“Ageng baru saja keluar,” ucap Queen bermaksud memberi informasi kepada keempat sahabat Ageng.“Kau tidak bohong?” tanya Brian yang bermaksud untuk memastikan.“Kalau begitu aku hubungi dia, agar segera menemui kalian.”Tidak ada jawaban, keempat pria itu justru langsung memasuki kamar hotel yang disewa untuk Queen dan Ageng tanpa permisi dan terkesan memaksa. Queen terlihat bingung dengan tingkah dan sikap yang ditunjukkan oleh oleh keempat sahabat Ageng tersebut.“Dia benar-benar tidak ada,” ucap Erick dengan wajah sumringah karena merasa uang lima miliarnya aman.Tatap mata mereka tertuju ke arah ranjang pengantin yang dipenuhi bungga dan masih terlihat rapi karena belum disentuh. Pria-pria itu terlihat tersenyum, ada bahagia, tetapi ada juga rasa miris karena kasihan kepada Queen.“Apa yang kalian inginkan sebenarnya?” tanya Queen yang terlihat tegar meski sebenarnya sedang menyembunyikan rasa takut.Bagaimana pun Queen belum mengenal Ageng dan semua teman-temannya, dia tidak tahu
Setelah memastikan Davianna tertidur, Ageng segera bangkit dari duduknya di tepian ranjang yang terlihat sangat berantakan dan kacau. Ageng merapikan kembali pakaiannya, mengaitkan beberapa kancing baju yang sempat terbuka. Dilihatnya jam yang melingkar di lengan kanannya, meskipun sudah dini hari tetapi Ageng harus kembali ke hotel yang telah di sewa keluarganya untuk malam pertamanya dengan Queen.Ageng tetap harus berhati-hati, dia tidak ingin sandiwaranya terbongkar terlalu dini. Bagi Ageng, masa depan dan cita-cita Davianna adalah segalanya. Sesuatu yang harus didukung dan bantu dengan segala cara untuk bisa terwujud.Sebelum melangkah keluar, Ageng menyempatkan diri untuk memberi kecupan singkat di pelipis sang kekasih. Hembusan napas kasar seolah ingin menunjukkan betapa berat saat harus meninggalkan Davianna sendiri.“Maaf.” Satu kata lolos dari mulut Ageng, terdengar sangat memohon dan penuh sesal.Setelah Ageng keluar dari kamar tersebut, Davianna kembali membuka matanya, ta
Menatap penampilan Queen malam ini, yang hanya mengenakan hotpants dan tanktop model crop, yang jika Queen mengangkat tangannya sedikit saja akan membuat pusarnya kelihatan, ternyata mampu membuat Ageng menjadi semakin pusing.Ageng sadar, jika perempuan yang halal untuk disentuh di depannya itu tidak bermaksud untuk menggodanya. Karena saat ini Queen sudah menutup tubuhnya dengan selimut. Tampaknya Queen marah karena Ageng menghentikan permainannya dengan paksa.“Maaf, aku hanya ingin kau segera istirahat. Karena besok pagi-pagi sekali kita sudah harus terbang ke Bali.” Ageng mencoba memberi alasan agar, Queen bisa diajak kerja sama dengan baik.Queen yang awalnya sudah merebahkan tubuh di kasur empuk berukuran king size itu, saat ini kembali dalam posisi duduk sambil menatap Ageng.“Kamu pergi berdua dengan Davianna saja, aku akan sembunyi di tempat kosku. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,” ucap Queen sambil mengucek matanya yang sudah mengantuk.Meskipun sadar jika pe
Tatap mata Queen ke kanan dan ke kiri memperhatikan seisi bandara, seperti sedang mencari seseorang. Namun, sedari tadi tidak dia temukan juga. Hal itu sampai membuat langkah kaki Queen jadi melambat. "Apa yang kau cari?" tanya Ageng sambil meraih tangan Queen yang berada di belakangnya seolah mengajak agar lebih cepat karena mereka hampir saja terlambat. "Di mana Davi?" tanya balik Queen yang masih tetap mencari-cari. "Davi nanti berangkat bersama teman-temannya. Aku langsung bertemu dengannya di Bali. Dia itu seorang artis, tentu tidak mau ambil risiko ...." "Ketahuan kalau berlibur dengan suami orang?" tanya Queen memotong kalimat Ageng. Kata demi kata yang terlontar dari mulut Queen terdengar seperti sebuah sindiran. "Saya rasa kita tidak perlu membahas hal itu, karena kita tahu apa yang sebenarnya telah terjadi." Ageng tidak terima jika gadis yang dia cintai, diberi nilai buruk oleh orang lain, termasuk oleh wanita yang saat ini telah berstatus sebagai istrinya. Queen mence
