Kaisar memandang Aluna yang tertidur pulas di sampingnya. Ketenangan terpancar di wajah wanita itu, sesuatu yang jarang ia lihat. Tangannya bergerak perlahan, menyibak helaian rambut Aluna yang jatuh menutupi pipinya. Napasnya teratur, matanya terpejam dalam, seolah malam ini ia bebas dari semua beban yang menghimpitnya. Kaisar tersenyum kecil. Tidak ada kebahagiaan yang lebih sederhana baginya selain melihat wanita yang ia cintai tertidur dengan damai di sisinya. “Aluna…” bisiknya lirih, walau ia tahu tak akan ada balasan. Kaisar berbaring telentang, menatap langit-langit kamar. “Aku janji, aku bakal bikin hidupmu lebih baik. Kamu cuma butuh percaya sama aku.” Tanpa sadar, ia meraih tangan Aluna yang tergeletak di sampingnya. Dingin dan lembut. Sesaat kemudian, Kaisar memejamkan matanya. Rasa nyaman itu membuatnya tak butuh lebih dari ini—cukup tidur dengan wanita yang ia cintai. Itu saja.Sementara itu, di kediaman Betran, suasana berbeda jauh dari kedamaian yang dirasakan Aluna.
Suasana rumah Betran benar-benar kacau saat Aluna pulang. Ia mencoba berjalan masuk dengan langkah pelan, berharap tidak ada yang menyadari kedatangannya. Namun, langkahnya terhenti begitu mendengar suara Veronica. “ALUNA!” Veronica berdiri di ruang tamu dengan kedua tangan bertolak pinggang, tatapan matanya menyala penuh amarah. Di sampingnya, Kania sudah duduk di sofa dengan ekspresi tajam. Aluna langsung menunduk, mempersiapkan diri menghadapi serangan verbal yang pasti akan datang. “Kamu dari mana saja, hah? Berani-beraninya pergi semalaman tanpa izin! Kamu pikir rumah ini hotel?” Veronica langsung mendekat, suaranya melengking. Kania ikut menimpali. “Jawab, Aluna! Jangan cuma diam seperti patung! Kamu pikir kamu ini siapa, hah?” Aluna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri agar tidak terpancing emosi. “Aku habis menengok sahabatku yang sakit, Mom. Dia butuh bantuan, makanya saya pergi.” “Sahabat?” Kania mencibir sinis. “Sahabat yang mana? Kamu itu siapa samp
Dua bulan kemudian, Betran duduk di ruang kerjanya dengan wajah kusut. Tumpukan dokumen berantakan di meja, sementara layar laptop di hadapannya menampilkan laporan keuangan yang terus menunjukkan angka merah. Betran memijat pelipisnya, berusaha berpikir jernih, tapi rasanya otaknya sudah tak mampu lagi. Suara pintu dibanting tiba-tiba membuatnya tersentak. Veronica masuk dengan wajah merah padam, rambutnya sedikit berantakan, seolah ia sudah meluapkan kemarahan pada orang lain sebelum sampai di ruangan ini. “Kamu ini sebenarnya ngurus apa, Betran?!” Veronica langsung melontarkan makian tanpa basa-basi. “Kita kena tipu sampai rugi miliaran, dan kamu cuma duduk di sini kayak orang to--lol?!” Betran mengangkat wajahnya perlahan, tapi tidak langsung menjawab. Ia terlalu lelah untuk meladeni Veronica sekarang. “Jangan diam saja, Betran! Aku tanya kamu! Bagaimana caranya kamu bisa sebodoh ini? Perusahaan keluargaku juga ikut terancam karena kelalaianmu! Kalau sampai bangkrut, kamu
Veronica berdiri di ruang tengah dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya memerah karena amarah. Betran berjalan mondar-mandir di depannya, mencoba meredam emosi, tapi jelas ia sudah berada di ambang batas. Aluna berdiri di pojokan dapur, pura-pura sibuk mengelap meja, tapi diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kepuasan. “Kamu ini benar-benar nggak becus, Betran!” Veronica memulai lagi, suaranya melengking. “Sudah berapa kali aku bilang untuk lebih hati-hati?! Sekarang perusahaan kita sudah bangkrut! Kamu mau makan dari mana nanti? Dari daun-daunan?!”Betran berhenti di tengah langkahnya dan menatap Veronica tajam. “Kamu pikir aku nggak tahu kondisi ini?! Aku yang berada di tengah semua ini, Veronica! Aku yang berusaha keras memperbaiki semuanya! Jadi berhenti menyalahkan aku seolah kamu sama sekali nggak punya andil!” “Andil? Aku?! Oh, lucu sekali, Betran!” Veronica menatapnya dengan ekspresi penuh ejekan. “Aku hanya menjalankan bagianku, dan itu nggak ada hubungan
Seminggu kemudian, Betran duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk. Rumah yang dulu megah kini mulai kehilangan kilau kemewahannya. Beberapa barang berharga sudah dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ia menghela napas berat, memijat pelipisnya, sementara Veronica duduk di sofa lain, menatapnya tajam dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Aku masih nggak habis pikir, Betran,” kata Veronica dingin, memecah keheningan. “Bagaimana bisa kamu gagal seperti ini? Kita kehilangan segalanya, dan kamu bahkan nggak tahu siapa yang menjatuhkan kita!” “Berhenti menyalahkan aku, Veronica,” jawab Betran dengan nada datar, tapi matanya menyimpan kemarahan. “Aku sudah bilang, aku sedang mencari tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi ini nggak mudah. Kita berhadapan dengan perusahaan terbesar di negeri ini. Perusahaan Chandra bukan lawan yang main-main.” “Omong kosong!” Veronica membalas dengan suara tinggi. “Kamu ini kepala keluarga, Betran! Kamu seharusnya punya kontrol atas situasi i
Hari itu, Aluna bangun lebih pagi dari biasanya. Udara dingin menusuk, tapi ia tetap menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga Betran seperti biasanya. Pikirannya tenang meski tubuhnya terasa lelah. Dua bulan terakhir, Betran, Veronica, dan Kania semakin sering melampiaskan frustrasi mereka padanya. Tapi Aluna sudah kebal. Baginya, ini hanya permainan waktu. “Aluna!” suara tajam Kania menggema dari arah ruang makan. “Kenapa kopiku belum datang juga?” Aluna buru-buru menuangkan kopi ke cangkir porselen, lalu membawanya ke meja makan dengan langkah tenang. “Maaf, Mom, ini kopinya.” Kania memandangnya dengan tatapan mencela. “Lama sekali! Kamu pikir aku punya waktu seharian untuk menunggu?” “Maaf, Mom,” jawab Aluna dengan nada rendah. Veronica yang duduk di sisi Kania menatap Aluna dari ujung kepala hingga kaki. “Lihat dirimu. Penampilanmu makin lusuh saja. Kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini, setidaknya berpenampilan layak.” Aluna hanya menunduk, men
Malam itu, rumah keluarga Betran terasa sedikit berbeda. Suara bel pintu yang nyaring memecah keheningan. Aluna yang sedang mencuci piring segera mengeringkan tangannya dan bergegas ke depan untuk membuka pintu. Seorang pria berpakaian rapi berdiri di sana dengan sebuah amplop elegan di tangannya. “Selamat malam. Ini ada undangan untuk keluarga Betran,” katanya sambil tersenyum sopan. Aluna mengangguk kecil dan mengambil undangan itu. “Terima kasih, Pak.” Setelah pria itu pergi, Aluna menutup pintu dan melangkah perlahan ke ruang tamu, di mana Kania dan Veronica sedang duduk. Betran baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan wajah kusut. “Apa itu?” tanya Veronica sambil menatap amplop di tangan Aluna. “Undangan. Tadi ada tamu yang mengantar,” jawab Aluna, menyerahkan amplop itu kepada Kania. Kania membuka amplop tersebut dengan ekspresi penasaran. Ia mengeluarkan kartu undangan berwarna hitam dengan aksen emas, tampak sangat mewah. Matanya membesar saat membaca isi undang
Ketika Veronica, Betran, dan Kania sudah berangkat lebih dulu, rumah terasa sepi. Aluna berdiri di depan cermin kamar kecilnya, memandang bayangannya. Malam ini adalah malam besar. Semuanya akan berubah. Ia menarik napas panjang, memastikan dirinya tetap tenang. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Kaisar muncul di layar. Ia segera menjawab. “Kamu sudah siap, sayang?” Suara Kaisar terdengar dalam dan lembut di seberang. “Sudah,” jawab Aluna singkat, tapi penuh keyakinan. “Bagus,” kata Kaisar. “Sebentar lagi mereka akan sampai. Jangan gugup. Malam ini adalah pembalasanmu. Semua yang sudah mereka lakukan padamu akan terbalas.” “Terima kasih, Kaisar. Tanpa kamu, aku mungkin masih terjebak di neraka itu,” balas Aluna, suaranya terdengar penuh emosi. “Lupakan itu. Malam ini kamu akan berdiri sebagai dirimu yang sebenarnya. Ingat, aku menunggumu di acara itu.” Aluna mengangguk, meskipun Kaisar tidak bisa melihatnya. “Aku akan segera ke sana.” Tak lama setelah telepon ditutup,
Esoknya, Siang itu, Aluna mengenakan setelan blazer putih yang mempertegas aura ketegasannya. Di sisi kirinya, Hansen berdiri tenang dengan berkas perceraian di tangannya, sementara beberapa bodyguard mengikuti di belakang mereka. Langkah Aluna mantap menuju apartemen sederhana tempat Betran dan Kania tinggal. Hansen mengetuk pintu apartemen dengan tegas, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah Kania yang tampak terkejut dan tidak siap menerima tamu tak diundang seperti ini. "Aluna?" Kania mengerutkan dahi, suaranya terdengar ragu. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Aku ingin ini selesai," jawab Aluna dengan nada dingin. Ia melirik Hansen, yang langsung menyerahkan berkas perceraian itu pada Kania. "Betran ada di dalam, kan? Aku butuh tanda tangannya sekarang." Kania mendengus sambil memegang berkas itu, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruangan kecil itu terasa sempit dengan kehadiran banyak orang, tapi Aluna tetap berdiri tegak, tatapannya tajam. Betran muncul dari balik pi
Seminggu kemudian, Suasana pesta syukuran kelahiran Baby Alva benar-benar meriah. Taman mansion yang luas dipenuhi dengan dekorasi mewah, lampu-lampu gantung kristal, dan meja-meja penuh hidangan yang menggugah selera. Para tamu berdatangan dari kalangan bisnis, keluarga besar Chandra, dan mitra-mitra penting dari Amartha Corporation. Aluna terlihat anggun mengenakan gaun putih panjang, senyum tipisnya menawan meski matanya menyiratkan kelelahan. "Selamat atas kelahiran putra Anda, Nona Aluna," salah satu tamu mengucapkan sambil menyalami Aluna. "Terima kasih," jawab Aluna ramah namun tetap tegas. Hansen, yang berdiri di dekatnya, mengatur jalannya acara dengan rapi. Namun, di tengah kemegahan itu, Betran berdiri di luar gerbang, menatap dari jauh. Pria itu tidak diundang, bahkan telah diinstruksikan untuk tidak diperbolehkan masuk ke wilayah mansion. "Kau yakin ingin mencoba masuk?" tanya seorang sopir taksi yang kebetulan melihat Betran menatap gerbang dengan ekspresi pahit
Leonel Alvano Chandra, atau yang biasa dipanggil Alva, menjadi pusat kebahagiaan sekaligus kekuatan baru bagi Aluna. Nama itu tidak dipilih sembarangan. Leonel berarti "singa kecil," melambangkan keberanian, kekuatan, dan ketangguhan. Sementara Alvano berarti "cahaya putih," simbol dari harapan baru yang bersinar terang dalam hidup Aluna. Dan Chandra, tentu saja, adalah warisan keluarganya, sebuah nama yang selalu akan membawa tanggung jawab besar di pundak putranya kelak. Sudah sebulan sejak Alva lahir, dan meski tubuh Aluna masih lelah usai melahirkan, pikirannya tetap sibuk. Kaisar, pria yang selalu menjadi pelindungnya, belum ditemukan. Setiap malam, Aluna merenung, bertanya-tanya apakah Kaisar masih hidup di luar sana. Namun, ia tidak bisa terus larut dalam kesedihan. Ia harus bangkit demi Alva. Di ruang kerja mansion, Aluna duduk di meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen dari Chandra Group dan Amartha Corporation. Hansen berdiri di dekatnya, wajahnya serius seperti biasa.
