"Makan dulu, Mai! Ayo buka mulutmu!" titah Alfin dengan menahan perasaan jengkel sebab wanita itu terus bungkam. Hanya air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Apa sih, maumu? Aku udah jaga sikapku untuk tidak semakin menyakitimu, aku udah usaha membuat kamu nyaman sama aku! Apa semua ini masih kurang menjadi bukti kalau aku masih mencintaimu?" tanya Alfin sambil meletakkan piring dengan kasar di meja hingga menimbulkan bunyi benda beradu yang cukup keras.Alfin berkacak pinggang di depan Maira. Menatap lurus pada Maira yang justru membuang pandangannya ke arah lain. "Hei, lihat aku!" Alfin mengangkat dagu Maira hingga tatapan mereka bersirobok. "Bilang sama aku, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau kembali padaku?" Kata-kata yang diucapkan Alfin, memang terdengar manis untuk sebagian perempuan. Namun bagi Maira saat itu, ucapan manis Alfin tersebut tak ubahnya seperti belati yang menyayat-nyayat tubuhnya. Sakit dan perih!"Bicara, Mai! Jangan diam aja!" Alfin menekan
"Mas Rendi!" "Tolong!""Tolong!"Maira langsung berteriak panik, saat ia mencoba membalik tubuh suaminya, mata lelaki itu telah terpejam rapat dengan wajah memucat. "Mas! Bangun Mas! Mas Rendi!" Maira terus mencoba menepuk-nepuk pipi yang sudah pucat itu dengan tangan gemetaran. Tidak lama setelah itu, terlihat Salsa masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Gadis itu sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya mendekat."Hei! Kamu apakan Mas Rendi? Kenapa bisa jadi begini?" sentak Salsa, ketika melihat Maira menangis di samping tubuh Rendi yang tidak sadarkan diri."Tolong bantu aku angkat tubuh Mas Rendi, Mbak," karena panik Maira langsung menarik tangan Salsa begitu saja. Salsa mendelik melihat tangan Maira menarik tangannya tanpa rasa sungkan. Bahkan perempuan itu tidak menjawab pertanyaan darinya.Meskipun ia sangat membenci Maira. Namun Salsa tidak bisa mengabaikan kakaknya begitu saja. Gadis itu menurut, dan membantu memegangi tubuh Rendi. Saat mereka tengah mencoba mengangkat tubuh
Rendi mengernyit sebentar kemudian kembali menyimpan ponselnya, dan membalas tatapan mamanya. "Bicara apa, Ma?" balas rendi. Sempat Rendi melihat ada keraguan yang tercetak di wajah mamanya."Mama mau bicara apa? Maira nggak boleh tahu, ya?" tebak Rendi saat mendapati beberapa kali mamanya mengerling pintu toilet yang tertutup.Bu Rani berdehem pelan, menarik kursi kemudian duduk di samping ranjang. Kali itu Rendi sudah duduk tegak di atas ranjang pasien."Ren, kamu serius mau mengeluarkan dana sebesar itu untuk orang yang bahkan kamu tidak mengenalnya dengan baik?" Bu Rani menatap Rendi dengan sorot mata menuntut penjelasan.Rendi yang langsung paham kemana arah pembicaraan sang mama langsung menimpali, "Rendi serius, Ma. Apa Mama keberatan?" Rendi menatap manik hitam sang mama dengan perasaan kurang enak. Ia telah menggunakan uang tabungannya yang tidak bisa dikatakan sedikit, untuk membayar Tania agar wanita itu bersedia menjadi saksi mata atas perbuatan jahat Alfin terhadap Maira
Sementara itu, di lain tempat. Alfin terus berusaha mendebat polisi yang tengah mengintrogasi dirinya. Alfin bersikukuh tidak mengakui kesalahannya. Ia justru menyebut-nyebut nama Tania sebagai dalang di balik peristiwa yang membuatnya harus menceraikan Maira beberapa waktu yang lalu."Saya tidak salah, Pak. Saya juga korban. Ini semua rencana Tania. Seharusnya Bapak juga menangkap dia!" seru Alfin berapi-api. Hari sudah semakin beranjak malam, dan dia belum juga berhasil meloloskan diri dari polisi-polisi itu.Alfin semakin kesal, saat ia mengharapkan Papa dan Mamanya akan segera menyusulnya ke kantor polisi ternyata hanyalah harapan belaka. Harapan itu juga sepertinya harus ia kubur dalam-dalam.Dari sore, semenjak ia digelandang paksa ke kantor polisi hingga menjelang malam, Papa dan Mamanya tak juga menunjukkan batang hidungnya barang sedetik saja. Alfin merasa kedua orang tuanya sudah melupakannya. Mustahil rasanya orang seperti Papanya tidak mendengar kasus yang tengah menimpany
Kumandang azan subuh mulai terdengar. Rendi yang terbiasa bangun pagi menggeliat pelan, kemudian meringis ketika merasakan tangannya sedikit kram. Meski begitu, dia tidak berniat untuk menarik lengannya. Karena di sana, Maira tengah meletakkan kepalanya. Perempuan itu berbaring miring memeluk tubuhnya dengan posesif. Sebelah tangan Maira yang berada di atas perutnya menimbulkan sensasi geli bagi Rendi. Rendi menarik napas, dan tersenyum memandangi wajah teduh sang istri. Bayang-bayang percintaan mereka tadi malam kembali terlintas dalam benak. Pelan-pelan Rendi menggeser tubuhnya sedikit miring, lalu mengusap-usap pipi istrinya ketika suara azan telah berhenti. Ia berniat untuk melaksanakan ibadah bersama pagi itu. "Sayang, bangun, yuk … udah subuh," bisik Rendi sambil mengecup pelan pipi Maira.Perempuan itu menggeliat pelan sebelum membuka matanya. "Mas udah bangun?" Selesai mengucapkan itu Maira kembali merekatkan pelukannya pada tubuh sang suami.Rendi sedikit terkejut dengan
"Aku nggak ngerti dengan yang Mas maksud 'Sesuatu'." Maira menyipitkan matanya, dari sorot matanya Rendi sangat paham dengan maksud Maira, perempuan itu tengah menuntut penjelasan lebih detail darinya. Rendi menghela napasnya kemudian sedikit menarik tangan Maira, "sini lebih dekat sama, Mas," titahnya sambil merubah posisi duduknya. Meski terlihat ragu, Maira mendekat juga. Bahkan ia tidak menolak saat Rendi berusaha memangku tubuhnya. Jadilah kini Maira duduk di pangkuan Rendi tanpa melepas mukenanya. "Jadi begini, Tania … tidak mau kalau menjadi saksi secara cuma-cuma. Apalagi resiko yang akan dia ambil cukup besar, karena dia salah satu orang yang menginginkan kamu celaka." Rendi menjeda kalimatnya, dan menunduk sebentar.Sedikit banyak Maira mulai paham duduk permasalahannya. Namun begitu, masih banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya. Maka dia terus menuntut penjelasan dari suaminya. "Lalu bagaimana dia bisa mau menjadi saksi, Mas? Bukannya dengan dia menjadi saks
Rendi segera mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya, saat mobil benar-benar sudah berhenti. Sempat ia mendengar suara Maira yang mengagumi tempat itu. "Wah, indah sekali, Mas!" Rendi tersenyum senang mendengar itu. Ia kemudian menoleh pada istrinya dan mendapati perubahan pada raut wajah perempuan itu. Rendi melihat ke sekitar dan ia menemukan seseorang tengah berdiri tidak jauh dari tempat mobil mereka parkir. Rendi yakin, orang itulah yang menyebabkan perubahan ekspresi wajah Maira.Rendi cepat-cepat membuka pintu mobil dan keluar. Sedikit berlari untuk memutari badan mobil dan membukakan pintu untuk istrinya. "Ayo, sepertinya kita sudah ditunggu." Rendi menahan pintu mobil sampai Maira keluar, raut wajah perempuan itu tetap kaku. Rendi segera menutup kembali pintu mobil dan memberikan lengannya untuk digamit Maira. Perempuan itu menurut dan meraih lengannya."Santai aja. Mas, nggak akan biarin siapapun untuk mengusikmu," kata Rendi sambil terus berjalan penuh percaya diri ke
Beberapa orang yang mendengar suara Tania menoleh ke arah mereka dengan berbagai macam tatapan. Ada yang menatap dengan rasa penasaran, ada pula yang menatap dengan sorot mata menghakimi."Dasar manusia nggak punya hati! Siapa yang salah, siapa yang disalahkan?" cibir Maira memutar bola matanya. "Kamu!" Tania mendelik seketika itu, jari telunjuknya langsung menunjuk-nunjuk wajah Maira. Suasana mendadak memanas. Tania semakin tidak terima. Maira yang dulu ia kenal sebagai wanita lemah, yang selalu berada di bawah tekanannya, kini seolah perempuan bermata bulat itu bangkit untuk membalasnya. "Beraninya kamu mengataiku nggak punya hati!" Gigi Tania gemeretak karena geram."Sudah! Mbak bisa diam, nggak?" tanya Rendi masih berusaha bersikap baik di depan wanita berambut pirang itu. Sementara Maira terlihat duduk tenang sambil menyilangkan tangan di depan dada. Sudah cukup baginya untuk mengalah pada wanita berambut pirang itu. Kini sudah saatnya ia bangkit melawan. Apalagi, kini di sampin
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter