Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit akhirnya Queen sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter Amira telah mengonfirmasi bahwa Queen dan bayinya dalam kondisi baik, dan tentunya hal tersebut sangat melegakan bagi Queen dan juga Ageng.Ageng berada di sisi Queen, menuntunnya dengan hati-hati melewati lorong rumah sakit. Mereka telah melewati banyak hal bersama, dan berharap ke depannya langkah mereka akan dipermudah.Namun, sebelum meninggalkan rumah sakit, Queen merasa ada sesuatu yang harus mereka lakukan. Dia tidak bisa melupakan bagaimana Rahma melindunginya dari Zachary. Meski mereka tidak memiliki hubungan dekat sebelumnya, tindakan Rahma sangat berarti bagi Queen.“Sebelum kita pulang, aku ingin menjenguk Rahma,” kata Queen dengan suara lembut.Ageng menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku mengerti. Dia menyelamatkanmu, dan kita harus menunjukkan rasa terima kasih kita."Setelah berdiskusi singkat, mereka memutuskan untuk mengajak Arya Suta dan Laras untuk men
“Papi!” Jelita berlari menyambut Mike yang baru saja pulang kerja.Meskipun tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih penat dengan berbagai beban kerja yang mengelayutinya seharian penuh, tetapi keberadaan Jelita memberi semangat baru bagi Mike.“Tadi main apa sama Opa?” tanya Mike sambil menggendong gadis kecil itu.Hubungan antara Mike dan Jelita semakin terlihat akrab sejak peristiwa dramatis yang melibatkan Zachary dan Queen. Setiap kali Mike mengunjungi rumah sakit, Jelita selalu menyambutnya dengan senyuman cerah. Mike, yang biasanya dingin dan tertutup, tampak lebih terbuka dan perhatian saat bersama Jelita.Awalnya Jelita meminta izin untuk memanggil ayah seperti Danu, tetapi Mike tidak ingin menghilangkan kenangan indah jelita bersama Danu. Sehingga Mike meminta Jelita memanggilnya papi, agar berbeda dengan Danu dan juga ayah kandungnya yang dahulu dia panggil ‘bapak’.Sementara itu, Jelita yang sejak kecil sudah kehilangan ayah yang meninggal dunia karena kecelakaan kerja s
"Apa maksudnya ingin membahagiakan?""Aku ingin menikahi Rahma, Pa." Akhirnya Mike memiliki keberanian untuk mengungkapkan maksud hatinya di hadapan sang papa."Kau Mencintainya?""Sekarang belum, Pa. Mungkin Nanti ...." Mike tidak melanjutkan kalimatnya. Dia bisa diam di hadapan sang papa, tetapi tidak bisa berbohong.Surya Wijaya mendengkus kasar, selalu menyandarkan punggungnya ke sofa seolah ingin meletakkan semua beban hidup di sana."Apa yang membuatmu ingin menikahi Rahma, jika kau tidak mencintainya?""Rahmat telah melindungi dan menyelamatkan wanita yang kucintai. Tidak ada salahnya jika aku membalasnya dengan memberi cinta.""Tapi Papa tahu sampai saat ini hatimu masih untuk Queen. Ini tidak akan membuat Rahma bahagia, bisa saja kau membawanya dalam penderitaan yang lain.""Aku akan berusaha untuk mencintainya, Pa.""Papa takut, jika kamu Mengulangi kesalahan yang sama seperti apa yang Papa lakukan."Ayah dan anak itu saling beradu pandang. Tak ada penyangkalan ataupun janji
Keluarga Wardana menyambut kepulangan Queen dari rumah sakit dengan penuh kebahagiaan. Saat mobil yang membawa Queen berhenti di depan rumah, senyuman dan tawa mengisi udara. Ageng membantu Queen keluar dari mobil dengan lembut, memastikan setiap langkahnya aman. Laras, dengan mata yang berbinar, segera memeluk Queen, mengekspresikan rasa syukur karena menantu dan cucunya masih diberi perlindungan dan kesehatan.Di dalam rumah, suasana hangat dan penuh cinta menanti. Arum, Danu dan kedua putra mereka pun ada di sana, menyambut Queen dengan senyum bahagia. Meja makan penuh dengan hidangan favorit Queen, sebuah bukti betapa mereka merindukan kehadirannya.“Mama harap ini yang terakhir kalinya Queen harus di rawat di rumah sakit selama kehamilannya. Di rumah sakitnya nanti kalau lahiran saja.”“Aamiin.” Secara hampir bersamaan, semua yang berada meja makan menyahut doa dan harapan dari Laras.“Aku kira Tante Queen di rumah sakit karena dedek cantik sudah keluar,” sahut Ardan dengan wajah
Zachary duduk termenung di tepi tempat tidur, pikirannya berputar-putar dengan penyesalan yang mendalam. Ruangan ini, yang dulunya dipenuhi dengan tawa anak-anak dan kehangatan cinta istrinya, kini terasa hampa dan sunyi.Zachary masih bisa merasakan kehadiran mereka, bayangan kenangan indah yang kini hanya meninggalkan penyesalan dan nyeri di dada. Dia telah kehilangan semuanya, keluarganya, kehangatan rumah tangganya, dan semua itu hanya karena ambisi dan dendam yang membutakan hatinya.Zachary bangkit, menatap keluar jendela, memandang hamparan kebun yang tertata rapi. Dulu, dia berpikir bahwa kesuksesan dan balas dendam akan membawa kebahagiaan, tetapi kenyataan justru sebaliknya. Yang ada hanya kehampaan, dan sekarang dia harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya telah pergi.Zachary tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Dengan langkah berat, dia menuju kantor villa dan menemui orang kepercayaannya yang selama ini membantu mengelola properti itu."Satu m
Hari ini Mike akan melamar Rahma setelah pulang dari kerja. Mengetahui hal itu membuat Surya Wijaya ingin berbicara dari hati ke hati dengan janda beranak satu itu terlebih dahulu. Dan kini, di sinilah Surya Wijaya sedang berada di ruang perawatan Rahma.Surya Wijaya duduk di kursi samping tempat tidur Rahma, merasakan aura ketidakpastian yang memenuhi ruangan itu. Rahma tampak gugup, tatapan matanya gelisah, seolah menanti kabar buruk. Surya bisa merasakan kekhawatirannya, dan dia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah, tetapi itu harus dilakukan. Dia mengambil napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum memulai."Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Surya Wijaya penuh basa basi, sebagai pemanasan sebelum ke inti pembicaraan."Saya sudah lebih baik, jika tidak ada masalah besok saya sudah diizinkan pulang.""Kau mau aku pulang ke mana?"Rahma menggeleng lemah karena dia tidak tahu akan pulang ke mana. Dia tidak punya rumah, dan tidak punya sanak saudara. Dahulu dia
Rahma duduk di tepi tempat tidurnya di rumah sakit, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah mendengar dari Surya Wijaya tentang niat Mike untuk melamarnya, tetapi mengetahui dan mengalaminya langsung adalah dua hal yang sangat berbeda.Saat ini, Rahma menunggu dengan cemas kedatangan Mike, yang seharusnya akan tiba setiap saat. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran dan keraguan, mungkin ini efek pengalaman hidupnya yang pernah terombang-ambing oleh kehidupan setelah menjadi janda.Pintu ruangan terbuka perlahan, dan di sanalah Mike berdiri, dengan senyum yang sedikit tegang di wajahnya. Di sebelahnya, Jelita, putrinya yang masih kecil, tampak ceria sambil memegang karangan bunga yang besar dan berwarna-warni. Bunga itu hampir sebesar tubuh kecilnya, membuatnya tampak seperti pemandangan yang menggemaskan, tetapi Rahma tahu betapa rapuhnya hati kecil itu setelah trauma yang dialaminya."Hai," sapa Mike, suaranya lembut namun terdengar sedikit goyah. “Bagaimana keadaanmu sekarang?”"H-hai
"Aku harap nanti kamu bisa bersikap tegas terhadap Rahma, Aku tidak ingin dengar lagi kata kasihan saat kamu berhadapan dengannya." Tegas Arum memberikan peringatan kepada Danu.Danu dan Arum berjalan pelan di lorong rumah sakit, langkah-langkah mereka bergema di dinding yang sepi. Suasana yang biasanya tenang di antara mereka terasa tegang hari ini. Arum merapatkan cardigan di tubuhnya, mencoba menenangkan gejolak emosi yang masih bergemuruh dalam hatinya.Danu melirik ke arah Arum, merasakan ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Rahma selalu membuat suasana hati Arum menjadi kacau. Danu ingin menghibur, tetapi kata-kata yang terucap justru menambah beban perasaan Arum."Rum," Danu memulai, suaranya lembut namun tegas. "Aku tahu ini sulit bagimu, tetapi kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik."Arum berhenti sejenak, memandang Danu dengan tatap mata tajam memendam amarah. "Adakah perempuan yang ikhlas dimadu, Ma
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l