Abbas mendorong tubuhku masuk ke dalam lift saat pintunya mulai bergerak hendak menutup. Aku yang tidak menyangka akan perbuatannya terhuyung dan menabrak Husniah yang berdiri tepat menghadap pintu. Jika tidak segera kutangkap dan menariknya dalam pelukanku, mungkin tubuh mungil itu sudah menghantam dinding lift. Dasar Abbas tak punya adab, hampir kumaki pria itu. Bertahun-tahun menjadi suaminya, tidak pernah sekalipun aku bisa memeluknya seperti ini. Dari tubuhnya tercium aroma parfum manis seperti permen karet, membuatku ingin menelannya bulat-bulat. Untuk beberapa saat, aku merasa hanya ada diriku dan dirinya di tempat ini. "Pak Han, anda sepertinya menikmati sekali memeluk gadis muda, ya," sindiran dari Wisnu langsung menyadarkanku. Husniah yang tadi kurasakan memelukku dengan erat langsung mendorong tubuhku. Mungkin bukan memeluk, tapi mencari pegangan. "Maaf, Pak. Saya juga sudah kelaparan, jadi tidak bisa menunggu lagi lift berikutnya. Dan terburu-buru masuk ke dalam lift b
Husniah menarik tangan Wisnu menjauhiku, gadis itu pergi dengan pria tersebut tanpa jadi melakukan Sholat Zuhur. Wanita yang masih berstatus istriku itu memegang pergelangan tangan Wisnu dan mereka berjalan bersama. Hatiku sakit melihatnya. Husniah lebih peduli pada Wisnu dibanding aku, suaminya. Apa seperti ini rasanya saat aku dulu lebih peduli pada Lita dibanding dia. Baru melihatnya memegang tangan pria lain saja hatiku sudah terbakar, bagaimana dia yang saat itu melihatku berciuman panas dengan wanita lain tepat di hadapannya. Apa Husniah tidak pernah mencintaiku, tidak pernah punya rasa padaku sehingga dia seakan-akan baik-baik saja. "Gadis itu tidak pernah dekat dengan pria manapun, tidak neko-neko. Mungkin sekarang belum bisa merawat diri, dia sibuk mengurus Bundanya yang sakit. Kamu beruntung bisa menikah dengannya Han, dia adalah gadis yang penyayang dan perhatian." Perkataan Ibu terngiang di telingaku. Andai aku bisa jadi cinta pertamanya, mungkin aku akan bahagia. Tapi
"Beri waktu aku satu bulan, setelah itu jika Nia tidak bisa aku taklukkan maka akan kurelakan dia untukmu." Pria itu tersenyum sinis, seakan mengejekku, atau dia yakin kalau aku memang tidak akan pernah bisa mendapatkan hati gadis itu. "Selama itu, jangan ganggu kami. Biarkan dia tetap fokus denganku," imbuhku lagi. "Tiga tahun bersamanya, tapi dia bisa meninggalkanmu. Bagaimana hanya dengan satu bulan, anda terlalu percaya diri Pak Han."Biarlah, aku percaya diri kali ini. Lagipula, aku tidak mau terus membelenggu Hunsiah. Jika memang dia tidak bisa bersamaku, maka aku akan melepasnya. Jika Wisnu memang mencintainya dan gadis itu nyaman dengannya maka aku akan merelakannya. Tapi setidaknya, aku ingin berusaha selama satu bulan, agar tidak terjadi penyesalan."Kamu akan tetap kehilangan jika Nia memilihmu. Kamu harus resign dari kantor kami, atau kamu akan menyuruh Husniah mengorbankan karir yang baru saja dibangunnya? Seperti kebanyakan para pria, meminta istrinya di rumah saja ..
