Masih dihari yang sama, di sebuah mall besar di kota itu. Seorang wanita berambut pirang dengan pakaian sexy, nampak sibuk memilih-milih baju di salah satu outlet pakaian wanita dengan merk ternama. "Ini kayanya bagus, deh," gumam wanita itu sambil menempelkan sebuah dress berwarna merah maroon yang panjangnya tidak sampai menutup lututnya di tubuhnya yang sintal. Senyumnya kembali merekah, ketika matanya kembali melihat dress lain dengan model yang terbaru. "Kayanya yang itu juga bagus." Wanita itu berjalan mendekati dress lain yang ada di gantungan. Sorot matanya semakin berbinar, ketika jarinya yang lentik menyentuh kain dress itu. "Wow!" lirihnya takjub. "Aku harus beli ini juga. Ini nggak boleh ketinggalan, harus beli!" Wanita itu terus bergumam sendiri. Hingga akhirnya, ia membawa dua dress pilihannya itu ke bagian kasir untuk membayar."Totalnya lima juta lima ratus ribu rupiah, Mbak," kata kasir sambil memasukkan dress pilihan wanita berambut pirang itu ke dalam paper bag.
Rendi tersenyum miring melihat itu. Dalam hati ia bersorak. Ternyata tidak sia-sia dia meminta Pak Doni menyelidiki lebih detail tentang keluarga wanita bernama Tania Arcelia itu.Dengan gerak cepat Tania memutar tubuhnya, hingga rambutnya yang pirang itu sedikit berkibar. "Apa maksudmu?" sorot mata Tania semakin tajam menyoroti wajah Rendi yang tampak datar-datar saja."Silakan Mbak duduk dulu, nanti saya jelaskan lebih jelas lagi." Perintah Rendi.Tania kembali menghentakkan kakinya, dan menyeret kursi dengan kasar. "Cepat katakan apa maumu?" Tania menghenyakkan tubuhnya sedikit keras.Aura dingin Rendi membuat Tania sedikit gentar saat menatap laki-laki itu lebih lama. Tania segera memalingkan mukanya untuk menutupi rasa gugupnya."Jadi … Maira–istri saya, saat ini sedang terlibat masalah dengan mantan suaminya." Rendi menjeda ucapannya untuk melihat perubahan mimik muka Tania. Benar saja, wanita berambut pirang itu segera menautkan pandangannya padanya. "Lalu, apa urusannya sama
Maira menoleh cepat dan memasang wajah waspada. Ia terus bergerak menggeser tubuhnya untuk menghindari Alfin. Dalam hatinya ia terus berdoa meminta pertolongan Tuhan. Air mata sudah mengajak sungai di pipinya. "Ayo lah, Mai. Nggak usah munafik! Aku tahu kamu juga masih ada rasa sama aku. Mumpung kita cuma berdua di sini, mari kita bersenang-senang dulu, Sayang. Suami bodohmu itu tidak akan tahu. Kamu tenang aja." Alfin terus mendekat, dan Maira terus menggeser tubuhnya mengikuti alur dinding apartemen itu.Maira terus menggeleng, dan berkata, "tutup mulut busukmu itu! Jangan pernah mengatai suamiku bodoh! Kamu bahkan tidak ada yang lebih baik darinya, Alfin!" Raut wajah Alfin berubah datar dengan tatapan tajam yang terus menyoroti Maira. Kata-kata yang baru saja diucapkan Maira sangat menyakiti perasaannya. Dia seperti sudah tidak ada artinya di mata perempuan itu. Alfin terus melangkahkan kakinya mendekati perempuan yang tampak menyedihkan itu. "Berhenti Alfin! Berhenti!" Maira s
"Kemana aku harus mencarimu, Mai?" gumam Rendi. Guratan wajah lelah tercetak jelas di wajahnya yang tampak sedikit pucat sore itu. Prediksi soal demamnya akan turun ternyata salah. Demamnya tidak benar-benar turun, hingga ia merasa tenaganya benar-benar terkuras kali itu. Belum lagi pikiran-pikiran berat yang harus ia pikirkan dalam sekali waktu. Benar-benar menguras energi dan pikirannya.Rendi menepikan mobilnya saat merasa kondisi tubuhnya semakin tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Kebetulan ia berhenti di sebuah pelataran minimarket. Rasa haus dan panas di tubuhnya membuat ia bergerak keluar dari mobil menuju minimarket. Rendi berjalan di antara rak-rak makanan ringan dan beraneka merek minuman. Tidak ada yang menarik perhatiannya sama sekali, padahal sejak pagi ia hanya makan bubur yang disuapi oleh istrinya. Lelaki berkemeja navy itu terus berjalan hingga sampai di ujung lorong. Tepat di samping kirinya terdapat showcase yang memajang beraneka minuman dingin dar
