perasaan Laila.Setelah itu keadaan jadi hening. Semua orang duduk dengan pikiran masing-masing. Laila juga tak bicara apapun lagi, hanya air matanya yang masih menetes."Yah, bagaimana makan kita setelah ini, Ibu sudah tak punya uang lagi. Mungkin seminggu ke depan kita masih bisa maka
"Yah. Izinkan Laila Yah, Laila mohon," pinta Laila. Matanya tak beranjak sedikit pun dari ayahnya. Ia terus menatap penuh harapan agar sang ayah memberinya izin untuk bekerja."Tidak! Ayah tidak akan pernah setuju kamu bekerja! Lagian Fatih masih kecil La, dia butuh kamu!" Pak Anton begitu tegas menolak permintaan Laila, ia tak mau Laila meninggalkan anaknya demi mencari pekerjaan."Tapi Yah, siapa yang akan mencari uang kalo misal Laila tidak menerima tawaran itu?" tanya Laila."Uang pasti akan ada selama kita tidak mengeluh. Ayah akan cari bagaimana pun caranya," jawab Anton tegas."Bagaimana caranya Yah? Ladang kita sudah tidak punya tanaman. Semuanya sudah panen hari ini, tabungan Ayah juga sudah habis. Ayah juga tidak bisa bekerja diperkebunan lagi," ucap Laila mengelak. Ia harus bisa membujuk ayahnya agar bisa memberinya izin untuk bekerja."Sekali Ayah tidak setuju! Ayah tidak setuju!" teriak Anton tegas yang membuat Laila terdiam