Mobil Aluna berhenti di depan gerbang mansion yang megah. Pagar besi besar itu perlahan terbuka dengan anggun, memberi jalan bagi mobil untuk masuk. Namun, pemandangan yang langsung menyebalkan hatinya adalah sosok Betran yang berdiri dengan wajah penuh tekad di depan pintu masuk. Pria itu tampak kusut, mengenakan pakaian yang lusuh, tetapi sorot matanya penuh keberanian. Aluna memutar matanya dengan kesal dan menghela napas berat. Hansen, yang duduk di kursi penumpang depan, menoleh ke arahnya. "Nona, perlu kami usir dia sekarang juga?" "Sebentar," jawab Aluna dingin. Ia turun dari mobil dengan hati-hati, melangkah keluar mengenakan mantel tebal yang menutupi tubuhnya yang masih lemah setelah operasi. Sorot matanya tajam menatap Betran, yang langsung mendekatinya."Aluna," suara Betran terdengar parau. Dia menahan tangan Aluna agar tidak berjalan melewatinya. "Kumohon, aku hanya ingin melihat anakku, Leonel Alvano Chandra. Hanya sekali saja."Aluna menatap tangan Betran yang berani
Aluna sedang duduk di tempat tidur rumah sakitnya, memandang bayi mungil di pelukannya dengan mata yang penuh kasih sayang. Bayi itu menggenggam jari Aluna dengan tangan kecilnya, seolah menjadi penghiburan di tengah badai yang ia hadapi. Aluna merasa hatinya sedikit tenang, meski pikirannya terus dihantui oleh kehilangan Kaisar.Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh ketukan keras di pintu. Hansen masuk dengan wajah tegang.“Nona, ada masalah,” katanya dengan nada serius. “Apa lagi sekarang, Hansen?” Aluna mengerutkan kening, merasa lelah dengan berbagai kekacauan yang terus muncul dalam hidupnya.“Betran ada di luar. Dia memaksa ingin bertemu dengan Anda dan bayi ini,” jawab Hansen.Mata Aluna langsung menajam. Ia menghela napas panjang, menatap bayinya sejenak sebelum menyerahkannya kepada perawat di dekatnya. “Jangan biarkan dia masuk. Pastikan dia tidak mendekati kami.”“Tapi, Nona, dia sangat ngotot. Bahkan, dia berteriak-teriak di depan penjagaan,” tambah Hansen, tampak b
Ruangan di mansion terasa sunyi. Aluna duduk di kursinya, memandangi jendela besar yang menghadap taman. Wajahnya terlihat lebih tirus, dan matanya yang biasanya tajam kini tampak kosong. Hampir sebulan berlalu sejak Kaisar menghilang, dan semua upaya pencariannya gagal. Bahkan dengan tim terbaik yang ia pekerjakan, Kaisar tetap tak ditemukan.Hansen masuk perlahan, membawa laporan terakhir dari tim pencari. Ia berhenti sejenak, ragu untuk menyampaikan kabar buruk itu. Namun, Aluna menyadarinya dan memandang ke arahnya. “Bicaralah, Hansen,” suara Aluna terdengar pelan tapi penuh tekanan. “Kami sudah memeriksa lagi semua kemungkinan, Nona. Bahkan sampai menyewa detektif internasional. Tapi...” Hansen menunduk. “Kami tidak menemukan apa pun. Seolah-olah... Tuan Kaisar hilang tanpa jejak.”Aluna menghela napas panjang. Kepalanya terasa berat, dan dadanya sesak. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. “Jadi itu artinya... dia benar-benar lenyap?” gumam Aluna dengan sua