Baik Ageng maupun Queen, keduanya kurang tidur semalam. Bukan karena menghabiskan malam seperti pasangan pengantin baru lainnya, tetapi mereka menghabiskan malam dengan cara masing-masing di tempat yang berbeda pula. Selama perjalanan menuju ke Bali, pasangan pengantin baru itu terlelap tidur.Tidur sebentar di pesawat, lalu kini Ageng dan Queen melanjutkan tidur di dalam mobil yang akan membawa ke villa yang sudah di sewa oleh keluarga Wardana untuk mereka berbulan madu. Jika dalam keadaan sadar mereka berusaha untuk menjaga jarak, berbeda saat tertidur lelap. Queen terlihat begitu nyenyak bersandar di dada bidang Ageng. Sementara itu tanpa sadar, lengan kekar Ageng memeluk tubuh Queen, seolah ingin menunjukkan jika dirinya ingin selalu bisa melindungi istrinya.Saat mobil telah berhenti, Queen dan Ageng terlihat salah tingkah saat menyadari posisi tidur mereka yang begitu dekat dan sangat intim. Tidak ingin terlalu banyak drama, Queen pun segera keluar dari mobil, dan mengambil bara
Ageng tidak menatap Queen yang sedang menikmati steak tenderloin dengan saus lada hitam yang dipesannya.“Sepertinya kau penikmat steak?”“Sayang saja makanan seenak ini tidak dinikmati,” sahut Queen sambil terus menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya. Percakapan dengan Ageng bukanlah sesuatu yang harus dia tanggapi dengan serius.“Ya, biasanya kau makan di warung pinggir jalan.” Merasa diabaikan oleh Queen membuat timbul sikap arogan dan merendahkan dari Ageng.“Kamu pernah makan nasi kucing di angkringan?” Bukan merasa direndahkan, justru Queen ingin berbagi pengalaman makan di tempat yang biasanya digunakan oleh kaum buruh dan pekerja kelas bawah.“Tidak,” sahut Ageng yang membayangkan saja sudah enggan. Makan di pinggir jalan yang mungkin kebersihan dan privasinya kurang terjaga.“Jangan bilang di sana akan mencium bau orang-orang miskin, karena kau justru akan mencium kebahagian.”Ageng menatap heran ke arah Queen yang sepertinya sudah terbiasa makan di tempat seperti itu.
“Halo Queen, sayang!” sapa Laras saat melakukan panggilan video dengan menantunya.“Halo, Tan … Ma!” Hampir saja Queen salah memanggil Laras dengan sebutan ‘tante’ padahal sejak sebelum menikah, sang ibu mertua sudah mewanti-wanti agar Queen memanggilnya mama.Queen terlihat gugup saat menghadapi Laras, bukan hanya karena belum terbiasa dan akrab dengan ibu mertuanya, tetapi ada perasaan hangat di hatinya saat mendengar seseorang memanggilnya dengan embel-embel ‘sayang’. Sesuatu yang tidak pernah Queen rasakan sebelumnya, apalagi dia mendengar suara Laras yang terdengar begitu tulus.“Kamu sakit?” tanya Laras saat melihat mata lelah Queen yang sepertinya kurang tidur.“Nggak, Ma! Hanya capek karena perjalanan jauh,” jawab Queen dengan berhati-hati. Bagaimana pun Ageng sudah membayarnya dengan jumlah uang yang tidak sedikit, tentu dia harus bersikap professional agar sandiwara mereka tidak terbongkar.“Ageng di mana?”“Lagi mandi, Ma!” jawab Queen sambil mengalihkan pandangannya tertuj
Dengan menggunakan mobil yang telah dia sewa selama berada di Bali, Ageng mendatangi tempat yang sudah dia sepakati dengan Davianna. Ageng tidak bermaksud mengabaikan perasaan sang mama begitu saja, hingga memilih untuk melanjutkan sandiwara yang telah dia mulai.Mungkin benar kata pepatah, cinta itu buta, dan mungkin benar juga kata Agnes Monica jika cinta itu tidak ada logika. Buktinya Ageng dan Davianna, dua sosok yang tidak diragukan kecerdasannya, tetapi limbung saat berhubungan dengan cinta.Bagi Ageng saat ini kebahagiaan Davianna adalah segalanya. Sebagai kekasih dia harus berusaha untuk selalu memberi dukungan atas segala keputusan dan citta-cita Davianna. Tidak ada salahnya memiliki istri yang cantik dan berpendidikan, apalagi untuk posisinya yang merupakan CEO baru di perusahaan keluarga. Tentu memiliki pasangan yang cantik dan berkelas akan membuatnya semakin bangga saat bertemu dengan para klein.Melihat sang kekasih masih asik bersama teman-temannya membuat Ageng tidak b
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l