Seminggu kemudian, Betran duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk. Rumah yang dulu megah kini mulai kehilangan kilau kemewahannya. Beberapa barang berharga sudah dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ia menghela napas berat, memijat pelipisnya, sementara Veronica duduk di sofa lain, menatapnya tajam dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Aku masih nggak habis pikir, Betran,” kata Veronica dingin, memecah keheningan. “Bagaimana bisa kamu gagal seperti ini? Kita kehilangan segalanya, dan kamu bahkan nggak tahu siapa yang menjatuhkan kita!” “Berhenti menyalahkan aku, Veronica,” jawab Betran dengan nada datar, tapi matanya menyimpan kemarahan. “Aku sudah bilang, aku sedang mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi ini nggak mudah. Kita berhadapan dengan perusahaan terbesar di negeri ini. Perusahaan Chandra bukan lawan yang main-main.” “Omong kosong!” Veronica membalas dengan suara tinggi. “Kamu ini kepala keluarga, Betran! Kamu seharusnya punya kontrol atas situasi i
Hari itu, Aluna bangun lebih pagi dari biasanya. Udara dingin menusuk, tapi ia tetap menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga Betran seperti biasanya. Pikirannya tenang meski tubuhnya terasa lelah. Dua bulan terakhir, Betran, Veronica, dan Kania semakin sering melampiaskan frustrasi mereka padanya. Tapi Aluna sudah kebal. Baginya, ini hanya permainan waktu. “Aluna!” suara tajam Kania menggema dari arah ruang makan. “Kenapa kopiku belum datang juga?” Aluna buru-buru menuangkan kopi ke cangkir porselen, lalu membawanya ke meja makan dengan langkah tenang. “Maaf, Mom, ini kopinya.” Kania memandangnya dengan tatapan mencela. “Lama sekali! Kamu pikir aku punya waktu seharian untuk menunggu?” “Maaf, Mom,” jawab Aluna dengan nada rendah. Veronica yang duduk di sisi Kania menatap Aluna dari ujung kepala hingga kaki. “Lihat dirimu. Penampilanmu makin lusuh saja. Kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini, setidaknya berpenampilan layak.” Aluna hanya menunduk, men
Malam itu, rumah keluarga Betran terasa sedikit berbeda. Suara bel pintu yang nyaring memecah keheningan. Aluna yang sedang mencuci piring segera mengeringkan tangannya dan bergegas ke depan untuk membuka pintu. Seorang pria berpakaian rapi berdiri di sana dengan sebuah amplop elegan di tangannya. “Selamat malam. Ini ada undangan untuk keluarga Betran,” katanya sambil tersenyum sopan. Aluna mengangguk kecil dan mengambil undangan itu. “Terima kasih, Pak.” Setelah pria itu pergi, Aluna menutup pintu dan melangkah perlahan ke ruang tamu, di mana Kania dan Veronica sedang duduk. Betran baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan wajah kusut. “Apa itu?” tanya Veronica sambil menatap amplop di tangan Aluna. “Undangan. Tadi ada tamu yang mengantar,” jawab Aluna, menyerahkan amplop itu kepada Kania. Kania membuka amplop tersebut dengan ekspresi penasaran. Ia mengeluarkan kartu undangan berwarna hitam dengan aksen emas, tampak sangat mewah. Matanya membesar saat membaca isi undang
Ketika Veronica, Betran, dan Kania sudah berangkat lebih dulu, rumah terasa sepi. Aluna berdiri di depan cermin kamar kecilnya, memandang bayangannya. Malam ini adalah malam besar. Semuanya akan berubah. Ia menarik napas panjang, memastikan dirinya tetap tenang. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Kaisar muncul di layar. Ia segera menjawab. “Kamu sudah siap, sayang?” Suara Kaisar terdengar dalam dan lembut di seberang. “Sudah,” jawab Aluna singkat, tapi penuh keyakinan. “Bagus,” kata Kaisar. “Sebentar lagi mereka akan sampai. Jangan gugup. Malam ini adalah pembalasanmu. Semua yang sudah mereka lakukan padamu akan terbalas.” “Terima kasih, Kaisar. Tanpa kamu, aku mungkin masih terjebak di neraka itu,” balas Aluna, suaranya terdengar penuh emosi. “Lupakan itu. Malam ini kamu akan berdiri sebagai dirimu yang sebenarnya. Ingat, aku menunggumu di acara itu.” Aluna mengangguk, meskipun Kaisar tidak bisa melihatnya. “Aku akan segera ke sana.” Tak lama setelah telepon ditutup,