POV Husniah"Husniah, bulan depan kamu harus pindah ke kantor pusat. Salah satu karyawannya ada yang resign dan saya rasa kamu cocok mengantikannya. Kinerja kamu bagus dan kantor pusat butuh cepat penggantinya."Siang itu, Pak Dion bagian Human Resource Development memintaku datang ke ruangannya dan mengatakan hal tersebut. Aku tahu, kantor pusat ada di kota yang sama dengan kota di mana Mas Hanan berada. Sejujurnya aku khawatir bertemu dengannya, membayangkan tidak sengaja bertemu dengan pria itu saat dia berduaan dengan Mbak Lita. Mereka sudah menikah dan bahagia, itu yang ada dalam pikiranku. Waktu enam bulan sudah cukup lama untuk mereka segara mengesahkan hubungannya. Untuk sesaat aku memang mengharapkan hubungan kami akan membaik, namun saat Mbak Lita menyuruhku pergi, harapanku terasa sirna. Aku berusaha merelakan, toh sejak awal memang sudah kujanjikan kepergianku pada Mas Hanan. Kupikir, aku punya waktu satu bulan untuk memantapkan diri, nyatanya baru satu minggu sejak Pak
Suasana romantis sangat terasa di restoran ini. Mas Hanan mengajakku makan malam di luar saat pulang dari kantor. Tadi pagi Ibu sudah pulang, dan hari ini pria itu mengajakku keluar rumah. "Mas Hanan nyium Mbak Lita di tempat ini?" Pertanyaan konyol muncul dari mulutku yang sudah selesai mengunyah. "Maafkan aku, Nia. Aku memang lelaki yang bodoh dan tidak pandai bersyukur saat itu. Tapi aku sedang berusaha memperbaiki semuanya," sahut Mas Hanan tanpa berusaha menyangkal perkataanku. "Aku sangat berharap kamu bisa memberiku kesempatan. Seperti yang pernah aku katakan, aku memang sudah jauh berhubungan dengan wanita itu, tapi aku tidak pernah melakukan hal yang lebih jauh lagi. Haruskah kukatakan apa saja yang sudah aku lakukan dengannya agar kamu ....""Tidak perlu!" Potongku cepat.Enak saja mau cerita tentang segala hal yang dia lakukan dengan wanita itu."Aku tidak suka bunga yang sudah dipetik, gampang layu dan mati," ucapku mengalihkan pembicaraan. Tanganku mengusap buket mawa
POV Hanan Husniah terlihat kelelahan hari ini. Emang gak kira-kira bos tiba-tiba meminta untuk membuat laporan keuangan terbaru. Entah untuk apa. Suka-suka mereka memberi pekerjaan pada bawahan. Matanya terpejam hampir sepanjang jalan, bahkan saat di dalam lift dia seperti sudah tertidur. Jalannya terhuyung seperti orang mabuk, apa se-ngantuk itu dirinya. Saat sampai rumah pun, dia enggan turun dari mobil. Memilih merebahkan tubuhnya di jok mobil. Sedikit menyebalkan tapi lebih banyak mengemaskan. Kalau dulu mungkin akan aku tinggalin, tapi kalau sekarang malah menjadi kesempatan bagiku untuk bisa mendekap tubuhnya. "Tiduri dia!" Ide mesum Abbas terlintas begitu saja di otakku saat dengan mudahnya aku bisa membuka kain penutup kepalanya. Namun saat tanganku hendak membuka kancing atasannya, dengan cekatan tangan itu mencegahnya. Ah, dia memang tidak rela aku melakukan itu padanya. ***Aku sudah selesai melakukan salat subuh, setidaknya aku harus mengemis kasih pada Sang Pencip
"Mas, kamu udah dengar selentingan di kantor?" Husniah bertanya saat kami berada di mobil, pulang kerja. Akhirnya ... Dia buka suara juga setelah mengabaikanku sejak kemarin. "Yang mana?" Aku bertanya, pura-pura tidak mengerti. "Pasangan suami-istri yang merahasiakan pernikahan.""Sudah, abaikan saja." Aku memang belum mengatakan sudah mengajukan surat pengunduran diri padanya."Tapi, Mas ...." "Gak usah terlalu dipikirkan, kamu fokus saja bekerja. Itu kan impianmu sejak dulu, bekerja di kantor setelah lulus kuliah." Kupotong perkataannya.Husniah diam tidak menyangkal lagi, mobil berhati di lampu merah. Seorang gadis kecil tampak menawarkan bunga mawar yang dijual per batang pada setiap mobil yang berhenti. Tumben ada yang jualan bunga, hari apa ini? Valentine? Kuturunkan kaca jendela saat gadis kecil itu mengetuknya. Wajah polos itu terlihat kelelahan. "Bunga Om," ucapnya menawarkan. Kuulurkan satu lembar uang kertas berwarna merah padanya. "Semuanya, Om?""Iya.""Tapi bung
Sudah dua bulan lamanya aku jadi pengangguran di rumah. Mencari pekerjaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi lowongan yang didapat hanya bermodalkan iklan di internet bukan atas rekomendasi orang. Banyak yang benar, tapi ada juga yang hanya tipuan. Saat datang bukannya diinterview kerja tapi diprospek oleh team jaringan penjualan berjenjang. Kadang kala benar-benar penipuan, biasanya targetnya orang-orang yang baru terjun mencari kerja. Selama menunggu panggilan dari lamaran yang mungkin saja nyangkut di sebuah perusahaan, kusibukkan diri mengurusi tanaman. Sejak dulu aku memang suka berkebun, makanya di atas rumah sengaja kubuat tempat yang cukup lega. Bahkan di bagian teras, di samping carport juga ada taman tempat menyimpan tanaman. Hanya saja sudah lama tak kugunakan dan urus. Bunga-bunga mawar itu mulai aku perbanyak, bahkan ada yang sengaja kustek dengan jenis mawar yang lain. Tumbuhan yang berbunga banyak sengaja aku pindahkan ke taman yang ada di depan
Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg
Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel
Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat
Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,
Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil
Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak
Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi
Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal
Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak