@Bryan Hutama[ Lunas ]@Queen Savita[ Terima kasih ]Singkat, itulah percakapan melalui pesan antara Queen dan Bryan. Keduanya tampak bingung akan membicarakan apa lagi. Terutama Queen, untuk membicarakan hal tersebut terasa sangat memalukan. Dia merasa beruntung, tanpa harus menagih, Bryan dan teman-temanya sadar diri untuk langsung mentransfer uang taruhan tersebut.Dalam hati sebenarnya, Queen ingin bertanya, dari mana Bryan bisa mengetahui jika dia dan Ageng telah melakukan hubungan suami istri. Ada kecurigaan pada diri Queen jika Ageng tanpa rasa malu menceritakan semua yang terjadi malam itu kepada teman-temannya. Queen hanya mendengus kasar, saat membayangkan Ageng berbicara tentang durasi, gaya bercinta mereka, atu juga tentang keperawanan. Entah mau ditaruh di mana mukanya saat bertemu dengan teman-teman suaminya nanti.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Queen meraung-raung, menandakan ada panggilan yang masuk. Nama Bryan terpampang jelas di layar ponsel milik Queen. D
Queen hanya tersenyum sumir menanggapi apa yang dilakukan oleh Rania. Perhatian yang sama sekali tidak mampu menyentuh hati Queen yang terasa sudah membeku kepada sang mama.“Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya, seharusnya Anda lebih khawatir kalau sampai suami Anda tahu jika kita bertemu.” Queen menunjukkan sikap dingin dan sinis, istri dari Ageng Jati Wardana itu tidak bisa pura-pura menerima kehadiran Rania di dekatnya.Kata demi kata yang meluncur dari bibir Queen terasa bagaikan tamparan bolak balik dari pipi kanan berganti ke pipi kiri bagi Rania. Setelah sekian lama mereka terpisah, ternyata tidak mudah untuk bisa mengembalikan kedekatan antara ibu dan anak tersebut.Benar saja, tidak lama kemudian muncul Surya Wijaya yang berjalan dengan terburu-buru menghampiri Rania. Gurat wajah yang tidak bersahabat terlihat jelas pada Surya yang memang sedari dahulu tidak menyukai anak-anak Rania dari suami pertamanya.“Dokter sudah menunggu kita, ayo!” Dengan mengabaikan keberadaan Quee
Queen terkejut saat merasakan ada tangan yang tiba-tiba membelit pinggangnya saat dia sedang membuat mie instan di pantry. Hanya terkejut saja, karena dia sudah bisa menduga siapa orang yang melakukan hal tersebut.“Ada masalah?” tanya Queen saat semakin merasakan berat beban di pundaknya kala Ageng dengan manja meletakkan kepalanya di sana.Ageng mengernyitkan dahinya menatap makanan yang saat ini sudah matang dan mengebulkan uap panas di hadapan Queen. Ageng menganggap menu makan siang Queen sungguh tidak sehat dan tidak layak bagi istri seorang CEO.“Mau dibuatkan?” tanya Queen yang menduga jika Ageng juga sama berseleranya dengan makanan yang sering dia nikmati saat masih tinggal di rumah kost bersama Naya.“Tidak, aku sudah banyak makan karbo hari ini. Apa ini baik untuk kesehatanmu?” tanya balik Ageng yang merasa tidak senang dengan pola makan Queen.“Bagiku semua makanan baik untuk kesehatan, selama kita makan secara berlebihan.”Ageng menganggukkan kepalanya, lalu mencicipi mi
Semua masalah yang berhubungan dengan perusahaan dapat dengan mudah diselesaikan oleh Ageng. Namun tidak dengan masalah yang berhubungan dengan hatinya, yang kini mulai terusik oleh keberadaan Queen di sampingnya.Meskipun baik Queen maupun Ageng tidak pernah berbicara tentang cinta, meskipun keduanya sepakat untuk tidak memiliki anak bersama, tetapi tidak bisa dipungkiri jika mereka merasa nyaman saat bersama.Setelah malam pertama yang penuh gelora, Ageng dan Queen rutin melakukan hubungan suami istri meskipun hanya untuk sekedar melepas hasrat dan memenuhi kebutuhan biologis mereka. Namun, tidak bisa mereka pungkiri jika hal itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Keduanya menjadi tidak sungkan lagi untuk berbincang tentang hal-hal yang bersifat pribadi dan bercanda dengan penuh tawa.Seperti saat ini Ageng dan Queen belanja kebutuhan harian bersama layaknya pasangan suami istri yang bahagia. Buah dan sayur menjadi bahan makanan utama yang menjadi incaran mereka. Queen