Tidak sampai lima belas menit, sebuah mobil mewah hitam mengkilat terlihat melaju dari arah belakang Rendi. Rendi menyipitkan matanya, dari kaca spion ia mengintip ke arah belakang. Hatinya sedikit lega melihat mobil Pak Doni sudah berhenti di belakang mobilnya. Detik berikutnya ia segera turun untuk menghampiri Pak Doni. "Pak." Rendi bergerak menyalami Pak doni dan dua orang pria bertubuh tinggi tegap. Rendi berpikir, mungkin mereka adalah polisi yang dimaksud oleh Pak Doni. Dua orang pria asing itu memakai kaos biasa dengan celana jins biasa, jika hanya sekilas melihat, mungkin tidak akan ada yang menyadari bahwa mereka adalah anggota kepolisian. Pak Doni mengernyit dengan tatapan lurus ke arah Rendi. "Dokter Rendi, sakit?" Rendi memaksakan sudut bibirnya untuk terangkat. "Ah, nggak, Pak. Ini … cuma sedikit kelelahan saja." Kata Rendi sambil mengusap peluh di dahinya. Walaupun Pak Doni kurang puas dengan pernyataan Rendi, pria itu tidak bisa banyak menyangkal. Sebab tugas yan
"Tutup mulutmu, Sa!" Suara bentakan Rendi menggelegar di ruang itu. Salsa berjingkat kaget dan mundur beberapa langkah. Kilatan amarah terpancar jelas pada sorot mata kakak keponakannya. Sebelum ini, Salsa tidak pernah melihat perangai kakaknya seseram itu. Tanpa sadar, Salsa sudah bergidik ngeri. Ternyata benar yang dikatakan orang-orang. Marahnya orang sabar sangat menakutkan. Salsa mengerling pada tiga orang pria lainnya yang tetap berdiri tenang di sebelah tangga. Bahkan, mereka bertiga tidak ada yang berusaha mencegah Rendi berbicara kasar padanya."Katakan dimana anak dan istriku! Di mana lelaki brengsek itu?" kata Rendi setelah lebih tenang. "Aku tidak tahu!" Rendi membalikkan tubuhnya menghadap tiga orang pria yang masih menunggunya memberikan instruksi. "Pak Doni, tolong periksa seluruh ruangan di rumah ini! Saya yakin, anak saya disembunyikan di sini!" "Mas! Kamu nggak bisa asal merintah seperti itu! Ini bukan rumahmu, nggak sopan! Berhenti! Semuanya berhenti!" seru Sal
"Makan dulu, Mai! Ayo buka mulutmu!" titah Alfin dengan menahan perasaan jengkel sebab wanita itu terus bungkam. Hanya air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Apa sih, maumu? Aku udah jaga sikapku untuk tidak semakin menyakitimu, aku udah usaha membuat kamu nyaman sama aku! Apa semua ini masih kurang menjadi bukti kalau aku masih mencintaimu?" tanya Alfin sambil meletakkan piring dengan kasar di meja hingga menimbulkan bunyi benda beradu yang cukup keras.Alfin berkacak pinggang di depan Maira. Menatap lurus pada Maira yang justru membuang pandangannya ke arah lain. "Hei, lihat aku!" Alfin mengangkat dagu Maira hingga tatapan mereka bersirobok. "Bilang sama aku, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau kembali padaku?" Kata-kata yang diucapkan Alfin, memang terdengar manis untuk sebagian perempuan. Namun bagi Maira saat itu, ucapan manis Alfin tersebut tak ubahnya seperti belati yang menyayat-nyayat tubuhnya. Sakit dan perih!"Bicara, Mai! Jangan diam aja!" Alfin menekan
"Mas Rendi!" "Tolong!""Tolong!"Maira langsung berteriak panik, saat ia mencoba membalik tubuh suaminya, mata lelaki itu telah terpejam rapat dengan wajah memucat. "Mas! Bangun Mas! Mas Rendi!" Maira terus mencoba menepuk-nepuk pipi yang sudah pucat itu dengan tangan gemetaran. Tidak lama setelah itu, terlihat Salsa masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Gadis itu sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya mendekat."Hei! Kamu apakan Mas Rendi? Kenapa bisa jadi begini?" sentak Salsa, ketika melihat Maira menangis di samping tubuh Rendi yang tidak sadarkan diri."Tolong bantu aku angkat tubuh Mas Rendi, Mbak," karena panik Maira langsung menarik tangan Salsa begitu saja. Salsa mendelik melihat tangan Maira menarik tangannya tanpa rasa sungkan. Bahkan perempuan itu tidak menjawab pertanyaan darinya.Meskipun ia sangat membenci Maira. Namun Salsa tidak bisa mengabaikan kakaknya begitu saja. Gadis itu menurut, dan membantu memegangi tubuh Rendi. Saat mereka tengah mencoba mengangkat tubuh
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter