Tawa Abbas bergema saat mendengar jawaban dari Husniah. Semua orang tahu dengan sifat Abbas, jadi mereka abai jika pria itu melakukan apapun. Dia hanya sering bercanda dan berbicara sesuka hati, tapi bukan sok-sokan atau menghina karyawan lain.Apa yang lucu dari perkataan Husniah, kenapa dia tertawa sekeras itu. Apa dia tidak percaya Husniah sudah menikah? Bagaimana reaksinya saat tahu kalau aku suaminya."Kamu masih terlalu muda untuk menjadi seorang istri. Bukankah usiamu baru menjelang dua puluh empat tahun. Rata-rata wanita karir belum menikah di usia itu, lihat saja itu si Lita udah dua puluh sembilan tahun masih belum menikah juga.Kenapa Abbas malah membanding-bandingkan Lita dengan Husniah, sih."Saya menikah saat masih unyu-unyu dan bulukan, Pak," jawab Husniah."Unyu-unyu dan bulukan." Abbas membeo ucapan Husniah. "Iya saya menikah saat berusia sembilan belas tahun, baru menjelang dua puluh tahun jawab Husni Yang sejujurnya."Lalu dimana suamimu, kok aku tidak pernah melih
"Diam-diam kamu menghanyutkan juga, ya Han. Apa kalian ...." "Berpikirlah sesukamu," potongku cepat. Fokusku pada Abbas langsung teralihkan saat merasakan getaran di ponselku. Segera kuambil benda itu dan melihat siapa yang menghubungi. Pesan dari Husniah, gadis itu ke kamar mandi membawa telepon genggam. ~Kira-kira apa yang dipikirkan Pak Abbas ya, saat melihat kita berpegang tangan tadi. Pasti dia menganggapku wanita murahan ~~Tak akan kubiarkan itu terjadi, dia bukan tipe pria yang gampang melabeli orang lain~ Kuketik cepat pesan balasan dan kukirm padanya. ~Memangnya, apa yang akan kau lakukan, Mas?~~Akan aku katakan yang sebenarnya padanya, dia akan mengerti dan membantu kita tetap menyembunyikan hal ini. Abbas itu baik, hanya tampilannya saja yang seperti itu, tapi hatinya baik.~Kukirim pesan panjang lebar pada Husniah. ~Sejak kapan kamu bisa menilai hati orang, bukannya kamu biasa melihat orang dari tampilan luarnya~Jlebb! Kata-katanya selalu menusuk jantungku. ~Sej
"Hai gadis pintar, gimana kejutanku," tanya Wisnu.Sengaja kupelankan langkah agar tidak segera keluar dari ruangan ini. Kami baru saja berkumpul di ruang meeting dalam rangka wakil direktur memperkenalkan diri. "Jadi semua ini kerjaan Kak Wisnu, perusahaan di luar kota yang katanya sedang cari pegawai itu akal-akalan Kakak juga?" Tanya Husniah. Jadi Wisnu juga yang merekomendasikan pekerjaan ini pada Husniah tanpa sepengetahuan gadis itu. "Iya, keren kan aku," jawab Wisnu. "Kok Kakak gak bilang-bilang.""Kamu gak nanya, lagipula apa kamu mau kalau tahu akan hal itu. Padahal waktu itu kamu perlu segera pekerjaan bukan?" Ck terdengar Husniah berdecak. "Pak Hanan, apa masih ada yang mau dibicarakan? Kalau tidak ada tolong segera tutup pintunya," seru Wisnu padaku. Aku memang sudah di depan pintu, sudah membukanya tapi dengan begonya masih berdiri di sini mencoba mencuri dengar obrolan Husniah dan Wisnu. Ada rasa tak rela saat meninggalkan istriku berdua saja dengannya. Jika diba
Abbas mendorong tubuhku masuk ke dalam lift saat pintunya mulai bergerak hendak menutup. Aku yang tidak menyangka akan perbuatannya terhuyung dan menabrak Husniah yang berdiri tepat menghadap pintu. Jika tidak segera kutangkap dan menariknya dalam pelukanku, mungkin tubuh mungil itu sudah menghantam dinding lift. Dasar Abbas tak punya adab, hampir kumaki pria itu. Bertahun-tahun menjadi suaminya, tidak pernah sekalipun aku bisa memeluknya seperti ini. Dari tubuhnya tercium aroma parfum manis seperti permen karet, membuatku ingin menelannya bulat-bulat. Untuk beberapa saat, aku merasa hanya ada diriku dan dirinya di tempat ini. "Pak Han, anda sepertinya menikmati sekali memeluk gadis muda, ya," sindiran dari Wisnu langsung menyadarkanku. Husniah yang tadi kurasakan memelukku dengan erat langsung mendorong tubuhku. Mungkin bukan memeluk, tapi mencari pegangan. "Maaf, Pak. Saya juga sudah kelaparan, jadi tidak bisa menunggu lagi lift berikutnya. Dan terburu-buru masuk ke dalam lift b
Husniah menarik tangan Wisnu menjauhiku, gadis itu pergi dengan pria tersebut tanpa jadi melakukan Sholat Zuhur. Wanita yang masih berstatus istriku itu memegang pergelangan tangan Wisnu dan mereka berjalan bersama. Hatiku sakit melihatnya. Husniah lebih peduli pada Wisnu dibanding aku, suaminya. Apa seperti ini rasanya saat aku dulu lebih peduli pada Lita dibanding dia. Baru melihatnya memegang tangan pria lain saja hatiku sudah terbakar, bagaimana dia yang saat itu melihatku berciuman panas dengan wanita lain tepat di hadapannya. Apa Husniah tidak pernah mencintaiku, tidak pernah punya rasa padaku sehingga dia seakan-akan baik-baik saja. "Gadis itu tidak pernah dekat dengan pria manapun, tidak neko-neko. Mungkin sekarang belum bisa merawat diri, dia sibuk mengurus Bundanya yang sakit. Kamu beruntung bisa menikah dengannya Han, dia adalah gadis yang penyayang dan perhatian." Perkataan Ibu terngiang di telingaku. Andai aku bisa jadi cinta pertamanya, mungkin aku akan bahagia. Tapi
"Beri waktu aku satu bulan, setelah itu jika Nia tidak bisa aku taklukkan maka akan kurelakan dia untukmu." Pria itu tersenyum sinis, seakan mengejekku, atau dia yakin kalau aku memang tidak akan pernah bisa mendapatkan hati gadis itu. "Selama itu, jangan ganggu kami. Biarkan dia tetap fokus denganku," imbuhku lagi. "Tiga tahun bersamanya, tapi dia bisa meninggalkanmu. Bagaimana hanya dengan satu bulan, anda terlalu percaya diri Pak Han."Biarlah, aku percaya diri kali ini. Lagipula, aku tidak mau terus membelenggu Hunsiah. Jika memang dia tidak bisa bersamaku, maka aku akan melepasnya. Jika Wisnu memang mencintainya dan gadis itu nyaman dengannya maka aku akan merelakannya. Tapi setidaknya, aku ingin berusaha selama satu bulan, agar tidak terjadi penyesalan."Kamu akan tetap kehilangan jika Nia memilihmu. Kamu harus resign dari kantor kami, atau kamu akan menyuruh Husniah mengorbankan karir yang baru saja dibangunnya? Seperti kebanyakan para pria, meminta istrinya di rumah saja ..
POV Husniah"Husniah, bulan depan kamu harus pindah ke kantor pusat. Salah satu karyawannya ada yang resign dan saya rasa kamu cocok mengantikannya. Kinerja kamu bagus dan kantor pusat butuh cepat penggantinya."Siang itu, Pak Dion bagian Human Resource Development memintaku datang ke ruangannya dan mengatakan hal tersebut. Aku tahu, kantor pusat ada di kota yang sama dengan kota di mana Mas Hanan berada. Sejujurnya aku khawatir bertemu dengannya, membayangkan tidak sengaja bertemu dengan pria itu saat dia berduaan dengan Mbak Lita. Mereka sudah menikah dan bahagia, itu yang ada dalam pikiranku. Waktu enam bulan sudah cukup lama untuk mereka segara mengesahkan hubungannya. Untuk sesaat aku memang mengharapkan hubungan kami akan membaik, namun saat Mbak Lita menyuruhku pergi, harapanku terasa sirna. Aku berusaha merelakan, toh sejak awal memang sudah kujanjikan kepergianku pada Mas Hanan. Kupikir, aku punya waktu satu bulan untuk memantapkan diri, nyatanya baru satu minggu sejak Pak
Suasana romantis sangat terasa di restoran ini. Mas Hanan mengajakku makan malam di luar saat pulang dari kantor. Tadi pagi Ibu sudah pulang, dan hari ini pria itu mengajakku keluar rumah. "Mas Hanan nyium Mbak Lita di tempat ini?" Pertanyaan konyol muncul dari mulutku yang sudah selesai mengunyah. "Maafkan aku, Nia. Aku memang lelaki yang bodoh dan tidak pandai bersyukur saat itu. Tapi aku sedang berusaha memperbaiki semuanya," sahut Mas Hanan tanpa berusaha menyangkal perkataanku. "Aku sangat berharap kamu bisa memberiku kesempatan. Seperti yang pernah aku katakan, aku memang sudah jauh berhubungan dengan wanita itu, tapi aku tidak pernah melakukan hal yang lebih jauh lagi. Haruskah kukatakan apa saja yang sudah aku lakukan dengannya agar kamu ....""Tidak perlu!" Potongku cepat.Enak saja mau cerita tentang segala hal yang dia lakukan dengan wanita itu."Aku tidak suka bunga yang sudah dipetik, gampang layu dan mati," ucapku mengalihkan pembicaraan. Tanganku mengusap buket mawa