Pagi yang dingin terasa lebih kelam dari biasanya bagi Aluna. Duduk di ruang tamu mansion dengan wajah pucat, tangannya memeluk erat perutnya yang membuncit, mencoba menenangkan bayi di dalam kandungannya yang tak henti menendang seolah ikut merasakan kegelisahannya. Hansen berdiri di depannya dengan ekspresi tegang, berusaha menyampaikan kabar buruk dengan hati-hati."Maaf, Nona," Hansen berbicara pelan, namun tegas. "Kami sudah memeriksa semua rekaman CCTV di rumah sakit, tapi... semuanya mati sejak pukul sepuluh malam."Aluna mendongak perlahan, wajahnya penuh rasa tidak percaya. "Bagaimana mungkin? Rumah sakit sebesar itu, dengan penjagaan ketat, bisa kehilangan rekaman CCTV begitu saja?""Sepertinya, ini bagian dari rencana pelaku. Mereka meretas sistem sebelum melakukan aksi mereka," Hansen menjelaskan.Aluna menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam kepanikan yang mulai menyerang. "Dan kalian belum menemukan jejak Kaisar? Tidak ada petunjuk sama sekali?"Hansen men
Malam itu udara dingin menusuk tulang, namun Betran tidak peduli. Ia berdiri di sudut gelap lorong rumah sakit, mengenakan seragam perawat lengkap dengan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Langkahnya tenang namun penuh rencana, matanya tajam mengawasi setiap pergerakan di sekitar ruang rawat Kaisar. Penjagaan memang ketat, tetapi Betran sudah mempersiapkan segalanya.“Shift malam lebih tenang,” gumamnya pada dirinya sendiri sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 malam. Dua bodyguard berdiri di depan pintu ruang rawat, tampak sigap meskipun suasana sepi. Betran mengatur napas, membawa sebuah tandu dan selembar dokumen medis palsu di tangannya. Langkahnya semakin mendekat.“Permisi,” ucap Betran dengan suara yang dibuat serak agar terdengar seperti suara pria paruh baya. “Pasien ini mengalami penurunan kondisi drastis. Dokter memerintahkan agar segera dipindahkan ke ICU.”Salah satu bodyguard, pria bertubuh kekar dengan sorot mata curiga, langsung menatap Betra
Pagi itu, Aluna sedang duduk di ruang tamu mansionnya, ditemani segelas teh herbal hangat dan dokumen-dokumen yang harus ia periksa. Tubuhnya yang sedang hamil besar membuatnya merasa lebih lambat dan mudah lelah, namun ia tetap berusaha menjalankan tanggung jawabnya. Hansen berdiri tak jauh dari sana, bersikap sigap seperti biasanya. Ketukan pintu tiba-tiba memecah kesunyian pagi itu.Seorang perwira polisi masuk dengan hormat setelah dipersilakan oleh Hansen. “Nona Aluna,” katanya dengan nada tegas namun penuh penyesalan, “kami harus melaporkan perkembangan terbaru terkait kasus penyekapan Tuan Kaisar.”Aluna menatapnya dengan sorot mata tajam namun lelah. “Apa yang Anda temukan?” tanyanya langsung, suaranya datar namun tegas.“Sayangnya, pelaku berhasil melarikan diri,” kata sang perwira dengan nada ragu. “Jejak mereka hilang di sebuah wilayah terpencil, dan kami kesulitan menemukan bukti atau saksi yang bisa membantu kami melacak keberadaan mereka.”Aluna menghela napas panjang, m