Ruang utama gedung mulai dipenuhi tamu-tamu terhormat dari berbagai perusahaan besar. Para pengusaha tampak berbincang satu sama lain, sebagian membicarakan bisnis, sebagian lagi sibuk berspekulasi. Siapa sebenarnya CEO perusahaan Chandra? Sosok misterius yang mampu menguasai pasar Indonesia dan menjadikan perusahaan itu nomor satu, bahkan secara global.Kaisar Amartha berdiri tenang di salah satu sudut ruangan. Matanya sesekali mengawasi situasi, tapi ia tetap membisu, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Beberapa pengusaha besar mencoba menghampirinya untuk berbasa-basi, namun ia hanya menanggapi seadanya. Kaisar tahu, perhatian malam ini bukan untuknya, melainkan untuk Aluna.Sementara itu, Aluna masuk ke ruang utama dengan langkah anggun. Gaun hitam panjang yang ia kenakan, dipadukan dengan kalung berlian, membuatnya terlihat memukau. Namun, saat Betran, Veronica, dan Kania melihatnya, mereka langsung menunjukkan reaksi yang berbeda.Veronica menatap Aluna dengan tatapan penuh kebe
"Tidak mungkin dia!" Veronica hampir berteriak, suaranya bergema di aula yang sempat hening setelah pengumuman tadi. Wajahnya merah padam, matanya membelalak ke arah panggung tempat Aluna berdiri. "Itu bohong, ini pasti lelucon murahan!"Betran yang duduk di samping Veronica hanya bisa menggeleng pelan, meskipun wajahnya sama terkejutnya. "Nggak mungkin... Aluna? Pemilik Chandra Grup? Tidak masuk akal. Dia cuma—" Betran menahan kata-katanya, terlalu bingung untuk melanjutkan.Kania, yang biasanya dingin dan penuh wibawa, tampak kehilangan kendali. "Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin seorang perempuan seperti dia—pembantu rendahan yang kita angkat dari jalanan—bisa memiliki perusahaan sebesar itu?! Apa dia sedang bermain sandiwara?!"Di atas panggung, Aluna hanya berdiri tenang, memandang ketiganya dengan senyum miris yang menyimpan begitu banyak emosi. Kaisar, yang berdiri di sisinya, hanya mengangguk kecil, memberinya isyarat untuk tetap tenang.Aluna membawa mikrofon ke bibirnya,
“Kalian harus tahu, Aluna masih istriku!” teriak Betran, suaranya menggema di aula yang penuh dengan para tamu. Semua mata langsung tertuju pada Betran, yang berdiri dengan wajah memerah, entah karena malu, marah, atau putus asa. Aluna, yang sudah hampir mencapai pintu keluar, berhenti melangkah. Dia menoleh perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Sorot matanya tajam, seperti pedang yang siap menembus siapa saja yang berani mendekat. “Ya, Tuan Betran,” jawabnya dengan nada dingin, “Tapi sekarang aku adalah mantan istrimu.” Ruangan menjadi hening. Tamu-tamu mulai berbisik-bisik, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Wajah Betran semakin tegang, tapi dia tidak mau menyerah. “Aluna, dengar aku,” katanya dengan nada yang lebih rendah, tapi tetap penuh tekanan. “Kita belum resmi bercerai. Anak itu... anak yang kau kandung... dia tetap anakku!” Senyum Aluna semakin tipis, nyaris penuh ejekan. “Betul,” balasnya santai. “Anak ini memang anakmu. Tapi setelah dia lahir, kit
Di dalam mobil yang melaju dengan tenang di bawah gemerlap lampu kota, suasana terasa begitu hangat di dalam kabin. Kaisar memeluk Aluna erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Tubuh Aluna terasa nyaman dalam pelukan pria itu, membuatnya merasa aman, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Kaisar menatap Aluna dalam-dalam. “Aku tahu ini perjalanan panjang,” katanya lembut. “Aku akan terus sabar menunggu, sampai kau benar-benar menjadi milikku sepenuhnya. Aku tidak akan terburu-buru.”Aluna menunduk, senyumnya mengembang pelan. Ada rasa hangat yang menjalari hatinya, mendengar janji tulus dari pria yang telah menjadi tempatnya bersandar. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Namun, senyum di bibirnya sudah cukup menjelaskan perasaannya.Melihat senyum itu, Kaisar tidak bisa lagi menahan diri. Dengan lembut, tangannya mengangkat dagu Aluna, membuat mata mereka bertemu. “Aku mencintaimu, Aluna,” bisiknya, sebelum bibirnya mendekat.Tanpa peduli bahwa di kursi depan asistenny
Aluna melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan tenang, meskipun hatinya masih sedikit panas setelah insiden dengan Ratu di parkiran tadi. Ia menghela napas pelan, mencoba mengembalikan fokusnya pada pekerjaan. Begitu ia duduk di kursinya, asistennya, Hanna, segera masuk dengan membawa tablet di tangannya. "Nyonya Aluna, sesuai jadwal, pukul sepuluh pagi nanti ada pertemuan dengan klien dari Korea Utara," lapor Hansen. "Mereka ingin menawarkan kerja sama bisnis di bidang ekspor bahan baku tekstil. Saya sudah mengatur tempat pertemuan di ruang konferensi lantai tujuh." Aluna mengangguk. "Baik, pastikan semua dokumen yang diperlukan sudah siap. Aku ingin tahu lebih detail mengenai proposal mereka sebelum pertemuan dimulai." "Saya akan segera mengirimkan berkasnya ke email Anda," kata Hansen. "Terima kasih, Hansen. Itu saja?" "Satu lagi, Nyonya," lanjut Hansen. "Saya ingin memastikan apakah Anda akan menghadiri makan siang dengan investor lokal nanti?" Aluna berpikir sejenak
