Di rumah sakit, Betran masuk ke kamar rawat Veronica dengan langkah tergesa. Wajahnya terlihat gelap, pikirannya jelas tidak fokus. Veronica, yang sedang duduk di ranjang sambil membaca majalah, langsung menoleh ketika mendengar pintu terbuka. "Akhirnya kau datang," kata Veronica, memasang senyum lemah. "Kau sibuk sekali, ya?" "Sibuk, tentu saja," jawab Betran singkat. Ia meletakkan tas kecil berisi makanan yang dibawanya di meja samping tempat tidur. "Bagaimana kondisimu? Sudah siap pulang?" Veronica mengangguk pelan. "Dokter bilang aku bisa pulang hari ini, tapi tetap harus banyak istirahat di rumah." Betran tidak menanggapi, matanya sibuk memeriksa ponselnya. Veronica mengerutkan kening. "Kau tidak mendengarku, kan? Ada apa sebenarnya, Betran? Sejak tadi wajahmu seperti orang yang sedang memikirkan perang besar." Betran menghela napas panjang, akhirnya duduk di kursi di samping ranjang. "Tuan Louis sudah berkhianat," ujarnya dengan nada tajam. "Dia memilih bekerja sama d
Keesokan paginya, Aluna bangun lebih awal dari biasanya. Ia memastikan semua pekerjaan rumah sudah selesai sebelum berbicara dengan Kania di ruang makan. “Mom, hari ini aku ingin izin keluar sebentar,” kata Aluna sopan sambil menuangkan teh untuk Kania. Kania melirik sekilas. “Untuk apa? Kau tahu Betran tidak suka kau sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas.”“Aku ingin memeriksakan kehamilanku, Mom. Sudah beberapa hari ini aku merasa sedikit tidak nyaman,” jawab Aluna, sengaja memanfaatkan alasan yang akan sulit dibantah. Kania meletakkan cangkirnya. “Baiklah, tapi pastikan kau tidak berlama-lama di luar. Semua pekerjaan rumah sudah beres, kan?”“Sudah, Mom. Semuanya sudah beres.” “Kalau begitu, pergi saja. Tapi ingat, jangan membuat masalah,” kata Kania sambil melambaikan tangannya seolah ingin mengakhiri percakapan. Aluna mengangguk hormat, lalu segera ke luar dan masuk ke dalam taksi. Di sana, ia mengganti penampilannya. Rambut yang biasanya digerai sederhana kini diikat
Aluna masih berada di ruang kerja Kaisar, mengumpulkan kembali dokumen-dokumen yang tadi sempat ia presentasikan dalam pertemuan dengan Tuan Louis. Kaisar berdiri tak jauh darinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang sulit diabaikan. “Aluna,” panggil Kaisar perlahan. “Ya?” Aluna menoleh, tetapi tangannya tetap sibuk membereskan dokumen. Kaisar tidak menjawab. Ia berjalan mendekat, mengambil alih dokumen di tangan Aluna dan meletakkannya di meja. “Kaisar, apa yang—” “Sshh,” Kaisar memotong. “Sebentar saja, biarkan aku melihatmu lebih dekat.” Aluna mendadak terdiam. Tatapan Kaisar begitu dalam, dan ia tidak bisa menghindari rasa gugup yang perlahan merayap. Tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin dekat. Kaisar mengangkat tangannya, menyentuh wajah Aluna dengan lembut. “Kau tahu,” katanya dengan suara rendah, “setiap kali aku melihatmu seperti ini, aku selalu merasa sulit untuk menahan diri.”Aluna terdiam. Ia merasakan jemari Kaisar menyentuh lembut rambutn
Saat Aluna baru saja melangkah masuk ke rumah, ia disambut oleh suara Kania yang tajam dari ruang makan. "Aluna, ke sini sekarang!" perintah Kania tanpa memberi jeda untuk Aluna bernapas setelah perjalanan panjang. Aluna melepaskan sepatu dengan cepat, mengatur napasnya, lalu berjalan menuju ruang makan. Ia menemukan Kania sedang berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, ekspresi wajahnya dingin seperti biasanya. Veronica duduk santai di kursi, memainkan ponselnya tanpa menoleh. "Ya, Mom?" Aluna mencoba tersenyum meskipun badannya masih lelah. "Siapkan salad buah untuk Veronica. Cepat. Jangan banyak alasan," kata Kania, nadanya seperti biasa, penuh perintah. "Baik, Mom." Aluna menuju dapur tanpa banyak kata. Ia segera mulai memotong buah-buahan segar, mencampurkannya dengan saus krim yang ia buat sendiri. Pikirannya melayang sejenak, mengingat kejadian di mansion Kaisar tadi. Namun ia buru-buru kembali fokus, takut jika hasilnya tidak memuaskan, Kania akan semakin marah
Betran melangkah masuk ke rumah dengan langkah tegap, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Veronica yang sudah mendengar suara mobilnya sejak tadi, langsung bergegas ke pintu depan. Begitu Betran melewati ambang pintu, Veronica menyambutnya dengan senyum lebar dan langsung meraih wajahnya untuk memberinya ciuman di bibir. "Aku rindu sekali padamu," ujar Veronica manja sambil tetap menempel di tubuh suaminya. Betran tersenyum tipis, tangannya melingkari pinggang Veronica. "Aku juga. Bagaimana harimu di rumah?" "Tidak terlalu buruk, meskipun aku bosan setengah mati," balas Veronica sambil tersenyum kecil, suaranya seperti mengeluh. Di sudut ruangan, Aluna sedang mengelap meja ruang tamu. Pekerjaannya terhenti sejenak saat melihat adegan itu. Matanya memandang dingin, meskipun ia mencoba untuk tidak bereaksi berlebihan. Dalam hatinya, ada perasaan jijik bercampur getir, tetapi ia tahu lebih baik untuk tidak menunjukkan apa pun. "Aluna," panggil Betran tiba-tiba den
Beberapa hari kemudian. Betran, Veronica, dan Kania sudah bersiap meninggalkan rumah. Veronica tampak anggun dengan dress pastel yang mahal, sementara Betran mengenakan jas formal. Kania, seperti biasanya, melontarkan perintah-perintah seenaknya kepada Aluna. “Aluna! Jangan lupa, tanaman Veronica harus disiram, ya,” katanya dengan nada tajam. Aluna mengangguk pelan. “Iya, Mom.” Veronica yang sedang berdiri di dekat pintu menoleh dengan ekspresi dingin. “Dan satu lagi, Aluna. Kalau ada orang asing yang datang, langsung usir. Jangan biarkan siapa pun masuk, paham?” “Iya, aku paham.” Betran melirik Aluna sekilas, lalu menambahkan dengan nada dingin, “Jangan sampai ada masalah selama kami pergi. Kalau ada yang salah, kau tahu apa akibatnya.” Aluna menunduk, menelan semua ucapan itu dalam diam. “Aku mengerti, Mas.” Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam mobil, meninggalkan Aluna sendirian di rumah yang sekarang terasa lebih lapang. Ia berdiri di depan pintu, memandangi kenda
Aluna baru saja menutup pintu ketika ketukan keras kembali terdengar. Jantungnya berdebar. Siapa lagi yang datang malam-malam begini? Ia membuka pintu perlahan, dan di sana, berdiri Kaisar. Wajahnya terlihat serius, namun ada tatapan yang sulit dijelaskan. “Kaisar? Kenapa kau kembali?” Aluna bertanya, suaranya bergetar. Kaisar tidak menjawab. Ia melangkah masuk tanpa izin, menutup pintu di belakangnya. Sebelum Aluna sempat berkata apa-apa, lelaki itu menariknya ke dalam pelukan yang erat. “Aku tidak bisa pergi,” bisik Kaisar di telinganya. “Aku tidak ingin meninggalkanmu malam ini.” Aluna mencoba meronta, meski tubuhnya lemas karena dekapan itu. “Kaisar, kau tidak bisa terus seperti ini. Kalau Betran tahu…” “Aku tidak peduli,” potong Kaisar. Tangannya menguat di pinggang Aluna, matanya menatap lurus ke dalam mata perempuan itu. “Yang kupedulikan sekarang hanya kau.” Sebelum Aluna sempat membalas, Kaisar mengangkat tubuhnya dengan mudah. “Kaisar! Apa yang kau lakukan?” Al
Pagi buta, suasana rumah masih lengang. Aluna terbangun oleh gerakan halus di sisi tempat tidurnya. Ia membuka mata perlahan dan mendapati Kaisar sedang mengenakan kemejanya. Lelaki itu tampak rapi, seperti biasa, namun ada senyuman kecil di wajahnya saat menyadari Aluna memandangnya. “Sudah bangun?” tanya Kaisar dengan nada lembut, sambil menatapnya dari sudut matanya. Aluna hanya mengangguk, matanya masih setengah mengantuk. Namun, ia tidak bisa mengabaikan getaran di dadanya saat melihat lelaki itu bersiap untuk pergi. Kaisar duduk di tepi tempat tidur, tangannya terulur menyentuh wajah Aluna. “Aku harus pergi. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan.” Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap Kaisar, ada sedikit rasa hampa yang mulai merayapi dirinya. Ia tahu bahwa hubungan ini tidak seharusnya terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa tidak ingin lelaki itu pergi. Kaisar tersenyum kecil, lalu menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Aluna dengan lembut, tapi semakin lama, ciuma
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil
Sementara itu, Betran sedang duduk di pojok ruang tahanan saat langkah Kania terdengar memasuki ruang kunjungan. Mata Betran langsung berkilat ketika melihat ibunya. Namun, begitu ia melihat wajah Kania yang pucat dan matanya yang bengkak karena menangis, rasa bersalah kembali menghantamnya.“Mom…” panggil Betran lemah, berdiri dari kursinya.Kania tak kuasa menahan air matanya. Ia bergegas menghampiri putranya dan memeluknya erat. “Betran… lihat kamu sekarang. Kurusan begini. Apa kamu makan dengan benar, nak? Kenapa kamu begini?” Kania menangis tersedu-sedu di bahu Betran.Betran hanya diam. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan hanya akan menambah luka di hati ibunya. Perlahan ia melepas pelukan itu dan menatap Kania. “Mom, aku baik-baik saja. Jangan menangis seperti ini. Aku yang salah, ini semua salahku. Aku pantas menerima hukuman ini.”“Tidak, tidak, kamu tidak pantas seperti ini!” Kania menggeleng keras, wajahnya penuh dengan air mata. “Kamu hanya salah langkah, Betran! Kamu tid
Raja baru saja memasuki rumah, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana rumah begitu sunyi, namun begitu ia membuka pintu utama, langkahnya langsung terhenti melihat Ratu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang, matanya memancarkan amarah yang tak terselubung.“Kamu dari mana saja, Raja?!” bentak Ratu begitu melihat suaminya masuk. Raja melepas jasnya dengan tenang, lalu menggantungnya di dekat pintu. “Aku ada urusan penting di luar. Kenapa harus teriak seperti itu?” balas Raja dengan nada datar, namun tatapannya dingin.“Urusan penting? Tengah malam?!” Ratu melangkah maju mendekatinya, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Kamu bahkan tidak menjawab teleponku! Aku sudah meneleponmu belasan kali, Raja! Kamu tahu aku khawatir?”Raja menatap istrinya dengan wajah tanpa ekspresi. “Khawatir? Atau lebih tepatnya, curiga?” Ratu tercekat, tapi dengan cepat ia mengelak. “Aku hanya peduli. Aku istrimu. Wajar kalau aku khawatir ketika suamiku ti
Malam itu, di salah satu kamar hotel berbintang, Raja duduk di sofa, matanya tak lepas memandang Aluna yang sedang berdiri di dekat jendela. Ia masih mencoba mencerna semua yang telah diceritakan Aluna sebelumnya. Keningnya berkerut, pikirannya penuh dengan kebingungan yang bercampur dengan rasa hangat saat berada di dekat wanita itu."Aluna," panggil Raja dengan nada pelan, tetapi tegas.Aluna menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya meski ada gurat kesedihan di matanya. "Iya, Raja?" Raja menghela napas panjang. "Aku... aku masih sulit menerima semua ini. Kamu bilang aku Kaisar, tunanganmu, tapi aku tidak ingat apa-apa. Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?"Aluna berjalan mendekatinya, lalu duduk di sofa di sebelahnya. "Aku juga tidak tahu kenapa kamu bisa kehilangan ingatanmu, Kaisar. Tapi aku yakin, kamu adalah orang yang sama. Aku bisa merasakannya."Raja menatapnya dalam-dalam. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengingat apa pun? Bagaimana jika aku tetap menjadi orang yang tid
Seminggu telah berlalu,Hari itu, di ruang rapat utama Chandra Grup, Aluna duduk dengan penuh konsentrasi di kursinya, memeriksa dokumen terakhir yang terkait dengan proyek bersama Grup Gielz. Raja baru saja tiba dengan membawa beberapa dokumen tambahan. Penampilannya seperti biasa, rapi dan karismatik, tetapi ada sesuatu di matanya yang terlihat lebih lembut saat menatap Aluna. "Ini dokumen terakhirnya," kata Raja sambil meletakkan berkas di depan Aluna. Suaranya terdengar tenang, tetapi nada lembut itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar formalitas profesional. "Terima kasih," balas Aluna singkat. Dia mengambil dokumen itu dan memeriksanya dengan teliti. Raja duduk di seberangnya, memandangi Aluna dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memecah keheningan. "Aluna, proyek ini benar-benar luar biasa. Saya harus mengakui, ini mungkin kerja sama terbaik yang pernah saya lakukan selama saya menjadi CEO." Aluna tersenyum tipis, tetapi pandang
Di ruang utama Chandra Grup, Aluna sedang duduk di meja kerjanya, menyusun beberapa dokumen penting. Ia berusaha keras untuk tetap fokus, meskipun hari-harinya belakangan ini penuh tekanan. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa menggema di luar ruangan. Hansen masuk dengan wajah sedikit bingung. "Nona, ada Bu Kania di luar. Dia memaksa ingin bertemu Anda," kata Hansen dengan nada tegas, namun sopan. Aluna menghela napas panjang, mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut. "Dia lagi? Biarkan dia masuk." Hansen ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka pintu untuk Kania. Wanita itu masuk dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan amarah yang tak tertahan. "Aluna! Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini?" seru Kania tanpa basa-basi, suaranya menggema di ruangan yang besar itu. Aluna mendongak, tatapannya tajam. "Apa maksud Anda, Bu Kania?" tanyanya dingin. Kania langsung mendekat, matanya memerah. "Kamu tega sekali! Betran itu ayah kandung Alva!
Ratu melangkah ke dapur dengan langkah tergesa-gesa, hatinya penuh rencana. Dia membuka lemari kecil dan mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening. Wajahnya menyiratkan kelegaan saat menuangkan setetes cairan itu ke dalam cangkir teh yang sudah dia buatkan untuk Raja. “Sempurna,” gumamnya sambil membawa cangkir itu ke kamar. Saat dia tiba, Raja sedang duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya seperti biasanya. Dia tampak kelelahan, tetapi tetap memancarkan aura yang tidak bisa diabaikan. “Aku sudah buatkan teh untukmu, Sayang,” kata Ratu lembut, menyerahkan cangkir itu padanya. "Ayo diminum agar kamu lebih rileks."Raja mengangkat wajah dan menatapnya. “Terima kasih.” Dia menerima teh itu tanpa kecurigaan sedikit pun. Ratu duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar. Setelah beberapa teguk, Raja mulai merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Tubuhnya memanas, darahnya berdesir kencang, dan pikirannya menjadi kabur. “Ratu… ada yang aneh,” gumam Raja dengan suara parau, sam