Setelah mengakhiri pembicaraan melalui ponselnya, Ageng melangkah dengan gontai menghampiri Queen. Lagi dan lagi dia memeluk istrinya itu dari belakang, tetapi saat ini Ageng terlihat kurang bersemangat seperti sebelumnya.Beruntung saat Ageng datang semua masakannya sudah matang semua, sehingga Queen hanya tinggal mematikan kompor saja. Queen membalikkan tubuhnya hingga kini dia bisa melihat wajah Ageng yang sepertinya sedang diselimuti masalah.“Ada masalah?” tanya Queen mencoba menunjukkan kepeduliannya kepada Ageng. “Ini tentang Davi?”Ageng menggeleng lemah, lalu melabuhkan bibirnya dan memagutnya dengan kasar dan rakus. Queen terlihat sangat kepayahan untuk meladeni sikap Ageng. Queen merasa bukan nafsu brutal yang sedang Ageng salurkan kepadanya, tetapi sebuah rasa putus asa yang Queen tidak tahu penyebabnya.“Geng!” panggil Queen dengan suara lirih dan napas yang terengah-engah, sesaat setelah Ageng melepaskan pagutannya. “Apa yang terjadi dengan Davi? Apakah dia mengetahui ap
“Tanda-tandanya di sini, Ma!” sahut Ageng sambil memutar tangannya di atas perutnya.“Maksudnya apa?” tanya Laras menduga jika Ageng saat ini sedang mengalami ngidam. Suatu hal yang katanya disebabkan saking cintanya seorang lelaki terhadap istrinya hingga membuatnya yang mengalami ngidam di saat istri sedang hamil.“Lapar, Ma! Sudah dari tadi perutku bunyi,” jawab Ageng sambil mengeluarkan kekehan dari mulutnya.Laras mendengus kasar dengan tatap mata yang terlihat berubah saat melihat ke arah Queen. Tatap mata yang biasanya penuh kasih, kini berubah menjadi tajam penuh intimidasi dan ancaman.Queen tidak berani lagi menatap ke arah Laras, dan hanya menundukkan kepalanya saja. Queen merasa guyonan yang diucapkan Ageng adalah sebuah kesalah besar untuk mengawali pembicaraan dengan Laras yang sedang meninggikan harapannya tentang keturunan yang akan lahir hadir dari mereka.Ageng menyadari ketakutan yang saat ini sedang dirasakan oleh Queen. Dengan lembut Ageng mengusap punggung tangan
Tidak ingin mengecewakan Laras yang sudah menyiapkan makan malam istimewa untuk dirinya, Ku ingin mencoba memaksa untuk menjedakan potong demi potong steak tenderloin ke dalam mulutnya. Hitung-hitung sebagai sumber energi untuk menghadapi badai yang akan ditiupkan oleh sang ibu mertua.Setelah makan malam berakhir kini mereka sudah pindah ke ruang keluarga, agar perbincangan mereka lebih terasa santai. Ageng selalu memegang tangan Queen, untuk menenangkan dan memberi kekuatan kepada sang istri."Papa sama Mama menekan atau memaksa kalian untuk segera memiliki momongan, hanya hanya saja Papa dan Mama ingin mendengar alasan dari kalian," ucap Arya Suta mengawali perbincangan."Kalau alasan kamu adalah kesibukan di perusahaan, sudah pasti tidak ada habisnya selama perusahaan kita masih tetap berjalan," sahut Laras seolah tidak memberi kesempatan kepada Agung dan Queen untuk mencari alasan."Untuk urusan di Kalimantan sudah di handle dengan baik oleh Danu. Lalu ... apalagi yang menjadi ma
Mungkin untuk sebagian besar istri akan sangat senang dan bahagia saat berangkat kerja diantar oleh sang suami. Namun tampaknya hal itu tidak berlaku pada Queen, Apalagi setelah si Bos mengungkapkan harga mobil yang biasa dibawa Ageng untuk mengantarnya."Queen Tahu nggak kamu?" tanya si Bos saat menghampiri Queen di kubikelnya. "Kalau saya jual semua mobil yang saya punya, itu belum cukup untuk membeli mobil punya suamimu, bahkan untuk yang second sekalipun."Jujur, pengakuan si Bos membuat Queen merasa tidak nyaman. Mulai saat itu, Queen selalu janjian dengan Ageng di tempat yang sedikit jauh dari ruko tempat kerjanya. "Mobil baru, Queen?" tanya si Bos saat melihat mobil mewah yang terparkir di depan ruko miliknya. Dan kebetulan orang di dalamnya menanyakan keberadaan Queen."Katanya kalian sudah janjian buat makan siang bareng," sambung si Bos sambil memperhatikan mobil mewah yang sudah menjadi impiannya sejak muda.Queen mengernyitkan dahinya, karena merasa tidak ada janji dengan
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l