Malam itu, Aluna duduk di ruang tamu dengan pakaian santai, mencoba menghabiskan waktu dengan membaca novel yang sebenarnya sudah ia baca berkali-kali. Pikirannya melayang-layang, tak bisa benar-benar fokus pada halaman yang ada di tangannya. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya terperanjat. Ia melirik jam di dinding—sudah lewat pukul sembilan malam. Siapa yang datang di jam seperti ini? Dengan rasa penasaran bercampur sedikit gugup, ia melangkah ke pintu. Saat pintu dibuka, Kaisar berdiri di sana dengan senyuman khasnya, memegang sebuah kotak besar. "Aku tahu kamu suka martabak manis, jadi aku bawakan ini." Aluna menghela napas, antara kesal dan geli. "Kaisar, ini sudah malam. Kenapa kamu datang lagi?" Kaisar masuk begitu saja tanpa menunggu undangan. "Karena aku tahu waktu kita terbatas. Besok Betran pulang, kan?" Aluna memutar matanya, tapi tidak bisa menahan senyum kecil yang mulai terbit di sudut bibirnya. "Kamu memang terlalu tahu jadwal orang." "Ya, begitula
Rumah kembali gaduh setelah kepulangan Betran, Kania, dan Veronica. Suara langkah kaki serta perintah bersahut-sahutan membuat Aluna yang berada di dapur langsung bergegas menuju ruang tamu. Tumpukan koper berserakan di dekat pintu masuk. Betran sedang menelepon, wajahnya penuh keseriusan, sementara Kania sudah duduk dengan nyaman di sofa. Veronica, seperti biasa, duduk dengan angkuh sambil menggulir ponsel di tangannya.“Aluna!” panggil Veronica tajam, membuat Aluna segera mendekat.“Ya, Veronica,” jawab Aluna sopan, menundukkan kepala.“Cepat angkat koper-koper ini ke kamar masing-masing. Jangan sampai ada yang lambat atau berantakan. Dan pastikan koperku duluan. Aku tidak mau menunggu!”“Iya, Veronica,” jawab Aluna singkat, segera bergerak mengangkat koper besar Veronica ke atas. Beratnya membuat lengannya gemetar, tapi ia menggigit bibir, berusaha menahan keluhan.Di sofa, Kania melirik sekilas ke arah Aluna, lalu mendesah panjang. “Aluna, selesai dari koper Veronica, kamu langsu
Malam itu, Aluna melangkah pelan keluar rumah. Udara dingin menyentuh kulitnya, tetapi langkahnya tak terhenti. Di dalam rumah, semuanya sudah terlelap, termasuk Kania dan Veronica yang tadi siang membuatnya bekerja tanpa henti. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya jauh lebih kusut. Ia ingin bertemu Kaisar. Hanya di dekat pria itu ia merasa dihargai, meski hubungan mereka penuh tanda tanya.Setibanya di rumah Kaisar, ia mengetuk pintu dengan lembut. Tak butuh waktu lama bagi Kaisar untuk membukakan pintu. Wajahnya yang tampak segar dan matanya yang berbinar melihat kedatangan Aluna membuat hati wanita itu sedikit tenang.“Kamu datang...” suara Kaisar terdengar hangat, senyum kecil menghiasi wajahnya.“Aku butuh kamu, ” jawab Aluna, suaranya lemah, seperti menyimpan beban berat. Kaisar segera menariknya masuk, menutup pintu, dan memeluk Aluna erat tanpa berkata apa-apa. Hanya melalui pelukan itu, Aluna merasa beban di dadanya sedikit berkurang.“Kenapa malam-malam begini? Kamu kelihatan
Kaisar memandang Aluna yang tertidur pulas di sampingnya. Ketenangan terpancar di wajah wanita itu, sesuatu yang jarang ia lihat. Tangannya bergerak perlahan, menyibak helaian rambut Aluna yang jatuh menutupi pipinya. Napasnya teratur, matanya terpejam dalam, seolah malam ini ia bebas dari semua beban yang menghimpitnya. Kaisar tersenyum kecil. Tidak ada kebahagiaan yang lebih sederhana baginya selain melihat wanita yang ia cintai tertidur dengan damai di sisinya. “Aluna…” bisiknya lirih, walau ia tahu tak akan ada balasan. Kaisar berbaring telentang, menatap langit-langit kamar. “Aku janji, aku bakal bikin hidupmu lebih baik. Kamu cuma butuh percaya sama aku.” Tanpa sadar, ia meraih tangan Aluna yang tergeletak di sampingnya. Dingin dan lembut. Sesaat kemudian, Kaisar memejamkan matanya. Rasa nyaman itu membuatnya tak butuh lebih dari ini—cukup tidur dengan wanita yang ia cintai. Itu saja.Sementara itu, di kediaman Betran, suasana berbeda jauh dari kedamaian yang dirasakan Aluna.
Suasana rumah Betran benar-benar kacau saat Aluna pulang. Ia mencoba berjalan masuk dengan langkah pelan, berharap tidak ada yang menyadari kedatangannya. Namun, langkahnya terhenti begitu mendengar suara Veronica. “ALUNA!” Veronica berdiri di ruang tamu dengan kedua tangan bertolak pinggang, tatapan matanya menyala penuh amarah. Di sampingnya, Kania sudah duduk di sofa dengan ekspresi tajam. Aluna langsung menunduk, mempersiapkan diri menghadapi serangan verbal yang pasti akan datang. “Kamu dari mana saja, hah? Berani-beraninya pergi semalaman tanpa izin! Kamu pikir rumah ini hotel?” Veronica langsung mendekat, suaranya melengking. Kania ikut menimpali. “Jawab, Aluna! Jangan cuma diam seperti patung! Kamu pikir kamu ini siapa, hah?” Aluna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri agar tidak terpancing emosi. “Aku habis menengok sahabatku yang sakit, Mom. Dia butuh bantuan, makanya saya pergi.” “Sahabat?” Kania mencibir sinis. “Sahabat yang mana? Kamu itu siapa samp
Dua bulan kemudian, Betran duduk di ruang kerjanya dengan wajah kusut. Tumpukan dokumen berantakan di meja, sementara layar laptop di hadapannya menampilkan laporan keuangan yang terus menunjukkan angka merah. Betran memijat pelipisnya, berusaha berpikir jernih, tapi rasanya otaknya sudah tak mampu lagi. Suara pintu dibanting tiba-tiba membuatnya tersentak. Veronica masuk dengan wajah merah padam, rambutnya sedikit berantakan, seolah ia sudah meluapkan kemarahan pada orang lain sebelum sampai di ruangan ini. “Kamu ini sebenarnya ngurus apa, Betran?!” Veronica langsung melontarkan makian tanpa basa-basi. “Kita kena tipu sampai rugi miliaran, dan kamu cuma duduk di sini kayak orang to--lol?!” Betran mengangkat wajahnya perlahan, tapi tidak langsung menjawab. Ia terlalu lelah untuk meladeni Veronica sekarang. “Jangan diam saja, Betran! Aku tanya kamu! Bagaimana caranya kamu bisa sebodoh ini? Perusahaan keluargaku juga ikut terancam karena kelalaianmu! Kalau sampai bangkrut, kamu
Veronica berdiri di ruang tengah dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya memerah karena amarah. Betran berjalan mondar-mandir di depannya, mencoba meredam emosi, tapi jelas ia sudah berada di ambang batas. Aluna berdiri di pojokan dapur, pura-pura sibuk mengelap meja, tapi diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kepuasan. “Kamu ini benar-benar nggak becus, Betran!” Veronica memulai lagi, suaranya melengking. “Sudah berapa kali aku bilang untuk lebih hati-hati?! Sekarang perusahaan kita sudah bangkrut! Kamu mau makan dari mana nanti? Dari daun-daunan?!”Betran berhenti di tengah langkahnya dan menatap Veronica tajam. “Kamu pikir aku nggak tahu kondisi ini?! Aku yang berada di tengah semua ini, Veronica! Aku yang berusaha keras memperbaiki semuanya! Jadi berhenti menyalahkan aku seolah kamu sama sekali nggak punya andil!” “Andil? Aku?! Oh, lucu sekali, Betran!” Veronica menatapnya dengan ekspresi penuh ejekan. “Aku hanya menjalankan bagianku, dan itu nggak ada hubungan
Seminggu kemudian, Betran duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk. Rumah yang dulu megah kini mulai kehilangan kilau kemewahannya. Beberapa barang berharga sudah dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ia menghela napas berat, memijat pelipisnya, sementara Veronica duduk di sofa lain, menatapnya tajam dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Aku masih nggak habis pikir, Betran,” kata Veronica dingin, memecah keheningan. “Bagaimana bisa kamu gagal seperti ini? Kita kehilangan segalanya, dan kamu bahkan nggak tahu siapa yang menjatuhkan kita!” “Berhenti menyalahkan aku, Veronica,” jawab Betran dengan nada datar, tapi matanya menyimpan kemarahan. “Aku sudah bilang, aku sedang mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi ini nggak mudah. Kita berhadapan dengan perusahaan terbesar di negeri ini. Perusahaan Chandra bukan lawan yang main-main.” “Omong kosong!” Veronica membalas dengan suara tinggi. “Kamu ini kepala keluarga, Betran! Kamu seharusnya punya kontrol atas situasi i
Aluna duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggam tangan Kaisar yang terbaring dengan tubuh penuh luka. Matanya sembap karena menangis tanpa henti sejak tadi malam. Selang-selang infus dan alat bantu pernapasan membuat sosok Kaisar terlihat begitu lemah, jauh berbeda dari pria tangguh yang selama ini menjadi pelindungnya. “Kaisar…” bisik Aluna dengan suara serak, nyaris tidak terdengar. “Bangunlah, aku butuh kamu. Kamu yang selalu bilang akan melindungiku, tapi kenapa sekarang malah seperti ini?” Air matanya kembali mengalir deras, membasahi pipinya. Seorang dokter masuk ke ruangan dengan langkah pelan, diikuti oleh seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Kaisar tanpa banyak bicara, memberikan pandangan penuh simpati kepada Aluna sebelum keluar lagi. Aluna mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengumpulkan keberanian. Pikirannya berkecamuk, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan orang yang menyakiti Kaisar lolos begitu saja. ****Di ruang keluarga mansion,
Esok nya, Kaisar baru saja selesai menghadiri sebuah rapat penting di salah satu vila pribadinya di luar kota. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk tidak membawa bodyguard. Kaisar bukan orang yang sembarangan, tetapi kadang-kadang ia merasa terlalu banyak pengawalan membuatnya kehilangan privasi. Saat mobilnya melaju di jalanan sepi menuju kota, dua SUV hitam mendadak memotong jalannya. Sopir Kaisar panik, mencoba mundur, tetapi dari belakang sudah muncul mobil lain yang memblokir. Dalam hitungan detik, pintu mobil Kaisar dibuka secara paksa oleh beberapa pria bertopeng. Salah satunya adalah Roy. “Kaisar Amartha, akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu,” Roy berkata dengan nada mengejek, wajahnya tak ditutupi topeng. Kaisar menatap Roy dengan tenang meskipun keadaan jelas berbahaya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin. Roy tersenyum sinis. “Hanya sedikit waktu dan perhatianmu, Tuan Besar. Tapi jangan khawatir, kami akan membawamu ke tempat yang nyaman untu
Dua hari kemudian, Betran berjalan keluar dari sebuah gedung perkantoran dengan wajah muram. Jasnya yang sudah lusuh menunjukkan betapa terpuruknya hidupnya sekarang. Lamaran kerjanya kembali ditolak. Sudah kali keempat dalam minggu ini. Ia tidak bisa lagi mengandalkan koneksi lamanya karena nama Betran telah masuk daftar hitam di hampir semua perusahaan besar, berkat kekuatan Chandra Grup. "Dasar Kaisar," gumam Betran dengan suara penuh amarah saat berjalan menuju mobilnya yang sudah tua. "Dia pikir dia siapa, mengatur seluruh dunia untuk menjatuhkanku? Ini belum selesai." Ia menyalakan mesin mobilnya dan melaju tanpa arah. Hatinya terus bergemuruh, penuh dengan rasa frustrasi dan dendam yang semakin membara. Di tengah perjalanan, teleponnya berdering. Ia mengangkatnya dengan malas tanpa melihat siapa yang menelepon. "Halo?" suaranya terdengar kasar. "Bagaimana hasilnya, Betran?" suara Kania terdengar di seberang. Betran menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Ditolak l
Setelah kembali ke rumah, Kania melempar tasnya ke sofa dengan kasar. Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh amarah. Langkah-langkahnya menghentak lantai, mempertegas betapa kesalnya dia. Tak lama, Betran muncul dari ruang kerjanya, mendengar kegaduhan yang dibuat oleh ibunya. "Ada apa lagi, Mom?" tanya Betran, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski dia tahu percakapan ini pasti tidak akan menyenangkan. Kania berbalik, menunjuk Betran dengan jari telunjuknya yang bergetar. "Kau tahu apa yang baru saja terjadi padaku, Betran? Kau tahu apa yang wanita itu—Aluna—lakukan padaku?" Betran menghela napas panjang, lalu duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. "Mom, aku sedang sibuk. Jangan bawa masalah ini sekarang." "Sibuk?!" Kania memekik. "Aku dihina, dipermalukan oleh wanita itu, dan kau malah bilang kau sibuk? Kau ini anakku atau bukan, Betran?" Betran berdiri, mencoba menenangkan Kania. "Mom, duduklah dulu. Ceritakan apa yang terjadi." Kania menepis tangan
Setelah Betran pergi, Kaisar mengajak Aluna ke taman. Angin sore berhembus lembut di sekitar taman yang dipenuhi bunga bermekaran. Aluna, yang kini sedang hamil besar, berjalan perlahan di samping Kaisar. Tangannya digenggam erat oleh pria itu, memberikan rasa aman dan nyaman. Kaisar selalu memastikan setiap langkahnya terasa ringan, sesekali menatapnya dengan penuh perhatian.“Kau ingin istirahat sebentar? Kita bisa duduk di bangku dekat air mancur itu,” tanya Kaisar sambil menunjuk sebuah bangku di bawah pohon rindang.“Boleh,” jawab Aluna sambil tersenyum kecil.Namun, belum sempat mereka mencapai bangku itu, langkah Aluna terhenti. Di depannya berdiri Kania, mantan mertuanya, yang kini tampak berbeda dari biasanya. Pakaian mahal yang dulu selalu dikenakan Kania telah tergantikan dengan gaun sederhana. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tapi matanya tetap penuh tekad.“Aluna,” suara Kania bergetar. “Aku ingin bicara.”Aluna menatap Kania dengan dingin, mengangkat dagunya sedikit. “Ad
Kania duduk dengan raut wajah serius di depan Betran. Sejak kehilangan segala-galanya, hanya Kania, ibunya, satu-satunya orang yang masih bisa ia ajak bicara. Meskipun hidup Kania kini juga berantakan, ia tetap merasa ada kesempatan untuk kembali berdiri jika bisa memanfaatkan Aluna. “Betran, kau harus bangkit,” ucap Kania dengan suara penuh tekanan. “Kau tahu Aluna itu masih istri sahmu, kan? Sebelum dia melahirkan dan benar-benar bercerai, kau punya hak penuh atasnya.” Betran yang tengah meminum segelas alkohol menghentikan gerakannya. “Aku sudah mencoba, Mom. Aku sudah datang ke mansionnya. Tapi Aluna dingin seperti batu. Dia tidak akan memaafkanku.” Kania mendengus, menatap Betran dengan sinis. “Kau ini lemah sekali! Tentu saja dia tidak akan langsung menerima kalau kau hanya datang dan merengek. Kau harus punya rencana. Kau harus lebih pintar!” “Rencana apa?” Betran menatapnya dengan malas. “Kaisar Amartha selalu berada di sisinya. Lelaki itu sempurna, kaya, dan berkuasa.
Tidak terasa, Kehamilan Aluna sudah memasuki usia delapan bulan. Perutnya membesar, namun ia tetap terlihat anggun dengan balutan gaun rumah berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kaisar semakin perhatian. Dia selalu memastikan Aluna tidak kelelahan, bahkan mengatur jadwal pekerjaan Aluna agar tidak terlalu padat. Kaisar memandang perut Aluna dengan senyuman bangga. “Bagaimana hari ini? Bayi kecil kita sudah mulai menendang lagi?” Kaisar bertanya sambil duduk di samping Aluna di sofa besar. Aluna terkekeh kecil. “Bayi ini memang aktif. Setiap malam, dia seperti berlatih menari di perutku.” Kaisar menatap Aluna penuh kasih, lalu mengelus lembut perutnya. “Aku tahu dia bukan anak kandungku, tapi aku akan mencintainya sepenuh hati. Dia adalah anak kita, Aluna. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Senyuman Aluna menghangat. Ia merasa begitu bersyukur memiliki Kaisar di sisinya, seseorang yang tidak pernah mempermasalahkan masa lalu, melainkan fokus pada masa depan m
Hari demi hari berlalu dengan suasana yang kian suram di kehidupan Betran. Setelah insiden histeris yang dialami Veronica, dokter menyarankan agar ia dirawat intensif di rumah sakit jiwa. Keputusan itu berat bagi Betran, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Mental Veronica kian memburuk, bahkan tidak lagi mengenali kenyataan. Veronica kini menghabiskan hari-harinya di kamar putih tanpa jendela, sering kali berbicara sendiri sambil memeluk perutnya. “Bayiku akan baik-baik saja… kau akan lihat, Betran. Kita akan jadi keluarga bahagia…” kalimat itu terus diulanginya, seolah menjadi mantra yang menahan pikirannya dari kehancuran total.Di Ruang Direktur Rumah Sakit Jiwa“Veronica akan membutuhkan waktu lama untuk pulih, jika itu memungkinkan,” ujar seorang psikiater yang duduk di hadapan Betran. Betran mengangguk lemah, wajahnya tak lagi memancarkan kebanggaan yang dulu selalu ia tunjukkan. “Lakukan apa pun yang perlu, Dok. Aku hanya ingin dia tidak menderita lagi…” Psikiater itu menata
Di dalam kamar besar mansion mereka, Aluna sedang duduk di sofa sambil memandangi layar laptop. Tangannya dengan lembut mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar. Meskipun dunia sudah tahu bahwa ia adalah pewaris tunggal Chandra Group, Aluna memilih untuk tetap bekerja di balik layar, menghindari sorotan media yang terus memburunya.Kaisar masuk ke kamar membawa nampan berisi makanan ringan dan segelas susu hangat. "Sudah kubilang, tidak ada pekerjaan hari ini," ucap Kaisar sambil meletakkan nampan di atas meja. Ia duduk di samping Aluna, menyentuh pundaknya dengan lembut.Aluna tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Aku hanya memastikan laporan terakhir dari tim marketing. Tidak lama lagi produk baru kita akan diluncurkan. Aku ingin semuanya sempurna."Kaisar menggeleng pelan. "Aku tahu kamu sangat perfeksionis, tapi kamu juga perlu istirahat. Kamu sedang hamil, Aluna. Semua orang di perusahaan tahu bahwa kamu tetap bekerja keras, bahkan dari balik layar."A