Aluna baru saja hendak membuka pintu mobil saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Aluna! Tunggu!" Ia menoleh dan melihat seorang wanita tua berlari kecil ke arahnya. Kania, mantan ibu mertuanya. Wajahnya tampak lelah, ada guratan cemas di sana. Aluna menghela napas. Ia sudah bisa menebak tujuan wanita itu datang menemuinya lagi. "Tolong, Aluna..." suara Kania bergetar, matanya berkaca-kaca. "Aku mohon, bebaskan Betran... Aku tahu dia salah, aku tahu dia pantas dihukum, tapi dia tetap manusia. Dia tetap ayah dari Alva..." Aluna menegang. Ia menggenggam pegangan pintu mobil erat-erat, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. "Kania, sudah kubilang berkali-kali, aku tidak bisa begitu saja membebaskan dia. Ini masalah hukum, bukan masalah pribadi," ujar Aluna setenang mungkin. Kania terisak. "Aku mohon, Aluna... Aku sudah tua, aku tidak sanggup melihat anakku menderita seperti ini. Dia sudah menerima kesalahannya, dia menyesal. Tolonglah, Aluna..." Aluna menatap K
Aluna berjalan menuju kamarnya dengan perasaan yang sangat sulit ia jelaskan. Senyum kecil tak bisa ia tahan saat mengingat bagaimana Kaisar tadi mencium dan memeluknya. Rasanya begitu nyata, begitu hangat, seakan waktu tak pernah memisahkan mereka. Namun, lamunannya buyar ketika suara tangisan Baby Alva terdengar. Dengan cepat, ia mendekati ranjang bayi dan mengangkatnya ke dalam pelukannya. "Alva sayang, kenapa rewelnya?" gumam Aluna sambil mengayun-ayun pelan tubuh kecil itu. Baby Alva masih merengek, tangannya yang mungil menarik baju tidur Aluna, seolah meminta lebih banyak perhatian. "Kamu mau ditimang-timang, ya?" tanya Aluna lembut. Senyum Aluna semakin mengembang saat melihat mata kecil Alva mulai terpejam dalam gendongannya. Tapi di sisi lain, pikirannya kembali teringat pada Kaisar. Ucapannya, sentuhannya, tatapan penuh kerinduan itu. Di tempat lain, Kaisar baru saja sampai di rumah. Langkahnya santai, seolah tak peduli dengan siapa yang mungkin sedang menunggun
Tok! Tok! Tok!Aluna yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh ke arah pintu. "Nona, ada tamu," suara pelayan terdengar dari luar. "Siapa?" tanyanya sambil bangkit. "Tuan Kaisar, Nona," jawab pelayan dengan nada hati-hati. Aluna terdiam sejenak. Rasanya tak percaya Kaisar datang ke sini, ke mansionnya, setelah semua yang terjadi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Saat sampai di ruang tamu, sosok Kaisar sudah berdiri di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, tampak santai tapi tetap berwibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Aluna begitu ia muncul. "Aluna," panggil Kaisar pelan. Aluna tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di dekat tangga, menjaga jarak. Kaisar tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. "Aku datang untuk berterima kasih." Aluna mengangkat alis. "Untuk apa?" "Untuk semuanya," ujar Kaisar. "Untuk mengurus Amartha selama aku tidak ada, untuk tetap me
Beberapa bulan kemudian. Aluna duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita terbaru. Hampir semua portal bisnis dan ekonomi membahas satu hal yang sama—kembalinya Kaisar Amartha sebagai pemimpin perusahaan Amartha. Tak hanya itu, ada juga berita yang membahas kehidupan pribadinya, terutama soal pernikahannya dengan Ratu. Beberapa foto tersebar di media—Ratu dengan perut yang mulai membesar, Kaisar yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi dingin, dan wawancara singkat tentang bagaimana mereka akan membangun masa depan bersama. Aluna tersenyum miris. "Jadi ini akhirnya," gumamnya pelan. Ia tidak terkejut. Sejak awal, ia tahu Kaisar akan kembali ke posisinya. Yang membuatnya sedikit tercekat adalah kenyataan bahwa dunia melihat Kaisar dan Ratu sebagai pasangan yang sempurna, sementara dirinya hanya seorang mantan yang harus puas menyaksikan dari jauh. Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. "Nona Aluna," suara Hansen terdengar dari balik pintu. "Masuk
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau