"Bu, sudah siap?" tanya Anton."Sudah Yah. Mari kita berangkat sekarang," ajak Susi."Iya Bu. Ra, seperti biasa Ayah dan Ibu titip Fatih yah. Kita mau bebaskan Mbak-mu," ucap Anton."Iya Yah. Kalian hati-hati, semoga Mbak Laila cepat bebas," jawab Rara dengan bijak. Meski umurnya belum genap dua belas tahun. Tapi ia sudah bisa berpikir dewasa.Kedua orang tua itu pantas berangkat menuju kantor kepolisian. Namun hari ini tidak seperti biasa ia berangkat dengan sepeda tuanya. Melainkan memakai kendaraan umur agar cepat sampai. Setelah sampai kantor polisi, seperti biasa mereka melontarkan keinginan mereka menjenguk dan juga membebaskan Laila dengan uang jaminan."Bagaimana Pak. Apa bisa anak saya bebas?" tanya anton penuh harap."Bisa Pak. Namun biayanya cukup besar," jawab salah seorang anggota."Tidak masalah bagi saya. Yang penting anak saya bebas," jawab Anton tegas dan penuh keyakinan.Akhirnya proses pembebasan Laila pun berjalan cukup baik. Tidak ada hambatan atau kesulitan. Ua
"Fitri, ini saya titip untuk Ayahmu karena pernah meminjam uangnya saat membawa Fatih berobat waktu itu," sodor Anton memberi beberapa uang lembar berwarna biru pada Fitri, anak dari pak Kasman."Tidak usah Pak. Biarkan saja, saya akan bilang Ayah saya untuk mengikhlaskannya," tolak Fitri."Tidak Nak. Terimalah, saya sudah bersyukur Pak Kasman mau membantu saya saat itu. Disaat orang-orang acuh, beliau saja yang mengulurkan tangannya untuk membantu kami. Tolong terimalah," pinta Anton lagi."Tapi ...""Terimalah Fitri. Hutang tetaplah hutang, aku mohon." Kali ini Laila yang berucap.Mau tidak mau Fitri tak bisa menolak, ia lantas menerima uang itu dengan terpaksa. Meski sebenarnya Fitri kasian kepada keluarga Laila, mereka pasti lebih membutuhkan uang itu untuk kelangsungan hidupnya setelah ini. Namun, Fitri tak bisa berbuat apa-apa. Menolak pun segan baginya, karena takut keluarga Laila tersinggung jika terus ditolak. Fitri menyimpan uang itu di saku celananya dan terus membantu meng
Dikediaman yang megah bak istana dongeng, Anggraini tengah mengepal tangannya penuh amarah. Bola matanya bergerak kesana-kemari, seakan amarah itu tengah menggerogoti hatinya."Brengsek! Berani sekali jalang itu pergi dari kampung ini. Dan ... Aarrrrghhh!" Ia berteriak bak kesetanan dirumahnya itu. Membuat penghuni lainnya berlari ke arahnya."Ada apa sih Ma! Kenapa teriak-teriak!" tanya Fernando yang baru keluar dari kamarnya."Bukan urusan kamu! Lebih baik Papa masuk aja ke kamar! Jangan buat amarahku meradang!" teriaknya, menatap Fernando sinis.Fernando hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap sang istri. Ia berjalan kembali memasuki kamarnya."Kemana perginya si jalang itu! Aku ngga bisa diam aja. Padahal kemarin baru aja aku merasa senang karena si jalang itu mendekam di penjara. Tapi aku ceroboh dan bodoh! Dia bisa-bisanya bebas dari sana!" ucapnya geram. Tangan masih mengepal menampakan buku-buku di jemari putih nan lentik itu. Yang setiap hari ia rawat di salon kecan
"Kamu ini apa-apaan sih La. Kita ini hidup sudah susah! Jangan buat susah!" ucap pak Anton geram.Ia tak habis pikir dengan permintaan Laila yang meminta untuk pindah dari sini. Padahal, ini salah satu kontrakan termurah yang memiliki fasilitas dan tempat yang luas. Diluar ini, belum tentu ada lagi kontrakan yang memberikan harga semurah ini dengan keadaan full satu rumah. "Laila cuma ngga nyaman Yah," balas Laila."Ayah 'kan sudah bilang. Kamu cukup fokus pada Fatih. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Ayah dan Ibu yang akan meladeni mereka jika kamu memang tidak mau," jawab pak Anton."Benar Nak. Uang kita sudah tidak ada. Mau pindah juga memangnya punya uang?" tanya Susi.Laila hanya menggeleng, ia sadar dirinya juga sudah tak memiliki uang lagi. Sisa uang bekerja dulu, sudah habis untuk kebutuhan Fatih. Sedangkan sisa dari menjual rumah pun sudah digunakan untuk kehidupan sehari-hari."Pokonya Ayah tidak mau dengar apapun. Kita tetap disini!" ucap Anton tegas, ia berlalu ke kamar
"Gawat Bang Baron memanggilku," lirih Laila. Ia tak menghiraukan, Laila terus berjalan langkah kakinya semakin cepat ia langkahkan karena saking takutnya dengan Baron.Bagi Laila Baron laki-laki yang berani, wajahnya sangar dan memiliki banyak tato di tubuhnya. Itu yang membuat Laila takut berada di dekatnya."Laila tunggu!""Maaf Bang, Laila harus pergi!" Meski dengan wajah ketakutan Laila mampu membalas panggilan Baron.Baron yang tidak menyerah terus mengejar Laila, hingga akhirnya ia mampu menyusul Laila dan berada tepat di depannya."B-bang Baron," ucap Laila gugup."Hos, hos, hos. Kenapa kamu lari La?" tanyanya mengatur ritme nafasnya yang memburu."Ti-tidak Bang, Laila tidak jadi kesana," ucap Laila berusaha tenang."Bohong!" balas Baron tegas.Laila langsung mendongkrak menatap Baron. Namun sedetik kemudian, ia menunduk. Mata Baron menatap tajam ke arah Laila, seketika tubuh Laila gemetar mendapat tatapan tajam itu.Baron terus mendekati Laila, sejengkal lagi ia menyentuh kerud
"Woy! Berani lo berbuat mesum di kampung ini! Ngga tahu malu!" kecam pemuda berbadan tinggi namun kurus. Ia mencengkram kerah baju Baron dengan sengit dan mengajarnya tanpa ampun."Jangan Do. Cukup! Mendingan si Baron ini kita bawa ke kantor polisi," cegah salah seorang temannya."Biarin gue hajar dulu manusia laknat ini! Geram gue sama kelakuan dia yang ngga bisa berubah!" teriak lelaki itu lagi."Ampun Bang ampun!"Buuugh "Ngga ada ampun buat Lo. Berapa kali gue peringatan jangan buat onar disini! Tapi masih aja ngga kapok!" ucapnya geram."Ampun Bang, ampun! Gue insaf. Gue ngga lagi-lagi!" mohon Baron."Sudah Aldo, sudah!""Iya, bisa-bisa Lo yang dipenjara.""Udah bawa aja dia ke kantor polisi, biar kapok.""Jangan Bang, ampun!""Halah! Ngga ada ampun! Ayo bawa ke kantor polisi." Salah seorang pemuda menarik Baron menuju arah jalan raya. "Ampun Bang, ampun!" pinta Baron tapi tak dihiraukan. Ia terus digiring kasar oleh beberapa pemuda yang memergokinya tadi.Setelah semua pergi me
"Bagaimana ini Jo, Len. Kenapa sampai sekarang kalian belum juga menikah! Lama-lama kalo gini terus kapan kalian punya anak perempuan lagi. Tradisi nenek moyang harus terus dijalankan. Ini sudah setahu loh. Tapi, salah satu diantara kalian belum ada calon," celetuk Anggraini."Aku sudah ada calon Ma. Tapi ..." ucap Jonathan."Tapi apa?" tanya Anggraini ingin tahu."Tapi aku minta syarat Ma," jawab Jonathan ragu-ragu."Apa lagi sih syarat segala!" ucap Anggraini kesal.Belum pernahnya ketiga anaknya meminta syarat jika menikah. Selalu nya mereka mengiyakan tanpa protes. Tapi kali ini permintaan Jonathan terdengar berani, dan mendadak. Kira-kira apa yang akan diminta dari anak sulungnya itu."Katakan! Apa syaratnya?" tanya Anggraini. Kedua tangan masih melipat di perut, santai."Aku mau jika nanti Istriku memiliki anak. Jenis kelamin laki-laki, aku tidak mau bercerai dengannya."Degh."Apa?" Mata Anggraini membulat dengan pernyataan sang anak ia tak habis pikir dengan keinginan Jonathan.
"Tapi Ma. Papa ngga mau mengorbankan kebahagiaan anak terus-menerus," ucap Fernando."Papa sadar ngga? Bukankah itu tradisi keluargamu. Bagaimana bisa kamu berbicara seakan ini semua salah orang lain. Pa, Mama ngga mau denger apapun! Tugas kita cuma itu, menuntaskan semua sampai sembilan puluh sembilan anak perempuan. Kalo itu selesai baru aku setuju untuk selesai."Anggraini kembali melanjutkan ritualnya, merapalkan mantra-mantra yang sudah biasa ia lakoni selama ini."Tapi Ma ...""Cukup Pa! Jangan ganggu aku!" pinta Anggraini menekan.Dengan gontai, Fernando keluar meninggalkan istrinya di kamar itu. Di berjalan dengan kursi rodanya menuju ruang tengah. Setelah sampai, ia bertemu pembantunya Ijah."Maaf Tuan. Apa Tuan mau kopi?" tawarnya.Dengan cepat Fernando menggeleng."Baik kalo begitu saya tinggal ke dapur," pamitnya.Tak ada jawaban dari bibir majikannya, Ijah pun berjalan ke dapur me